Saat Dunia Islam Tertipu oleh Politik Simbolik
Oleh: La Ode Mahmud*)
IndonesiaNeo, OPINI - Tampilan bersih Ahmad Sharaa di hadapan Donald Trump mungkin telah berhasil membelokkan narasi. Dari seorang mantan militan yang diburu, ia kini tampil sebagai kepala negara Suriah yang dipuji Trump sebagai sosok “muda, atraktif, dan tangguh”. Pertemuan itu dengan fasilitasi oleh Mohammad bin Salman dan kehadiran Recep Tayyip Erdogan secara daring disambut sebagai manuver berani di Timur Tengah.
Namun, pertemuan Riyadh bukanlah babak baru dari kemenangan diplomasi dunia Islam. Ia adalah cermin politik kosmetik, yang justru menandai keberhasilan kekuatan global memoles wajah perlawanan agar dapat masuk kembali ke orbit dominasi mereka. Ahmad Sharaa, yang mewakili gerakan yang menggulingkan Bashar al-Assad, justru kini diposisikan sebagai “negosiator damai” yang salah satu syarat eksistensinya adalah menandatangani "Deklarasi Abraham" sebuah pernyataan normalisasi hubungan dengan Israel.
Di sinilah letak ironi paling tajam dari manuver tersebut. Demi pencabutan sanksi dan perbaikan ekonomi, Suriah dipaksa membuka pintu hubungan diplomatik dengan negara yang masih menduduki Dataran Tinggi Golan. Normalisasi itu mungkin terdengar rasional dalam bahasa geopolitik realis. Namun dalam nalar perjuangan umat, ia adalah konsesi ideologis yang menanggalkan semangat pembebasan demi penerimaan global.
Pertanyaannya, perubahan macam apa yang sesungguhnya terjadi? Dan siapa yang diuntungkan oleh simbol rekonsiliasi ini?
Tidak bisa dipungkiri, MBS memainkan peran penting dalam manuver ini. Sebagai figur yang tengah menata ulang peran Arab Saudi dalam percaturan global, ia berhasil menciptakan kesan bahwa “Islam moderat” kini punya wajah baru yaitu tampil rapi, terbuka berdamai dengan siapa pun, dan menerima kompromi politik demi stabilitas. Bagi MBS, ini bukan hanya diplomasi, ini adalah investasi dalam citra baru.
Namun, jika dicermati secara ideologis, rekonsiliasi ini justru menandai kian jauhnya dunia Islam dari arah perjuangan sejati. Bukan hanya karena ia menyeret Suriah ke dalam orbit baru Barat, tetapi karena ia memoles penderitaan rakyat dengan narasi teknokratis tanpa menyentuh akar penindasan itu sendiri.
Inilah yang dilupakan. Suriah tidak sekadar butuh stabilitas. Ia butuh keadilan. Dan keadilan tidak hadir dari kompromi dengan sistem internasional yang selama puluhan tahun membungkam suara kemerdekaan dunia Muslim. Ketika hubungan diplomatik dengan Israel menjadi syarat untuk mendapatkan oksigen politik, maka itu bukan perdamaian, itu bentuk lunak dari penaklukan.
Lebih jauh, apa yang kita lihat di Riyadh adalah pengulangan sejarah dengan wajah baru. Perlawanan Islam, dari Palestina hingga Suriah, telah berkali-kali diseret masuk ke dalam ruang negosiasi, hanya untuk dilucuti dari orientasi ideologisnya. Kini, dengan wajah yang lebih santun dan kata-kata yang lebih diplomatis, proyek netralisasi perlawanan itu tampak lebih elegan tapi tidak kalah berbahaya.
Sudah saatnya umat Islam menyadari bahwa perjuangan bukan soal siapa yang memimpin, tetapi arah kepemimpinan itu sendiri. Sistem yang korup tidak akan berubah hanya karena tokohnya lebih muda dan ramah kamera. Dunia Islam tidak hanya butuh pemimpin lentur, tetapi pemimpin yang tegak dalam prinsip dan berani menolak jebakan kompromi.
Riyadh mungkin tampak seperti panggung perdamaian. Namun bagi mereka yang memahami peta ideologi dan sejarah politik kolonial, itu adalah panggung teatrikal untuk menampilkan aktor baru dalam skenario lama, dunia Islam terus dikendalikan.[]
*) Pegiat Literasi
Post a Comment