Header Ads


Kekeliruan Paradigma Keluarga Berencana Solusi Kemiskinan

Oleh: drg. Endartini Kusumastuti*)


IndonesiaNeo, OPINI - Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi akan menerapkan kebijakan program keluarga berencana untuk suami sebagai syarat penerima bantuan sosial. Kebijakan tersebut mendapatkan respons dari berbagai kalangan masyarakat. Dedi menyampaikan pernyataan tersebut seusai mengikuti acara Deklarasi Jawa Barat Istimewa di Kota Bandung pada Senin (28/4/2025).

Wacana Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang akan menjadikan vasektomi sebagai syarat penerima bantuan sosial perlu dikaji ulang. Usulan itu bisa kontraproduktif karena berpotensi menimbulkan diskriminasi, melanggar hak asasi manusia, memunculkan kegaduhan keagamaan, hingga justru bisa membuat bantuan sosial tidak tepat sasaran.


Benarkah Banyak Anak Penyebab Kemiskinan?

Opini yang beredar bahwa pertambahan jumlah anak atau naiknya populasi penduduk menjadi penyebab kemiskinan adalah opini yang menyesatkan. Sama sekali tidak ada korelasi antara kemiskinan dan pertambahan populasi penduduk dan jumlah anak. Ini teori yang pernah dicetuskan oleh ekonom Inggris Robert Malthus beberapa puluh tahun silam. Menurut Malthus, pertumbuhan populasi cenderung melampaui pertumbuhan produksi pangan. Kemudian dikhawatirkan terjadi kelaparan, penyakit, dan kematian melanda umat manusia. Padahal teori ini sama sekali tidak pernah terbukti.

Jika di lapangan banyak terlihat keluarga yang banyak anak, sedangkan dari sisi ekonominya pas-pasan, bukan berarti penyebabnya karena jumlah anak yang banyak. Perlu ditelaah lebih dalam lagi penyebab ekonomi keluarga tersebut. Bisa jadi karena lapangan pekerjaan yang minim, sehingga ayah, sebagai kepala keluarga tidak memiliki pekerjaan tetap alias serabutan. Kalaupun memiliki gaji, namun tidak mencukupi kebutuhan keluarga yang semakin meningkat setiap harinya. Harga-harga kebutuhan pokok nyaris tidak terjangkau oleh Masyarakat menengah bawah. Belum lagi biaya Pendidikan anak, Kesehatan dan biaya lainnya yang menjadi tolok ukur kesejahteraan keluarga saat ini. 

Konsep kesejahteraan saat ini bertumpu pada seberapa besar seseorang menghasilkan materi dan produktif. Semakin tidak produktif seseorang, maka disebut tidak sejahtera. Oleh karena itu, seorang ibu yang melahirkan anak banyak cenderung tidak dapat menghasilkan uang lebih banyak. Begitu juga seorang ayah, jika dia bekerja namun selalu kurang dalam memenuhi kebutuhan keluarganya maka dinilai tidak sejahtera.

Padahal, nilai kesejahteraan sejatinya terwujud ketika seseorang mampu menjalani kehidupan yang layak dan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. 

Oleh sebab itu, sesungguhnya kemiskinan yang terjadi hari ini adalah akibat diterapkannya sistem sekuler kapitalisme. Sistem ini menjadikan kehidupan serba sempit, kekayaan menumpuk di kalangan orang-orang kaya  semata. Dalam sistem ini setiap individu diberikan kebebasan untuk berkepemilikan dan bertingkah laku. Individu diberi kebebasan untuk memiliki apa pun, termasuk menguasai sumber daya alam—yang notabene adalah milik umum. Dengan prinsip ini menjadikan orang yang memiliki modal saja yang mampu mengakses sumber daya alam negeri ini, sementara yang tidak bermodal harus terlempar dalam jurang kemiskinan.

Kemiskinan yang terjadi saat ini, bukan dikarenakan seseorang malas bekerja atau faktor keturunan. Lebih dari itu, akar persoalannya terletak pada distribusi kebutuhan pokok dan tersedianya lapangan pekerjaan bagi laki-laki. Lebih jauh lagi, tidak ada batasan kepemilikan terhadap kekayaan alam negeri ini.  Sistem kapitalisme saat ini membuat negara membolehkan kekayaan alam dikuasai oleh perusahaan asing maupun dalam negeri. Padahal, banyak bukti bahwa eksploitasi pertambangan oleh perusahaan swasta dan asing, misalnya, justru tidak menaikkan taraf hidup warga setempat. Rakyat kecil tidak makin sejahtera, malah makin sengsara. Rakyat tidak merasakan hasilnya, mereka justru menjadi korban dari dampak kerusakan lingkungan, sosial dan ekonomi akibat maraknya aktivitas pertambangan tersebut.

Pada 2024, Majalah Forbes mencatat total harta 50 orang terkaya di Indonesia tembus US$263 miliar atau setara Rp4.209,25 triliun. Ironisnya, kekayaan mereka melesat hingga ratusan triliun rupiah justru pada saat ekonomi nasional sedang terpuruk, daya beli warga melemah, 60 juta warga (menurut Bank Dunia) jatuh miskin, dan ada 7,8 juta pengangguran.

Ironisnya, warga miskin justru disalahkan karena menikah dan punya anak, apalagi jika anaknya banyak. Pada saat yang sama, negara tidak banyak berperan dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya. Negara malah lebih berpihak pada kaum kapitalis-oligarki sehingga membuat negara lepas tangan dalam pengaturan urusan rakyatnya. 


Program Keluarga Berencana Bukan Solusi Kemiskinan

Pada dasarnya, Islam tidak melarang pasangan suami-istri untuk melakukan pengaturan kelahiran dengan alasan apa pun. Misalnya, dengan tujuan agar ibu mendapatkan waktu pemulihan yang cukup pasca-melahirkan ataupun agar ibu dapat memberikan pemeliharaan dan perhatian yang cukup untuk anak-anak mereka.

Oleh sebab itulah Islam membolehkan penggunaan alat-alat kontrasepsi dalam rangka menghalangi pembuahan sel telur oleh sel sperma. Dengan kata lain, pengaturan kelahiran dengan menggunakan alat kontrasepsi seperti kondom, llspiral/IUD, atau kontrasepsi hormonal, seperti pil KB atau suntikan adalah legal secara syar’i selama tidak menimbulkan mudarat (bahaya) untuk pasangan suami-istri dan tidak bersifat permanen. Akan tetapi program ini tidak akan dijadikan solusi bagi persoalan kemiskinan bagi negara, karena banyak anak bukanlah penyebab angka kemiskinan meningkat. 

Sistem Islam memiliki tata cara yang khas dalam mengentaskan kemiskinan, yaitu dengan berbasis pada penerapan syariat Islam kafah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Politik ekonomi Islam menjamin terpenuhinya kebutuhan primer (pokok) pada tiap-tiap individu rakyat secara menyeluruh dan membantu tiap-tiap individu di antara mereka untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai kadar kemampuannya (Abdurrahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam).

Negara menjamin lapangan kerja bagi setiap warga negara. Dengan adanya jaminan lapangan kerja ini, setiap rakyat bisa menafkahi keluarganya sehingga kebutuhan pokoknya tercukupi. Negara juga mewujudkan iklim usaha yang kondusif sehingga rakyat bisa bekerja dengan tenang dan stabilitas harga barang sehingga terjangkau oleh seluruh rakyat. Negara akan memastikan bahwa harta kekayaan terdistribusi secara adil sehingga seluruh rakyat merasakan kemakmuran.

Dengan mekanisme ini, tiap-tiap rakyat terbebas dari kemiskinan dan merasakan kemakmuran. Bahkan, orang-orang yang lemah pun merasakan kemakmuran karena negara mengurusi mereka. 

Negara juga akan mengatur pembiayaan untuk kemaslahatan rakyat, termasuk pendidikan dan kesehatan, dari wakaf oleh individu penguasa maupun rakyat. Semua itu bersumber di Baitul Mal, yang memiliki mekanisme terpusat dan pendistribusiannya diserahkan di masing-masing wilayah. Demikianlah, dengan mekanisme yang bertumpu kepada syariat ini, negara akan mampu mengentaskan rakyat dari kemiskinan dan mewujudkan kemakmuran bagi seluruh rakyat.[]


*) Praktisi Kesehatan Kota Kendari

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.