Header Ads


Menakar Keseriusan Pemerintah terhadap Akses Pendidikan

Oleh: Windih Silanggiri*)


IndonesiaNeo, OPINI - Bencana Sumatra masih menyimpan luka mendalam. Semakin hari, jumlah korban terus meningkat. Banyak fasilitas umum rusak total dan tidak dapat digunakan kembali, termasuk gedung-gedung pendidikan. Hal ini mengakibatkan proses pembelajaran terhenti. Padahal, pendidikan merupakan salah satu kebutuhan mendasar yang harus terpenuhi. Jika generasi tidak segera mendapatkan pendidikan, bagaimana masa depan mereka?

Di Aceh, terdapat 15 kabupaten/kota yang belum dapat melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Sementara itu, tiga wilayah lainnya mulai membuka sekolah secara bertahap. Di Sumatra Utara, dua wilayah masih belum bisa menyelenggarakan pembelajaran, dan dua wilayah lainnya baru dapat menjalankan sebagian kegiatan belajar (kompas.com, 9-12-2025).

Mendikdasmen Prof. Abdul Mu'ti dalam rapat kerja dengan Komisi X menjelaskan bahwa terdapat 2.798 satuan pendidikan terdampak, 5.421 ruang kelas rusak, dan lebih dari 600 ribu siswa mengalami gangguan layanan pendidikan. Banyak sekolah mengalami kerusakan, akses terputus, dan sebagian digunakan sebagai posko pengungsian (detik.com, 9-12-2025).

Melihat kondisi ini, Abdul Mu'ti menyatakan bahwa pihaknya akan mengupayakan pembangunan sekolah yang rusak akibat bencana banjir dan longsor di Provinsi Aceh, Sumatra Utara (Sumut), dan Sumatra Barat (Sumbar) mulai Februari 2026 (kompas.com, 13-12-2025).

Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Kurniasih Mufidayati, meminta agar bantuan pembebasan Uang Kuliah Tunggal (UKT) bagi korban bencana Sumatra dari Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti Saintek) dilakukan tanpa syarat administrasi yang rumit. Selain itu, bantuan harus diberikan tanpa tebang pilih, baik kepada Perguruan Tinggi Negeri maupun Perguruan Tinggi Swasta (kompas.com, 13-12-2025).


Penanganan Lamban, Buah Penerapan Sistem Kapitalisme

Kesan lambannya respons dan minimnya empati dari pemerintah pusat tidak bisa dilepaskan dari sistem yang bercokol di negeri ini. Sistem kapitalisme telah menjadikan keuntungan sebagai standar dalam pembuatan kebijakan. Pendidikan yang merupakan kebutuhan mendasar justru tidak menjadi perhatian utama negara.

Keengganan negara dalam menetapkan bencana Aceh dan Sumatra sebagai bencana nasional mengindikasikan adanya kepentingan investor yang hendak dilindungi. Hal ini menunjukkan bahwa banyaknya jumlah korban, rusaknya fasilitas umum, hingga hilangnya akses pendidikan bagi generasi telah dikalahkan oleh kepentingan investor.

Lambannya respons negara dalam pemulihan pascabencana, terutama terkait kebutuhan generasi terhadap pendidikan, mengakibatkan tanggung jawab negara diambil alih oleh pihak swasta, seperti lembaga kemanusiaan, NGO (Non-Governmental Organization), maupun influencer. Mereka justru lebih cepat tanggap dibandingkan penanganan negara.

Inilah wajah buruk sistem kapitalisme. Negara mengalihkan tanggung jawabnya sebagai pelindung utama generasi. Terancamnya pendidikan anak-anak terdampak banjir menjadi sulit terselesaikan karena kepentingan ekonomi ditempatkan di atas segalanya.

Lantas, sampai kapan generasi akan kehilangan akses pendidikan? Apakah ada solusi atas kondisi ini?


Islam Mengatasi Bencana

Islam diturunkan oleh Allah Swt. untuk mengatur seluruh urusan manusia, baik hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, maupun hubungan manusia dengan manusia lainnya. Dalam hubungan yang ketiga inilah negara memiliki peran besar untuk mewujudkannya.

Dalam Islam, pemimpin adalah raa'in, yakni pengurus urusan rakyat, bukan fasilitator para investor. Oleh karena itu, pemimpin wajib berada di garda terdepan dalam memastikan keselamatan dan keberlangsungan hidup rakyat.

Jika terjadi bencana, pemimpin harus memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar setiap individu rakyat, termasuk akses pendidikan dan kesehatan. Fasilitas umum yang rusak dan tidak dapat digunakan kembali harus segera dibangun oleh negara agar aktivitas dapat berjalan seperti sediakala.

Negara wajib memenuhi kebutuhan dasar setiap individu rakyat meskipun dalam kondisi darurat bencana. Negara tidak akan lamban dalam penanganan. Tenaga kesehatan dan alat-alat berat akan segera diturunkan ke lapangan untuk mengevakuasi korban. Layanan kesehatan, pendidikan, air bersih, serta pemulihan psikis korban terdampak bencana wajib diberikan oleh negara.

Pemulihan infrastruktur dilakukan secara tanggap dengan koordinasi bersama gubernur (wali) di wilayah terdampak bencana. Negara akan mengomando secara cepat, sistematis, dan terarah. Negara juga akan memobilisasi guru serta menyediakan sarana pendidikan darurat agar anak-anak dapat kembali memperoleh pendidikan.

Sejarah mencatat bahwa pada masa pemerintahan Islam, penanganan bencana dilakukan melalui pendistribusian harta Baitulmal, pemulihan infrastruktur secara cepat, pengerahan aparat negara ke lapangan, serta pemenuhan kebutuhan dasar rakyat tanpa birokrasi yang berbelit dan panjang.

Paradigma ini dapat terwujud jika ditopang oleh sistem ekonomi Islam. Dalam Islam, anggaran negara memiliki pos-pos yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. semata-mata untuk mengurusi urusan rakyat. Hal ini berbeda dengan sistem ekonomi kapitalisme yang anggarannya bersumber dari pajak dan utang. Akibatnya, pendidikan baru dipulihkan jika stabilitas ekonomi dianggap aman, bahkan dipandang sebagai beban negara.

Demikianlah paradigma Islam dalam pemulihan pascabencana, khususnya dalam menjamin akses pendidikan. Semua itu hanya dapat terwujud dalam sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah, dengan pemimpin seorang khalifah.

Wallahu a'lam bisshawab.[]


*) Pemerhati Remaja

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.