ANAK NAKAL MASUK BARAK, BENARKAH BISA BERUBAH?
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menerapkan kebijakan baru berupa pendidikan ala barak militer bagi siswa yang dianggap “nakal”. Program ini melibatkan TNI dan Polri, dan telah mulai dilaksanakan di Purwakarta dan Bandung. “Di Purwakarta ada 30 anak. Hari ini, di Kota Bandung juga 30 anak,” ujarnya usai memimpin apel Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tingkat Provinsi Jawa Barat di Lapangan Kujang Rindam III/Siliwangi, Bandung, Jumat, 2 Mei 2025. (Tempo.co, 2/5/2025)
Jika melihat kebijakan ini, tampaknya tujuan utamanya adalah untuk membentuk karakter anak melalui pendekatan kedisiplinan. Namun, muncul pertanyaan penting: apakah dengan memasukkan anak-anak ke barak militer benar-benar bisa mengubah perilaku mereka? Apakah ada jaminan bahwa setelah keluar dari barak, anak-anak tersebut akan menjadi pribadi yang lebih baik?
Kebijakan ini terkesan sebagai solusi instan dan cenderung bersifat reaktif. Seolah-olah negara menyerah terhadap persoalan anak/remaja yang justru merupakan aset masa depan bangsa. Alih-alih menyelesaikan akar masalah, kebijakan ini tampak hanya menyentuh permukaan.
Dalam sistem sekuler kapitalis yang mengagungkan kebebasan tanpa batas, anak-anak tumbuh tanpa arah yang jelas. Mereka tidak tahu nilai dan sikap seperti apa yang seharusnya dijunjung. Di sinilah lemahnya peran negara dalam sistem kapitalisme: gagal menghadirkan pendidikan yang membentuk karakter sejati.
Negara seharusnya hadir dengan kebijakan pendidikan yang mendalam dan menyeluruh. Pendidikan bukan sekadar soal disiplin, tetapi tentang membentuk manusia seutuhnya. Negara, orang tua, dan masyarakat harus bersinergi. Orang tua adalah pendidik pertama dan utama; masyarakat berperan sebagai lingkungan pendukung; dan negara sebagai pembuat regulasi dan penyedia fasilitas.
Pemerintah wajib mendukung beberapa hal mendasar:
Pertama, peran orang tua. Orang tua adalah pilar utama dalam pembentukan karakter anak. Mereka harus menanamkan nilai-nilai Islam dan menjadi teladan dalam sikap dan perilaku. Kurangnya perhatian dan pola asuh yang salah akan berdampak negatif pada perkembangan kepribadian anak. Pola pikir sekuler dalam keluarga hanya akan melahirkan generasi yang jauh dari nilai agama. Jika kita menginginkan anak yang saleh dan salihah, bukankah harus dimulai dari orang tua yang juga saleh?
Kedua, peran masyarakat. Lingkungan sosial yang kondusif sangat dibutuhkan untuk membentuk kepribadian yang baik. Ketika masyarakat abai, perilaku menyimpang dibiarkan tumbuh subur. Dalam sistem sekuler, masyarakat cenderung menormalisasi perilaku menyimpang seperti pacaran bebas, gaya hidup hedonis, konsumtif, permisif, hingga liberalisme. Semua itu dianggap bagian dari modernisasi, padahal justru merusak tatanan moral generasi.
Ketiga, peran negara. Mari kita refleksikan, sudah berapa kali kurikulum pendidikan berubah? Apakah perubahan tersebut benar-benar berdampak positif terhadap perilaku peserta didik? Faktanya, tidak. Selama kurikulum masih berpijak pada asas sekularisme—yang memisahkan agama dari kehidupan—maka tujuan membentuk karakter tidak akan tercapai.
Karakter yang baik lahir dari pola pikir dan pola sikap yang baik, yang bersumber dari aturan Zat Yang Maha Baik, yaitu Allah Ta’ala. Maka, untuk menyelesaikan krisis generasi ini, kita memerlukan sistem pendidikan dan kehidupan yang berlandaskan Islam secara menyeluruh.
Kita tentu merindukan lahirnya generasi yang berkualitas, berkarakter mulia, dan cerdas. Generasi seperti ini mustahil lahir dari rahim sistem kapitalisme sekuler. Fakta membuktikan, semakin jauh generasi dari ajaran Islam, kerusakan moral makin merajalela. Artinya, sistem sangat berperan besar dalam membentuk arah dan masa depan generasi.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Post a Comment