Header Ads


Disparitas Kapitalisme

La Ode Manarfa Nafsahu*

Kapitalisme, merujuk kepada sebuah sistem yang didasarkan pada kepemilikan pribadi atas sumber daya dan produksi, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan finansial, kriteria dari sistem kehidupan ini, antara lain; kepemilikan sumber keuntungan pribadi, pasar bebas, persaingan materi berharga, keuntungan finansial antar individu dan perusahaan, dan kesenjangan ekonomi yang sulit terukur dan dibendung. Sistem kapitalisme ini telah digunakan di banyak negara didunia, dengan variasi dalam tingkatan regulasi dan pemerintah dalam mengatur pasar. Pendukung kapitalisme seperti Adam Smith, Friedrich Hayek; Milton Friedman, Ayn Rand, Ludwing von Mises. Mereka semua berpendapat bahwa kapitalisme dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, inovasi dan kebebasan individu. Namun, catatan besar yang tertanggalkan berupa kritikan terhadap sistem kapitalisme sarat terhadap cakupan masalah ketimpangan, dampak lingkungan yang kian merusak, dan peran yang terbatas bagi orang-orang yang tidak beruntung secara ekonomi. 

Sistem kapitalisme dengan fokus utamanya dengan menghimpun keuntungan materi sebanyak-banyaknya, telah berkontribusi pada terjadinya kesenjangan ekonomi dan persaingan pendapatan materi yang tidak berkesudahan, dan menuntut keharusan diri kita untuk ikut terseret kedalam gelombang arus sistem ini, yang terus berpola tiada habisnya, lantas bagaimanakah sistem kapitalisme ini bekerja menciptakan ketimpangan dan persaingan yang tiada berkesudahan?

Pertama, akumulasi kekayaan; dalam sistem kapitalisme, individu dan perusahaan mempunyai kebebasan untuk memperoleh keuntungan finansial. Namun, kemampuan untuk menghasilkan keuntungan seringkali terkait dengan kepemilikan modal dan aset produktif, yang berarti siapapun takkan bisa mengakses kekayaan apabila ia tak mempunyai modal serta aset yang produktif. Akibatnya, individu atau perusahaan yang sudah kaya mempunyai akses yang lebih besar untuk menghasilkan lebih banyak kekayaan, sementara yang kurang beruntung sulit untuk naik ke tingkat yang sama, karena ia telah ditekan dan diatur sedimikian rupa baik pendapatan dan sistem kerjanya, agar orang-orang yang tidak beruntung ini tetap berada dilevel terendah, atau miskin.

Kedua, persaingan yang tak terbatas; sistem kapitalisme mendorong persaingan di pasar. Persaingan ini didorong oleh upaya untuk mencapai keuntungan finansial yang lebih besar, yang dapat menyebabkan perusahaan berusaha memaksimalkan pendapatan mereka dengan cara yang mungkin merugikan pesaing atau masyarakat luas, tidak hanya sampai dengan persaingan didunia perusahaan, ini juga berlaku dengan sesama individu. Hal ini dapat menghasilkan praktik-praktik bisnis yang tidak etis, seperti monopoli, penyalahgunaan kekuasaan pasar yang menekan regulasi pemerintah, atau bahkan pengabaian terhadap isu-isu sosial dan lingkungan.

Ketiga, ketidakadilan sistemik; Sistem kapitalis seringkali memiliki struktur yang memungkinkan terjadinya ketidakadilan sistemik. Misalnya, perbedaan upah yang besar antara pekerja yang mempunyai keterampilan tinggi dan pekerja yang mempunyai keterampilan rendah dan yang semestinya mendapatkan pelayanan baik segi kesehatan dan jaminan hukum yang seharusnya bisa diakses oleh setiap orang dengan perbedaan gaji atau pendapatan (Salary/Capital) namun justru pelayanan tersebut hanya bisa diakses oleh orang yang mempunyai incom yang besar, serta kesenjangan gender atau rasial dalam hal kesepakatan dan akses terhadap sumber daya ekonomi.

Keempat, pencapaian keuntungan diatas segalanya; Dalam sistem kapitalis yang berorientasi pada keuntungan finansial, seringkali faktor-faktor sosial, lingkungan, dan kesejahteraan masyrakat secara keseluruhan dapat di abaikan demi mencapai tujuan keuntungan ekonomi yang jauh lebih besar. Akibatnya, menimbulkan kesenjangan pendapatan, jobdesk dan jamsostek yang mempunyai target yang mengabaikan kesehatan, memunculkan tindak kriminalitas sosial, penyimpangan atas hak-hak terhadap kepimilikan individu dan masyarakat, jaminan layanan kesehatan yang buruk, pendidikan yang tidak berorientasi pada pengembangan potensi individu, lapangan usaha yang mempunyai beragam kriteria yang sulit diakses untuk memperoleh sebuah pekerjaan, karena dampak demand preference yang tidak terbatas, dan kerusakan pada lingkungan yang seringkali dibiarkan tidak teratasi.

Berbicara mengenai sistem kapitalisme memang tiada habis persoalannya, adapun fakta terkait dari  beberapa negara yang telah berupaya mengatasi kelemahan (disfungsi), yang terkait dengan kapitalisme dengan mengimplementasikan kebijakan dan program yang beragam, yang kemudian dianggap sebagai percontohan mengatasi kemalaratan kapitalisme yang dijadikan sandaran contoh kebijakan yang tidak terlepas dari narasi yang bekembang. Tetapi, meraka masih dalam bayang-bayang ketakutan atas dampak buruk dari sistem kapitalisme, tatkala menghadapi lonjakan penduduk, ditengah minimnya populasi penduduk dinegara tersebut yang kian bertumbuh seiring tahun yang kemudian di ikuti oleh serapan kebutuhan atas kepentingan keuntungan materi (Finance) dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi individu, perusahaan, dan pemerintah, yang semakin terbatas dan atau menipis. Fakta Berikut:

Pertama, negara-negera nordik (Swedia, Norwegia, Denmark, Finlandia) menerapkan model ekonomi “Kapitalisme Kesejahteraan” yang menggambungkan pasar bebas dengan proteksi sosial yang kuat, kepada layanan akses kesehatan, pendidikan, serta kebijakan mengurangi kesenjangan ekonomi, menurut data statistik swedia Centralbyran pada tahun 2020 tingkat kemiskinan relativ diswedai sekitar 12,3% dengan penduduk berjumlah 10.467.095 jiwa, begitu pula dengan Norwegia ditahun 2019, angka kemiskinan bersifat relativ rendah sekitar 9,4% dari jumlah penduduk 5.348.285 jiwa, dan kriminalitas juga rendah. Di ikuti dengan Denmark, angka kemiskinan berdasark laporan badan statistiknya pada tahun 2020 yakni 12,3%, jumlah populasi 5.825.638 jiwa. Finlandia, badan statiskinya (Tilastokeskus) menunjukan pada tahun 2020, kemiskinan relatif 11,4% dari populasi berjumlah 5.529.468 jiwa. Dengan pendapatan tertinggi tiap bulan-nya bagi warga negara yang berada dinegera-negara nordik ialah 97.270 Dolar As. (2021) berdasarkan dana Moneter International (IMF)) atau berkisar Rp 1.461.189.940,00.

Kedua, negara Jerman, yang menerapkan model “Ekonomi Sosial Pasar” yang mencakup regulasi ketat dan perlindungan bagi pekerja, yang menerangkan perusahan yang bertanggung jawab secara sosial, dan kemitraan, antara pemerintah, perusahaan dan serikat pekerja. Berdasarkan fakta yang kami himpun bahwa Indeks Gini jerman menurut data statistik Federal jerman, ditahun 2020 adalah sekitar 115,9% dari jumlah populasi sekitar 83.328.990 jiwa. Dengan rata-rata pendapatan pekerja tiap bulan-nya sebesar  3.994 euro bruto 65.365.143,87 dengan pendapatan perkapita berdasArkan statisches bundesamt tentang Indeks gini yakni sekitar 0,29. Ini belum dengan percontohan dari beberapa negara lain sesudah negara-negara nordik, dan jerman.seperti Belanda dengan model penerapan kebijakan menganut model “Poldar model” yang melibatkan dialog interaktiv antar perusahaan, manpoweer, pemerintah dalam hal mengenai kesepakatan kebijakan sosial ekonomi. Lalu ada Canada, Selandia Baru, Islandia yang sebelumnya telah melewati masa krisis keuangan global ditahun 2008.

Lantas bagaimana dengan indonesia sendiri sebagai negara yang kompleks dengan beragam permasalah yang tiada habis, yang mengusung penerapan sistem kapitalisme liberal yang dikemas dengan gagasan model ”Ekonomi Pancasila” yang menggabungkan nilai-nilai filsafat yang ada dinegara indonesia, dengan prinsi-prinsip kapitalisme untuk mencapai keadilan sosial. Namun cita-cita yang diharapkan oleh 273.753.180 jiwa ini, kian makin suram. Dimana terdapat beberapa permasalahan  yang terkait dengan penerapan sistem kapitalisme ini yang digagas dengan menggunakan platen ekonomi pancasila. 

Ketimpangan sosial dan ekonomi, telah menyebabkan disparitas yang siginifikan, menurut data Pusat Badan Statistik (BPS) Indonesia, pada tahun 2020, indeks Gini indonesia adalah sekitar 0,8380. Kesenjangan pendapatan, data BPS juga menunjukkan bahwa pada tahun 2020, 10% penduduk terkaya di indonesia memiliki kontribusi  30,1%, terhadap total pendapatan nasional, sedangkan 40% penduduk terbawah hanya memiliki kontribusi 14,3%. 

Kesenjangan regional, terdapat ketimpangan antara wilayah perkotaan dan pedesaan serta pulau-pulau di indonesia. Wilayah perkotaan cenderung memiliki tingkat pendapatan dan akses terhadap infrastruktur lebih tinggi daripada daerah pedesaan. 

Kesenjangan akses kesehatan dan pendidikan, meskipun telah ada kemajuan, namun masih terdapat kesenjangan dalam hal akses yang merata. Daerah-daerah terpencil dan masyrakat miskin sering menghadapi tantangan dalam mendapatkan akses yang setara terhadap layanan kesehatan dan pendidikan. 

Kemiskinan meskipun telah mengalami penurunan, masih banyak penduduk yang yang hidup dibawah garis kemiskinan. Menurut BPS pada Maret 2021, tingkat kemiskinan di indonesia mencapai 9,41% dari total penduduk. Permasalah yang dihadapi kian kompleks dan semakin dibuat rumit mulai dari permasalahan ketergantungan pada sektor ekonomi tertentu yang menyebabkan kerentanan pada harga komoditas global dan menghambat diversifikasi ekonomi yang lebih luas. 

Eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan yang mencakup permasalahan berupa disforestasi, menurut Global Forest Watch, antara 2001 sampai 2020, indonesia kehilangan 23,2 Juta hektar hutan. Yang setara dengan 40% dari luas hutan alamnya. Belum dengan permasalah emsi gas rumah kaca dimana indonesia berada diurutan ketiga setelah cina dan amarika menurt data World Resources Institute ditahun 2017. Pencemaran Air Sungai dan Laut, data dari kementrian lingkungan hidup dan kehutanan menunjukkan 70% sungai di indonesia tercemar oleh hasil limbah pabrik. Kerusakan terumbu karang akibat aktivitas eksploitas atas permintaan yang berlebihan mengakibatkan pengrusakan pada terumbu karang. Menurut Menurut Global Coral Reef Monitoring Network, sekitar 95% terumbu karang di Indonesia berada dalam kondisi terancam atau terancam parah, dan terjadi erosi pantai akibat hilangnya sejumlah besar pasir yang berfungsi sebagai pelindung alami pantai. Mencuatnya konflik lahan antar perusahaan dan warga masyrakat setempat, yang dimana perusahan menerobos batas lahan warga setempat, meningkatnya persoalan ketenaga kerjaan yang dihimpit dengan persoalan upah jam kerja  dan jamsostek yang selalu menghigapi para pekerja karyawan perusahaan dan ketenaga kerjaan formal. 

Persoalan korupsi yang makin menggurita dari lembaga pemangku jabatan instansi pemerintahan legislatif, eksekutif, yudikatif, dan lembaga badan pemerintahan atau suport sistem lainnya yang tiap tahun tiada habsinya kita menyaksikannya dilayar berita, akan tetapi penting untuk dicatat bahwa jumlah kasus korupsi yang terungkap mungkin tidak mencerminkan seluruh spektrum kasus korupsi di Indonesia, mengingat ada pula penanganan kasus oleh kepolisian, kejaksaan, dan lembaga penegak hukum lainnya yang masuk dan ikut terlibat didalam kasus korupsi. Selain itu, Transparency International juga merilis Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perceptions Index/CPI) yang mengukur tingkat persepsi korupsi di berbagai negara. Berdasarkan CPI tahun 2020, Indonesia mendapatkan skor 37 dari 100, menunjukkan tingkat persepsi korupsi yang relatif tinggi. Namun persoalan korupsi sangat sulit untuk dihimpun mengingat persoalan-Nya sangat terstruktur yang melibatkan sejumlah nama-nama besar didalamnya dan sejumlah variabel yang berbeda-beda. Dan memang pada dasarnya, korupsi seperti telah mengakar, menggurita, dan menemukan tempatnya pada sistem kapitalisme. 

Apabila kita melakukan analisis mengenai indeks disparitas ekonomi dari segi pendapatan penduduk dan angka kemiskinan, dari beberapa negara yang diterangkan diatas sebelum-Nya. Akan sangat jauh berbeda tingkat kesenjangan kemakuran-Nya, yang diukur berdasarkan jumlah penduduk dan sejumlah permasalahan yang dihadapi, pada produktivitas pemakaian jumlah sumber daya penghasilan, yang di akomodasikan untuk sejumlah kebutuhan setiap harapan hidup yang ada di indonesia, maupun dinegara yang telah berupaya mengatasi permasalah kelemahan dari kapitalisme secara umum. Namun, semestinya indonesia sendiri dapat dianggap mampu atau bahkan lebih dari negara seperti Negara-negara Nordik, Jerman, Belanda, Kanada, Islandia, atau lebih dari negera-negara tersebut, yang dianggap telah mampu menurunkan angka kesenjangan akibat penerapan kapitalisme, tetapi dibalik itu mereka masih menyimpan kebingungan yang mendalam atas kekhawatiran mereka terhadap sistem kapitalisme itu sendiri, ditengah gempuran melonjaknya tingkat imigran dan pertumbuhan penduduk di negaranya, yang semakin berkembang pesat dengan keterbatasan yang tidak berimbang dengan apa yang mereka miliki, yang tidak sebagaimana dengan negara kita di indonesia. Maka untuk menjawab permasalahan yang dihadapi, sudah semestinya kita membutuhkan sebuah alternatif sistemik yang terjawab dengan sistemik yang bisa mengatasi kerusakan yang ditimbulkan akibat dampak penerapan kebijakan sistem kapitalisme dengan wadah model kepemimpinan pemerintahan demokrasi, yang merupakan lawan dari sistem tersebut, ialah sistem Syari’at Islam dengan model kepemimpinan Sunnah Nabi Muhammad Saw, khilafah Rasyidah ala minhajin nubuwwah yang merupakan sumber aturan hidup yang bersumber dari ALLAH SWT yang mampu dapat memfilter segala bentuk disparitas yang tidak konstan.


*Pengurus Forum Intelektual Muslim Indonesia (FIMI) Wakatobi

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.