Header Ads


Di Balik Status Bencana: Kepentingan Ekonomi, Kerusakan Lingkungan, dan Absennya Islam dalam Kebijakan Negara

Oleh: Syahril Abu Khalid*)


Pendahuluan

IndonesiaNeo, OPINI - Di tengah tragedi banjir dan longsor hebat yang menimpa Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, dengan ribuan jiwa hilang, jutaan orang terdampak, infrastruktur porak-poranda dan kebutuhan dasar masyarakat terancam, pemerintah masih enggan menetapkan status ini sebagai bencana nasional. Keputusan ini tampak teknis dan administratif, namun bila ditelaah secara ilmiah, ia mengungkap arsitektur struktur kekuasaan, kepentingan ekonomi, dan kerentanan kelembagaan di Indonesia yang jauh lebih dalam daripada sekadar persoalan definisi formal pemerintah pusat.

Secara hukum, status bencana nasional memberi pemerintah pusat kewenangan komando penuh, mempermudah koordinasi lintas kementerian, serta membuka jalur sumber daya nasional bahkan internasional secara lebih cepat. Namun saat ini status tersebut tidak diberikan dengan alasan bahwa tiga provinsi dari 38 provinsi yang ada masih dinilai mampu ditangani oleh otoritas daerah dan pemerintah pusat tanpa perlu “mengangkat tangan” secara formal. Pernyataan Menteri Sekretaris Negara bahkan menegaskan bahwa yang paling penting bukan statusnya tetapi proses penanganan.

Namun cara pandang ini menciptakan gap epistemik antara realitas empiris di lapangan dan konstruksi politik pemerintahan. Bencana ini, menurut lembaga masyarakat sipil dan puluhan organisasi hak asasi kemanusiaan, telah memenuhi kriteria obyektif bencana nasional: korban jiwa besar, kerugian sosial ekonomi yang masif, isolasi wilayah yang parah, dan kapasitas lokal yang runtuh. Desakan untuk status nasional bukan hanya simbolik, tetapi untuk membuka akses sumber daya yang lebih luas serta transparan. 


Analisis Faktual Dibalik Status Kebencanaan

Di bawah permukaan retorika kapasitas nasional tersebut, muncul pertanyaan yang tidak bisa diabaikan: apakah penolakan status bencana nasional dan bantuan asing memiliki hubungan dengan kepentingan kuat yang tumbuh dari industrialisasi lahan, deforestasi, serta relasi kuasa antara negara, perusahaan dan oligarki? Indonesia selama puluhan tahun menyeimbangkan antara kebutuhan pembangunan, dengan membuka hutan untuk perkebunan kelapa sawit, pulpwood, tambang, dan infrastruktur, dan hakikat perlindungan ekosistem. 

Deforestasi dan degradasi lingkungan telah menjadi salah satu faktor struktural yang memperparah risiko banjir dan longsor di hulu sungai-sungai Sumatra. Aktivitas penebangan liar, konversi lahan, dan ekploitasi hutan telah melemahkan kemampuan alami lanskap untuk menahan curah air ekstrem, meningkatkan run-off dan bencana hidrometeorologi. 

Dalam konteks ini, klaim tentang “ketakutan terhadap mafia dan perusahaan besar” bukanlah sekadar konspirasi belaka, melainkan refleksi dari kekuatan ekonomi yang telah lama berakar di sektor lahan. Kontraktor, grup agribisnis dan perusahaan ekstraktif memiliki relasi kuat dengan elite politik dan pejabat birokrasi yang membuat kebijakan, seringkali tanpa transparansi yang memadai dan tanpa mau mengakui fragmen kerusakan lingkungan sebagai tanggung jawab struktur pembangunan ekonomi nasional. 

Walaupun belum ada bukti hukum yang menyatakan pemerintah melindungi perusahaan tertentu untuk menyembunyikan peran mereka dalam deforestasi, skeptisisme publik lahir dari ketidakpercayaan sistemik terhadap korporasi yang memiliki pengaruh besar dalam kebijakan pertanahan dan lingkungan, serta kelembagaan yang lemah dalam penegakan hukum lingkungan. 

Penolakan terhadap bantuan asing dalam penanganan bencana ini juga bukan hanya soal harga diri nasional atau kemampuan logistik, tetapi juga tentang bagaimana suatu negara mengartikulasikan kedaulatan dalam konteks kerentanan. Pemerintah secara konsisten mengatakan bahwa Indonesia mampu “mengatasi sendiri” tanpa bantuan luar walau bantuan itu ditawarkan oleh negara sahabat. Sikap ini berulang kali terlihat saat menolak tawaran bantuan, termasuk bantuan pangan dan medis dari luar negeri, meskipun kondisi lapangan menunjukkan kebutuhan yang sangat besar.

Paradoks ini, menolak bantuan asing sekaligus akrab dengan pinjaman luar negeri dalam urusan fiscal, menunjukkan bahwa penolakan itu bukan cerminan kemampuan riil, tetapi lebih merupakan pilihan politik. Kedaulatan yang dimaksud bukan hanya dalam konteks militer atau geopolitik, tetapi dalam narasi domestik untuk menunjukkan bahwa negara tidak lemah di hadapan bencana. 

Namun, ketika pilihan politik tersebut gagal menghadirkan respons kemanusiaan yang cepat dan kuat, maka ia justru menjadi alat legitimasi yang rapuh, meningkatkan ketidakpercayaan publik terhadap institusi pemerintahan dan elit politik.

Pada tataran ilmiah, fenomena ini bisa dianalisis melalui lensa teori politikal ekonomi bencana, yang menyatakan bahwa negara tidak netral dalam menghadapi krisis. Bencana tidak hanya dipengaruhi oleh faktor alam, tetapi juga oleh struktur kekuasaan yang menentukan siapa yang terlindungi, bagaimana sumber daya dialokasikan, dan siapa yang dianggap layak mendapatkan pertolongan. 

Keengganan menetapkan status bencana nasional, ketika dikaitkan dengan konteks ekonomi dan politis yang lebih luas, memperlihatkan bahwa respons terhadap bencana menjadi medan persaingan kepentingan antara kebutuhan rakyat dan logika kapital yang mengelola sumber daya alam di Indonesia.

Akhirnya, keputusan ini bukan sekadar soal apakah status bencana nasional layak atau tidak. Ini adalah cerminan bagaimana pemerintahan membaca risiko dalam konteks pembangunan, bagaimana negara memosisikan dirinya di panggung internasional, dan bagaimana keseimbangan antara kedaulatan, kemanusiaan dan akuntabilitas publik diatur, seringkali dengan konsekuensi langsung bagi jutaan warga yang berharap pada keselamatan, keadilan, dan perlindungan yang layak di saat negara mereka paling membutuhkan.


Islam Solusi Hakiki

Dalam perspektif Islam, bencana bukan sekadar peristiwa alam yang netral, tetapi ayat peringatan sekaligus cermin rusaknya tata kelola kehidupan. Ketika negara gamang menetapkan status bencana, ragu membuka bantuan, dan terikat kepentingan ekonomi yang merusak lingkungan, itu menandakan bukan sekadar kegagalan teknokratis, melainkan krisis aqidah dalam pengambilan kebijakan. 

Islam tidak memandang urusan publik sebagai wilayah kompromi pragmatis, tetapi sebagai amanah syar‘i yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Karena itu, Islam tidak ditawarkan sebagai opsi alternatif di antara sistem lain, melainkan kewajiban aqidah untuk diterapkan secara menyeluruh dalam negara.

Dengan kata lain, bahwa menolak hukum Allah dalam pengaturan negara berarti menolak fungsi utama kekuasaan itu sendiri. Imam al-Māwardi رحمه الله menyatakan bahwa negara ditegakkan:

“لِحِفْظِ الدِّينِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا بِهِ”

“Untuk menjaga agama dan mengatur urusan dunia dengannya.” (Al-Aḥkām as-Sulṭāniyyah, hlm. 5)

Dalam bingkai Khilafah, kebijakan penanggulangan bencana berdiri di atas prinsip ri‘ayah syu’un al-ummah,pengurusan urusan rakyat,bukan kepentingan korporasi atau citra politik. Negara wajib melindungi jiwa, harta, dan lingkungan; hutan adalah milik umum yang haram diprivatisasi dan dieksploitasi hingga merusak keseimbangan alam. Negara tidak takut membuka fakta deforestasi, karena tidak bersekutu dengan oligarki; tidak gengsi menerima bantuan, karena kemuliaan diukur dengan keselamatan rakyat, bukan narasi kedaulatan semu. Seluruh sumber daya negara, baitul mal, aparat, hingga jaringan umat, dikerahkan cepat tanpa menunggu kalkulasi politik atau kepentingan investor.

Maka akar persoalannya bukan sekadar “status bencana nasional”, melainkan absennya sistem Islam sebagai pengatur kehidupan. Selama aqidah dipisahkan dari kebijakan negara, bencana akan terus dikelola dengan logika kepentingan, bukan tanggung jawab. Islam hadir bukan untuk memperindah wacana moral, tetapi untuk mengakhiri ketidakadilan struktural. Memilih Islam sebagai sistem negara bukan romantisme sejarah, melainkan konsekuensi iman: bahwa hukum Allah lebih layak mengatur manusia daripada kepentingan manusia itu sendiri.

Wallahualam bishawab.[]


*) Muballigh & Pemerhati Kebijakan Publik

1 komentar:

  1. Ini pemerintah kita adalah bandit bandit yang hanya melayani kepentingan korporasi dan mafia lahan...

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.