Di Balik Layar Anomali: Ancaman Konten Absurd terhadap Dunia Anak
Oleh: Pita Ummu Faqih (Pegiat Literasi)
Tung Tung Tung Sahur, Ballerina Capuccina, Bombardina Crocodillo, Tralalero Tralala—sederet istilah yang belakangan ini tak asing lagi di telinga kita. Istilah-istilah tersebut dipopulerkan oleh anak-anak Gen Z maupun Gen Alpha.
Fenomena tayangan anomali yang sedang ramai di media sosial Indonesia berakar dari tren global bernama Italian Brainrot. Tren ini dikenal melalui konten visual absurd yang menggabungkan makhluk hidup, benda mati, dan unsur manusia, serta kerap disertai narasi suara AI berbahasa Italia atau campuran bahasa yang tidak lazim. Karakter-karakter seperti Tralalero Tralala (hiu bersepatu Nike) menjadi ikonik dalam tren ini (detik.com, 25/05/2025).
Di Indonesia, tren ini diadaptasi dengan istilah anomali, yang menggambarkan kesan aneh, lucu, dan menyeramkan. Contohnya adalah tokoh Tung Tung Tung Sahur, yang digambarkan sebagai pentungan hidup, memiliki mata, kaki, dan tangan, serta menghantui orang-orang yang tidak bangun sahur.
Karakter-karakter yang tercipta dari imajinasi manusia dan kecerdasan buatan (AI) ini menjadi konten yang memiliki daya tarik tinggi. Semakin banyak kreator konten atau pengguna media sosial yang meraup keuntungan dari viralnya tokoh-tokoh anomali ini karena memicu rasa penasaran warganet.
Meskipun video aslinya telah dihapus, versi remix, parodi, maupun reupload dari konten tersebut masih banyak beredar di berbagai platform media sosial, termasuk YouTube. Anak-anak sebagai konsumen pasif justru menjadi kelompok paling rentan karena menyerap isi konten tanpa pemahaman yang utuh dalam menyaring informasi.
Ancaman Konten Absurd
Gaya hidup yang liberal—alias serba boleh—yang didukung oleh kecanggihan kecerdasan buatan mendorong terciptanya kreativitas tanpa batas. Karakter-karakter baru yang dipropagandakan terkesan lucu dalam keanehannya, padahal di balik itu tersimpan pesan-pesan yang menyimpang.
Tren ini menuai kritik. Karakter Tralalero Tralala diduga mengandung unsur Islamofobia karena lirik dalam videonya mengejek Allah dalam bahasa Italia. Sementara itu, karakter Bombardina Crocodillo dikritik karena meremehkan tragedi genosida di Gaza; beberapa video bahkan menggunakan audio yang bercanda tentang pesawat yang membom anak-anak di Palestina (wikipedia.org).
Di sisi lain, konten dengan karakter absurd ini memberikan dampak psikologis yang tidak dapat diremehkan. Paparan terhadap konten digital yang absurd—yang membingungkan, mengandung unsur kekerasan, atau penghinaan—dapat berdampak buruk secara emosional dan mental, terutama bagi anak-anak dan remaja. Gangguan emosional dapat muncul akibat kebiasaan anak-anak yang terlalu banyak menghabiskan waktu di depan layar tanpa pengawasan orang tua. Tayangan absurd hanya memperburuk kondisi ini (Kompasiana, 13/12/2023).
Anak-anak cenderung meniru apa yang mereka lihat. Konten anomali tidak memberikan pesan positif bahkan sering kali menyuguhkan adegan yang tidak ramah anak. Hal ini berbahaya jika ditiru.
Karakter absurd yang ada juga tidak sesuai dengan kenyataan—misalnya, hiu memakai sepatu, pesawat berkepala buaya, atau manusia dengan kepala berbentuk cangkir kopi. Hal ini dapat melemahkan kemampuan berpikir kritis karena anak terbiasa menerima hal-hal aneh tanpa mempertanyakan logika atau kebenarannya. Akibatnya, anak bisa menganggap keanehan sebagai hal yang lucu dan biasa, sehingga menurunkan empati dan kepekaan sosial.
Pandangan Islam
Berbagai nama karakter anomali tersebut adalah kata-kata tanpa arti. Jika anak-anak terbiasa mendengar kata tanpa makna, mereka akan kehilangan kesempatan untuk membangun kosa kata bermakna yang seharusnya menjadi fondasi berpikir. Fitrahnya, anak belajar dari apa yang ia lihat dan dengar dalam kesehariannya. Kata adalah doa; oleh karena itu, setiap kata yang didengar sebaiknya memiliki makna yang baik dan mengandung nilai positif.
Dalam pendidikan anak menurut Islam, informasi seharusnya disampaikan sesuai fakta dan dengan bahasa yang sesuai dengan usia anak. Munculnya karakter-karakter absurd ini dapat mengacaukan proses pemahaman terhadap realitas. Anak akan kesulitan membedakan antara khayalan dan kenyataan. Jika dibiarkan, hal ini akan memengaruhi tumbuh kembang dan proses pendidikan mereka.
Islam berdiri atas tiga pilar: ketakwaan individu, kontrol masyarakat, dan negara yang menerapkan syariat Islam. Jika ingin melindungi generasi dari tontonan yang merusak, maka orang tua harus sadar akan pengaruh buruk yang mungkin ada di sekeliling anak. Pengaturan durasi dan pemantauan tontonan tidak boleh diabaikan. Anak juga harus dibekali dengan ketakwaan agar memiliki filter dalam memilih tontonan—sehingga dapat menjauhi tayangan yang berbau maksiat atau kekerasan.
Masyarakat juga berperan dalam mengontrol dan mengingatkan jika ada kelalaian atau penyimpangan di sekitarnya. Bukan malah ikut menyebarkan atau mendukung kebiasaan yang justru mengancam masa depan generasi.
Peran paling strategis adalah peran negara. Negara seharusnya menerapkan kebijakan yang melindungi warganya dari konten yang berbahaya. Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab Struktur Negara Khilafah menjelaskan bahwa dalam sistem Islam terdapat Departemen Penerangan (Al-I'lam) yang memiliki peran penting dalam mengatur informasi dan media. Departemen ini bertugas membina masyarakat agar menjadi pribadi yang Islami, lurus, dan bersih melalui penyebaran informasi yang sesuai dengan syariat Islam. Departemen ini juga memiliki wewenang untuk memblokir atau menghentikan penyiaran informasi yang dianggap membahayakan, serta memberikan sanksi terhadap penyebaran ide yang bertentangan dengan Islam.
Namun, hal ini sulit terwujud dalam sistem yang menjadikan Hak Asasi Manusia sebagai dalih kebebasan tanpa batas. Generasi hanya akan terlindungi dari berbagai ancaman jika syariat dari Zat yang Maha Pencipta dan Maha Pengatur diterapkan secara menyeluruh, sehingga menjadi rahmatan lil ‘alamin.
Wallahu a'lam bish-shawab.
Post a Comment