Mengadili Kayu
Oleh: Abu Al-MArQAsh*)
IndonesiaNeo, OPINI - Banjir bandang yang terjadi pada akhir November 2025 di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat bukan hanya sekedar akibat dari 'amukan alam'. Hujan lebat yang melanda sebenarnya mengungkap adanya tanggung jawab manusia yang terabaikan.
Pada awal Desember 2025, sudah tercatat lebih dari 1.000 korban jiwa, ribuan rumah rusak, dan ratusan ribu warga terpaksa mengungsi (www.forestdigest.com, 6-12-2025; mongabay.co.id, 21-12-2025).
Di tengah kesedihan keluarga korban, arus banjir memunculkan jejak-jejak kayu yang terbawa - seolah meminta akuntabilitas dari mereka yang bertanggung jawab. Siapa yang seharusnya dihakimi, alam atau perbuatan manusia?
Serangkaian data dan penyelidikan untuk 'mengadili apa di balik fakta-fakta kayu' mengungkapkan sebuah kebenaran yang menyedihkan, penebangan hutan dan kebijakan perusahaan terindikasi merupakan penyebab utama masalah ini.
Berbagai fakta memberikan gambaran yang jelas mengenai sumber krisis ekologi di Sumatra, antara lain:
- Deforestasi yang masif terjadi dengan hilangnya sekitar 1,4 juta hektar hutan di Aceh, Sumut, dan Sumbar antara tahun 2016 hingga 2025 akibat kegiatan 631 perusahaan yang terlibat dalam tambang, perkebunan sawit, energi, dan berbagai izin lainnya. Sementara itu, ekosistem kritis Batang Toru di Sumut mengalami deforestasi sekitar 72.938 hektar selama periode 2016 hingga 2024 (www.walhi.or.id, 2-12-2025), yang berakibat pada berkurangnya fungsi hidrologis di hulu.
- Per 19 Desember 2025, tercatat sebanyak 1.072 orang meninggal dan 186 lainnya hilang (mongabay.co.id, 21-12-2025). Pusat Studi Ekonomi dan Hukum (CELIOS) memperkirakan bahwa kerugian ekonomi akibat bencana ini mencapai Rp 68,67 triliun (mongabay.co.id, 21-12-2025).
- Sejumlah kayu gelondongan yang memiliki label legal ditemukan terhanyut setelah banjir, menunjukkan adanya eksploitasi yang terorganisir (mongabay.co.id, 21-12-2025).
- Tim lingkungan Apel Green Aceh mendapati tumpukan kayu gelondongan (~30 m³) di hulu Nagan Raya hanya sehari sebelum terjadinya banjir (www.forestdigest.com, 6-12-2025).
- Bukti adanya potongan yang dihasilkan oleh mesin pada kayu yang hanyut semakin menguatkan dugaan mengenai pembalakan yang memiliki izin maupun yang ilegal (PETI) di area hulu (www.forestdigest.com, 6-12-2025; nu.or.id, 1-12-2025).
- Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) mencatat setidaknya 1.907 izin untuk tambang mineral dan batubara (±2,45 juta ha), 271 izin untuk peminjaman hutan, serta sejumlah proyek PLTA/PLTP dan perkebunan besar yang beroperasi di wilayah daerah aliran sungai yang kritis. Hutan lindung semakin sering diubah menjadi area eksploitasi akibat perizinan yang longgar (nu.or.id, 1-12-2025; www.walhi.or.id, 2-12-2025).
- Beberapa kali pemerintah daerah mengumumkan pembukaan kembali izin penebangan hutan saat peringatan dini bencana dikeluarkan, yang semakin memperparah ancaman ekologis yang telah ada. Sistem pengawasan yang lemah - dapat dilihat dari banyaknya izin bermasalah yang dikeluarkan tanpa adanya analisis risiko - telah memungkinkan terjadinya deforestasi yang terus menerus (nu.or.id, 1-12-2025; www.walhi.or.id, 2-12-2025; ppi.unas.ac.id, 30-03-2027).
Bencana: Antara Faktor Kebijakan dan Eksploitasi
Wartawan Mongabay, Wulan Yanuarwati, mengutip pernyataan Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas (periode 2010-2015), yang menyatakan bahwa kejadian ini mencerminkan apa yang disebut sebagai 'state capture corruption' (mongabay.co.id, 21-12-2025), di mana politisi, pejabat, dan pebisnis mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan kelompok mereka sendiri.
Danang Widoyoko dari Transparency International menekankan bahwa banyaknya kayu yang diberi label menunjukkan bahwa 'peran manusia sangat signifikan' dalam bencana ini (mongabay.co.id, 21-12-2025).
WALHI bahkan menyerukan agar evaluasi dan pencabutan izin-izin korporasi di kawasan ekosistem yang kritis dilakukan (www.walhi.or.id, 2-12-2025).
Ahmad Solihin, Direktur Eksekutif WALHI Aceh, mengungkapkan bahwa banjir bandang adalah bencana ekologis yang diakibatkan oleh kebijakan pemerintah yang mengabaikan keadaan.
Nyatanya, 92% dari zona hulu yang seharusnya berfungsi sebagai perlindungan ekologis telah kehilangan fungsinya yang alami (www.forestdigest.com, 6-12-2025; www.walhi.or.id, 2-12-2025).
Para pelaku, baik yang langsung maupun tidak langsung, terdiri dari berbagai pihak mulai dari perusahaan besar hingga pejabat pemerintah.
Contohnya, PT Tusam Hutani Lestari, yang merupakan perusahaan HTI milik keluarga elit, memiliki konsesi seluas 97.300 ha di Aceh dan terus beroperasi (www.forestdigest.com, 6-12-2025).
Selain itu, terdapat banyak perusahaan yang bergerak di sektor perkebunan kelapa sawit, pertambangan, serta PLTA/PLTU yang terus beraktivitas di lereng curam dan kawasan hulu (www.forestdigest.com, 6-12-2025; nu.or.id, 1-12-2025).
Para pengambil kebijakan, baik di tingkat nasional maupun daerah turut dikritik karena izin-izin yang diterbitkan dihasilkan dari kebijakan yang mengabaikan prinsip kelestarian lingkungan.
Bahkan, revisi UU Sumber Daya Alam telah dilakukan untuk mempermudah pengalihan kawasan hutan demi investasi.
Ketika BMKG mengeluarkan peringatan dini tentang siklon tropis, respons pemerintah hanya sebatas pada 'normalisasi' sungai di hilir (www.walhi.or.id, 2-12-2025), dan tidak berfokus pada penyelesaian masalah yang ada di hulu. Akibatnya, negara dianggap mengabaikan tanggung jawabnya dalam menjaga lingkungan.
Solusi Konkret dari Perspektif Islam
Islam memberikan kerangka solusi yang jelas. Dalam pandangan Islam, lingkungan hidup merupakan amanah dari Allah.
Manusia berperan sebagai khalifah di bumi dengan tanggung jawab untuk mengelola lingkungan secara bijaksana, bukan merusaknya.
Oleh karena itu, syariah mengatur hutan sebagai sumber daya bersama (milkiyah ‘ammah) yang harus dikelola oleh negara sebagai khalifah (pemimpin umat).
Negara berkewajiban menjaga fungsi ekologis hutan (ḥifz al-bi’ah) dan mencegah berbagai bentuk kerusakan (dharar).
Al-Qur’an juga mengingatkan dalam QS. Ar-Rum: 41,
“Kerusakan telah nampak di daratan dan lautan akibat perbuatan manusia”.
Tidak mengherankan jika Rasulullah ﷺ mengajarkan pencegahan terhadap israf (pemborosan dan kerusakan) bahkan saat melakukan wudhu.
Prinsip lā ḍarar wa lā ḍirār menegaskan bahwa hukum dasar dari setiap aktivitas adalah boleh, kecuali jika mengakibatkan madharat.
Menurut syariah, negara memiliki tanggung jawab penuh terhadap pengelolaan hutan, dan pendapatan yang dihasilkan dari hutan harus disalurkan ke Baitul Maal (kas negara) demi kepentingan umat.
Kebijakan mengenai hutan berada di tangan khalifah, yaitu negara itu sendiri. Negara berwenang untuk menetapkan hima (area lindung khusus) bagi hutan-hutan yang dianggap penting dan harus menerapkan ta’zir (sanksi) yang tegas kepada pihak-pihak yang merusak.
Sanksi berat perlu dijatuhkan kepada pelaku pembalakan liar atau tindakan merusak hutan agar dapat memberikan efek jera dan mencegah terulangnya kejahatan serupa.
Dalam konteks saat ini, hal ini berarti mencabut izin-izin yang merugikan, menegakkan hukuman pidana atau administratif yang berat bagi para pelanggar, serta mendorong perusahaan untuk melakukan restorasi terhadap ekosistem yang telah dirusaknya.
Islam mengajarkan bahwa kawasan hutan adalah milik publik yang harus dijaga dan dikelola demi kepentingan umat. Prinsip ini menegaskan peran negara (Muḥtasib) dalam mengawasi dan menjalankan fungsi hisbah untuk mencegah dan mengatasi kerusakan yang terjadi.
Dalam konteks ini, syariah mendorong penerapan istislah (kebijakan publik) yang mengutamakan kemaslahatan rakyat secara keseluruhan.
Hasil dari hutan seharusnya diperuntukkan bagi pembangunan sosial, pengentasan kemiskinan, dan reboisasi, bukan untuk mengedepankan kepentingan segelintir korporasi – bahkan tidak ada ruang untuk aktivitas korporasi pada aset kepemilikan umum.
Penerapan prinsip konservasi, seperti Teknik Tebang Pilih Tanam, adalah pendekatan penting dalam menjaga kelestarian hutan dan mencegah kerusakan lebih lanjut.
Negara memiliki kewajiban untuk menuntut pertanggungjawaban dari pihak-pihak yang merusak kawasan hutan.
Dalam Islam, dana yang berasal dari sumber daya publik seharusnya dikelola oleh Baitul Maal untuk mendukung program reboisasi dan mitigasi bencana, serta mengedepankan solusi konstruktif daripada saling menyalahkan.
Melalui langkah-langkah ini, kita akan mewujudkan keadilan dan melindungi lingkungan sebagai amanah Allah SWT.
Banjir Aceh-Sumatra menjadi pengingat yang jelas tentang kegagalan kita dalam menjalankan peran sebagai khalifah yang adil.
Bencana ini menuntut upaya mendesak untuk menegakkan keadilan ekologis, termasuk memberikan sanksi tegas kepada perusahaan-perusahaan yang merusak lingkungan dan memastikan pemulihan hutan. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah: 60,
"... janganlah kamu berbuat kejahatan di bumi dengan berbuat kerusakan"
Umat Islam, para pemimpin, dan seluruh masyarakat harus bersatu dalam memahami tanggung jawab ini. Hutan tidak boleh dipandang sebagai sumber daya yang sepele, melainkan sebagai bagian integral dari kehidupan kita.[]
*) Pemerhati Lingkungan


Post a Comment