Sultra Darurat HIV, Bahaya Kebebasan yang Kebablasan
Mustika
Lestari (Relawan
Opini Kendari)
Penyakit
menakutkan HIV/AIDS terus berkembang dan semakin parah menggerogoti negeri ini.
Jika umumnya hanya terjadi di kota-kota besar seperti pulau Jawa, Sumatera, dan
Kalimantan, namun kini telah menjangkit hingga ke daerah-daerah semisal
Sulawesi Tenggara (Sultra). Kepala Dinas Kesehatan Sulawesi Tenggara, Putu
Agustin Kusumawati mencatat hingga Juni 2022 pihaknya menemukan 159 kasus HIV
yang tersebar di seluruh kabupaten/kota di Sulawesi Tenggara, dengan jumlah
terbanyak di Kota Kendari yakni 104 kasus. (http://telisik.id,
16/7/2022)
Sejauh
ini HIV/AIDS menjadi momok yang mengerikan di tengah-tengah masyarakat. Pasalnya
penyakit tersebut menjadi salah satu yang berbahaya dan mematikan, bahkan
sampai saat ini obatnya belum juga ditemukan. Berbagai kalangan, termasuk
pemerintah sepakat jika fenomena ini harus segera dituntaskan agar tidak
semakin menjamur dan mengancam nyawa orang banyak.
Pemerintah telah melakukan beragam upaya untuk
mencegah atau paling tidak mengurangi angka kasus yang satu ini. Misalnya
program edukasi HIV/AIDS, menjaga kesehatan reproduksi, larangan mengunakan
obat-obatan, larangan penggunaan jarum suntik secara bergantian, menghindari
seks bebas dan lain sebagainya.
Akan tetapi tidak cukup disitu, beberapa kalangan
juga menawarkan solusi pada ide hak reproduksi dan ide kebebasan. Mereka beranggapan
bahwa aktivitas seksual merupakan hak yang tidak boleh dilarang. Siapa saja
yang menghendaki hubungan seks selama sadar dan mau, tanpa paksaan maka tidak
bisa disalahkan.
Miris, ketika satu sisi masyarakat diimbau
untuk menjauhi hal-hal terlarang, namun di sisi yang lain mereka dibiarkan pada
kondisi yang sangat memudahkan menuju aktivitas menyimpang. Tentu ini merupakan
sajian solusi yang keliru, sehingga upaya yang dilakukan sia-sia belaka sekadar
mengurangi problem epidemi HIV/AIDS di Sulawesi Tenggara.
Apabila beredar pandangan bahwa penularan
HIV/AIDS yang semakin memprihatinkan sebagai akibat hubungan seks yang tidak
aman dan penggunaan jarus suntik bekas, maka ini adalah pengaburan sumber
penularan yang sesungguhnya. Sebab patut dipahami bahwa mewabahnya penyakit
seperti HIV/AIDS merupakan bencana akibat kebebasan yang kebablasan. Zina atau
seks bebas yang lumrah terjadi di kalangan masyarakat, kebiasaan gonta-ganti
pasangan demi kepuasaan sesaat, aktivitas Pekerja Seks Komersial (PSK) yang
menjajakan tubuhnya demi materi, serta kalangan penyuka sesama jenis atau
homoseksual menjadi faktor utama terjadinya malapetaka ini.
Parahnya, aktivitas demikian seolah diberi
ruang oleh landasan hukum yang berlaku di negeri ini. Pemerintah memandang jika
zina bukan tindakan kriminal yang pelakunya dapat diperkarakan. Atas nama
jaminan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam berperilaku, maka aktivitas yang dilarang
agama pun menjadi hal biasa selama sama-sama ridho dan tidak ada aduan. Sebut
saja pacaran sehat, setia pada pasangan, bahkan prostitusi dan L68T sekalipun. Akibatnya,
bisa kita saksikan akhir-akhir ini para pelaku maksiat semakin percaya diri
unjuk eksistensi ke publik. Jika sudah begini, jangankan menghentikan, sekadar
meminimalisasi saja rasanya tidak mustahil.
Inilah produk kehidupan yang dihasilkan oleh
sistem sekuler-liberalisme. Gaya hidup tanpa batasan telah nyata membawa pada
berbagai kerusakan tatanan kehidupan. Merusak keluarga, mengancam generasi,
mengikis nilai-nilai moral dan memicu kepanikan luar biasa di masyarakat atas
berbagai petaka yang datang silih berganti, tanpa pernah bisa dihentikan. Sebab
solusi yang lahir darinya tak menyentuh akar persoalan.
Ketika salah dalam mengidentifikasi sumber
masalah, maka akan mengakibatkan penanganan yang salah sasaran. Dengan memahami
bahwa zina adalah adalah faktor utama terjadinya HIV/AIDS, maka solusi mendasar
untuk memecahkan masalahnya adalah memberantas akar masalahnya, yaitu zina itu
sendiri, bukan melegalkannya atas nama hak asasi.
Tidak
ada harapan solusi selama rujukannya adalah aturan dari manusia yang serba
terbatas. Untuk itu solusi terbaik harus dikembalikan kepada Islam yang
merupakan agama Allah Subhanahu wa ta’ala dengan segenap kesempurnaan aturannya.
Dalam pandangan Islam, hubungan seksual tanpa ikatan yang halal (pernikahan)
alias zina merupakan tindakan maksiat dan kriminal. Karena itu, Islam tegas
menyatakan bahwa seks bebas adalah haram dan termasuk perbuatan keji yang harus
dijauhi.
Allah
Subhanahu wa ta’ala telah memperingatkan dalam firman-Nya, “Janganlah kalian mendekati zina. Sesungguhnya perbuatan zina itu
perbuatan keji dan jalan yang buruk.” (Q.s. Al-Isra: 32)
Dengan
ini berarti segala sesuatu yang dapat mendorong seseorang terjerumus dalam
perzinaan di masyarakat juga dilarang. Berbagai materi audio, visual, dan
bentuk apapun yang memuat unsur pornografi dan pornoaksi harus dijauhkan dari
masyarakat. Pelakunya ditindak tegas sesuai ketentuan syara. Begitu juga
masyarakat yang harus berperan dalam hal amar ma’ruf nahi munkar, melakukan
pencegahan dan pelaporkan kepada aparat jika terjadi penyimpangan.
Islam
mewajibkan negara untuk menanamkan dan memupuk keimanan serta ketakwaan pada
diri rakyatnya sejak dini, sejalan dengan pelaksanaan sistem pendidikan Islam
yang mampu menjelaskan pada seluruh rakyat, bagaimana Islam mengatur pergaulan
pria dan wanita, hukum menutup aurat dan lain-lain.
Dalam
Islam, palang pintu terakhir dalam mencegah maraknya perzinaan adalah penerapan
sanksi yang tegas terhadap para pelaku. Bagi pezina yang belum menikah (ghair
muhshan) dihukum cambuk 100 kali. Sementara sanksi bagi pelaku zina yang sudah
menikah wajib dirajam, yakni dilempari dengan batu hingga meninggal dunia.
Begitu
juga dengan para pelaku LGBT, Islam akan memberikan sanksi yang tegas, yaitu
mereka akan dibunuh sesuai cara yang ditetapkan oleh pemimpin Islam (Khalifah).
sebagaimana Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam yang memerintahkan untuk
membunuh orang yang melakukan perbuatan kaum Nabi Luth, baik pelaku maupun
objeknya. (HR. Ahmad, Abu Dawud)
Dengan
demikian, penularan penyakit HIV/AIDS yang diakibatkan dari aktivitas perzinaan
dapat diatasi sebelum terjadi. Lantas bagaimana dengan mereka yang tertular
HIV/AIDS namun bukan pelaku zina? Maka ini menjadi kewajiban negara untuk
menyediakan layanan kesehatan sebagai hak masyarakat pada umumnya. Mulai dari
menyediakan obat-obatan, perawatan hingga layanan lainnya seperti melakukan
karantina kepada pasien agar tidak menjangkiti yang lainnya.
Inilah
syariat Islam yang hadir untuk menyelesaikan seluruh problematika kehidupan. Islam
itu memuliakan, mengembalikan makhluk kepada fitrah penciptaannya, memberikan
rasa aman dan menjadi rahmat ketika diterapkan secara menyeluruh, baik dalam
hal ibadah, sosial, budaya, hukum dan lainnya. Wallahu a’lam bi shawwab.
Post a Comment