Orang Tua Melapor, Guru Terlapor: Dunia Pendidikan Kita Sedang Sakit?
Oleh: Rusnawati*)
IndonesiaNeo, OPINI - Sebuah peristiwa di SMAN 1 Cimarga, Lebak, Banten kembali memantik perdebatan publik tentang batas kewenangan pendidik dalam menegakkan kedisiplinan. Seorang kepala sekolah dilaporkan ke polisi oleh orang tua murid karena menampar anaknya yang ketahuan merokok di lingkungan sekolah. Kasus yang dilaporkan pada 10 Oktober 2025 ini tidak hanya viral di media sosial, tetapi juga berujung pada penonaktifan sang kepala sekolah oleh Pemerintah Provinsi Banten.
Berdasarkan keterangan Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak Satreskrim Polres Lebak, laporan diajukan karena diduga ada tindakan penamparan terhadap siswa. Polisi saat ini tengah melakukan penyelidikan dengan mengumpulkan kesaksian dari berbagai pihak untuk mendapatkan fakta yang berimbang. Sementara itu, Gubernur Banten Andra Soni telah memerintahkan penonaktifan kepala sekolah tersebut dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Banten, dan kasusnya kini ditangani oleh Badan Kepegawaian Daerah untuk menentukan sanksi lebih lanjut (https://www.detik.com, 14/10/2025).
Kasus ini menampilkan pertarungan antara dua perspektif: di satu sisi ada upaya penegakan disiplin sekolah terhadap pelanggaran yang nyata, yaitu merokok di lingkungan pendidikan; di sisi lain, ada tuduhan kekerasan fisik yang dianggap melampaui batas kewenangan pendidik.
Akar Masalah Sistemik
Peristiwa ini sesungguhnya adalah cerminan dari krisis pendidikan yang lebih fundamental.
Pertama, tidak adanya standar yang jelas dan disepakati bersama tentang metode pendisiplinan yang diperbolehkan di institusi pendidikan. Kepala sekolah yang seharusnya menjadi figur otoritas moral justru terjebak dalam dilema antara menegakkan aturan dengan cara yang kemudian dipersepsikan sebagai kekerasan.
Kedua, lemahnya peran orang tua dalam pendidikan karakter anak di rumah. Siswa yang berani merokok di lingkungan sekolah menunjukkan adanya kekosongan pengawasan dan pembinaan nilai-nilai dari keluarga. Namun ketika sekolah mengambil tindakan tegas, orang tua justru mengambil jalur hukum tanpa melihat konteks pelanggaran yang dilakukan anaknya.
Ketiga, sistem pendidikan sekuler yang memisahkan pendidikan dari nilai-nilai agama telah menciptakan kebingungan tentang tujuan pendidikan itu sendiri. Pendidikan hanya direduksi menjadi transfer pengetahuan dan pemenuhan target akademis, sementara pembentukan kepribadian dan akhlak terabaikan.
Solusi dalam Pandangan Islam
Islam memandang bahwa problematika pendidikan modern berakar pada penerapan sistem sekuler-kapitalistik yang memisahkan agama dari kehidupan, termasuk dalam urusan pendidikan. Islam sebagai ideologi sempurna memiliki solusi komprehensif untuk permasalahan ini.
Dalam pandangan Islam, pendidikan bertujuan membentuk kepribadian Islam yang utuh dengan memadukan ilmu pengetahuan dan ketakwaan. Guru dan kepala sekolah bukan sekadar profesi, melainkan amanah mulia yang mengemban tanggung jawab membimbing generasi muda. Rasulullah saw. bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Terkait metode pendisiplinan, Islam memberikan panduan yang jelas dan bertahap. Rasulullah saw. mengajarkan pendekatan dengan lemah lembut, nasihat, dan keteladanan terlebih dahulu. Namun Islam juga tidak menutup pintu terhadap ta'zir (sanksi edukatif) yang proporsional ketika nasihat tidak lagi efektif, dengan syarat tidak melampaui batas dan tidak melukai.
Sejarah peradaban Islam mencatat praktik pendidikan yang cemerlang dengan metode disiplin yang efektif namun manusiawi. Pada masa kejayaan Khilafah, lembaga-lembaga pendidikan seperti madrasah, halaqah, dan universitas menerapkan sistem disiplin yang terstruktur dan proporsional.
Di era Khilafah Abbasiyah, lembaga pendidikan seperti Nizhamiyah yang didirikan Nizham al-Mulk menerapkan tata tertib ketat dengan sanksi bertingkat. Murid yang melanggar aturan pertama kali akan diberikan nasihat dan tausiyah oleh guru. Jika masih membandel, akan dipanggil bersama walinya untuk diperingatkan. Sanksi fisik ringan seperti pukulan dengan tongkat kecil di telapak tangan hanya diterapkan pada pelanggaran berat dan berulang, dengan batasan tidak boleh melukai atau meninggalkan bekas.
Imam al-Ghazali dalam kitab Ayyuha al-Walad menjelaskan bahwa guru harus menggunakan pendekatan kasih sayang dan keteladanan sebagai metode utama. Namun beliau juga membenarkan ta'zir edukatif yang proporsional jika metode lembut tidak berhasil. Prinsipnya adalah mendidik, bukan menyakiti.
Pada masa Khilafah Utsmaniyah, sekolah-sekolah tinggi seperti Suleymaniye Medresesi memiliki dewan disiplin yang terdiri dari beberapa guru senior dan ulama. Mereka memutuskan sanksi secara kolektif berdasarkan syariah, bukan keputusan sepihak satu guru. Ini memastikan keadilan dan proporsionalitas hukuman.
Yang menarik, dalam sistem pendidikan Islam klasik, orang tua tidak pernah mempersoalkan guru yang mendisiplinkan anaknya selama dalam koridor syariah. Bahkan ada ungkapan terkenal: “Kami serahkan dagingnya kepada Anda (guru), tulangnya untuk kami.” Ini menunjukkan kepercayaan penuh kepada guru sebagai pembentuk karakter anak. Kultur penghormatan terhadap guru sangat tinggi karena negara menempatkan mereka sebagai pewaris para nabi.
Selain itu, Islam menekankan bahwa solusi tuntas hanya bisa diwujudkan dalam sistem Khilafah Islamiyah yang menerapkan syariah secara kaffah. Dalam sistem ini, negara bertanggung jawab penuh atas pendidikan dengan kurikulum berbasis akidah Islam, memastikan sinergi antara sekolah, keluarga, dan masyarakat dalam membentuk generasi bertakwa dan berilmu. Guru diberikan posisi mulia dan dihormati sebagai pewaris nabi, bukan sekadar pegawai negeri yang terancam pemecatan karena menjalankan tugasnya mendisiplinkan murid.
Sistem Islam juga memastikan tidak ada dikotomi antara pendidikan agama dan umum. Setiap ilmu pengetahuan diajarkan dalam bingkai pandangan hidup Islam, sehingga siswa memahami bahwa merokok bukan hanya melanggar aturan sekolah, tetapi juga larangan agama karena membahayakan diri sendiri.
Kasus di Lebak ini adalah alarm bagi kita semua. Sistem pendidikan sekuler telah gagal menghasilkan generasi yang berakhlak mulia dan menciptakan dikotomi antara sekolah dan orang tua. Solusinya bukan dengan kriminalisasi pendidik yang berupaya menegakkan disiplin, bukan pula dengan membiarkan siswa melanggar aturan tanpa sanksi tegas. Solusi hakiki adalah kembali kepada sistem Islam yang terbukti melahirkan generasi cemerlang selama berabad-abad, sistem yang menempatkan pendidikan sebagai proses pembentukan kepribadian Islam secara holistik, dengan negara yang hadir sebagai penanggung jawab utama dan melindungi para pendidik dalam menjalankan amanahnya.
Wallahu a‘lam.
*) Pegiat Literasi
Post a Comment