Header Ads


Pungutan Pajak Jadi Beban Pengusaha Burung Walet di Kendari

Oleh: Siti Komatiah, S. Pd. I 
(Pemerhati Masalah Umat)

Sudah jatuh ketimpa tangga pula. Mungkin inilah istilah tepat yang dialami rakyat negeri ini. Bagaimana tidak, disaat pandemi Covid-19 yang kian menganas, dan membuat ekonomi kian sulit. Pemerintah justru menerapkan wajib pajak bagi rakyatnya dalam usaha yang ditekuninya. Salah satunya di daerah Kota Kendari, Sulawesi Tenggara.

Dilansir, zonasultra.com, 22/7/2020. Sejumlah pengusaha burung walet yang ada di Kota Kendari mengeluhkan soal penerapan pembayaran pajak oleh pemerintah kota. Salah satunya La Upe pengusaha burung walet di Kecamatan Puwatu meminta Pemkot Kendari untuk tidak memaksakan pembayaran pajak sarang burung walet. Sebab, ia mengaku banyak masalah yang dihadapi para pengusaha di tengah pandemi Covid-19.

Petani lainnya juga meminta Pemkot membagi klasifikasi petani sarang burung walet yaitu pemula, sedang dan sudah berkembang. Ini dilakukan agar tidak terlalu membebani para petani dalam pembayaran pajak.

Mereka mengaku, masih cukup sulit melakukan pembayaran pajak, sebab meskipun sudah memulai usahanya sejak tiga hingga lima tahun lalu, namun belum memberikan hasil yang signifikan. Apalagi petani yang memulai usahanya dengan cara meminjam kredit.

Miris. Inilah ironi negeri kaum kapitalis yang menganut asas ekonomi neolineralis dari sistem kapitalis sekuleris. Hampir seluruh usaha yang digeluti para rakyatnya tak luput dari bayang-bayang pajak. Inilah sistem ekonomi neoliberal yang secara gamblang membuat negara hanya terbatas dalam pengelolaan dan pengawasan roda perekonomian. 

Sistem ini pun meniscayakan perputaran perekonomian tergantung pada mekanisme pasar, dimana perdagangan, industri dan alat-alat produksi dikendalikan oleh swasta atau pemilik modal dengan tujuan meraup keuntungan yang sebesar-besarnya dalam ekonomi pasar. Alhasil, jika swasta berkuasa maka yang menjadi standar utamanya adalah untung rugi. 

Begitu pun dalam pengelolaan SDA yang jelas dikuasai para pemilik modal (kapitalis). Sehingga hasil SDA yang harusnya dijadikan sebagai salah satu pemasukan negara untuk membiayai keperluan rakyatnya ditelan oleh para korporasi. Maka tak heran walaupun negeri tersebut kaya akan sumber daya alam, pajak tetap menjadi pemasukan utama. Karena SDA bukan lagi milik rakyat yang harus dikelola demi kemaslahatan rakyatnya. Namun sebaliknya pajaklah yang terus digenjot demi pemasukan kas negara dan menjadi kewajiban bagi rakyat untuk membayarnya. Pun hal ini mendzalimi rakyat.

Padahal dalam Islam tidaklah demikian. Islam mewajibkan pajak hanya pada waktu tertentu dan hanya kepada orang-orang yang kelebihan harta. Sebagaimana sabda Rasulullah dan siapa saja yang tidak memiliki kelebihan harta, maka pajak tidak diambil dari yang bersangkutan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ : "Sebaik-baiknya shadaqah adalah yang berasal dari orang- orang kaya" (HR. Bukhari melalui jalur Abu Hurairah).

Pemungutan pajak pun hanya semata-mata demi kemaslahatan rakyat. Karena ada hal mendesak yang jika tidak dipenuhi, maka akan merugikan negara dan rakyat itu sendiri. Pun dana negara tidak mencukupi untuk membiayai berbagai pengeluaran yang jika pengeluaran tersebut tidak dibiayai maka akan timbul kemudharatan. Sedangkan mencegah kemudharatan adalah suatu kewajiban. Sehingga pajak tersebut menjadi wajib.

Kemudian pajak ini sifatnya sementara dan tidak diterapkan secara terus menerus, apalagi sampai menjadi pemasukan utama negara. Pun besarnya pajak harus sesuai dengan kebutuhan yang mendesak pada waktu itu saja. Sehingga pemungutan pajak tidak dilakukan secara massif tanpa pandang bulu yang mengakibatkan rakyat terzalimi. 

Wallahualam bissawab.(*)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.