Merajut Asa Mendamba Rumah Rasa Surga di Sistem Rimba
Oleh: Teti Ummu Alif*)
IndonesiaNeo, OPINI - Kehidupan suami-istri dalam rumah tangga sejatinya adalah kehidupan yang sarat ketenangan, ketenteraman, kasih sayang, dan persahabatan. Interaksi antara keduanya berdiri di atas prinsip saling tolong-menolong, saling menopang, serta bersahabat dan harmonis, jauh dari kekakuan maupun formalitas berlebihan. Hubungan suami-istri semestinya penuh kehangatan dan kesejukan. Sebagaimana dijelaskan dalam Masyru’ud Dustur Pasal 120:
“Kehidupan suami istri adalah kehidupan yang sarat dengan ketenangan. Pergaulan suami istri adalah pergaulan penuh persahabatan. Kepemimpinan suami terhadap istri adalah kepemimpinan pengaturan (bertanggung jawab), bukan kepemimpinan layaknya seorang penguasa. Seorang istri diwajibkan taat kepada suami, dan seorang suami diwajibkan memberi nafkah yang layak sesuai standar yang makruf.”
Namun, pada kenyataannya, harapan indah tersebut kini tidak mudah diwujudkan. Banyak rumah tangga justru berantakan dan dipenuhi kebencian. Seorang istri merasa terlalu diatur oleh suami, sementara suami merasa tidak dihargai oleh istrinya. Kondisi seperti ini membuat kehidupan rumah tangga jauh dari ketenteraman. Salah satu contoh tragis terjadi di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara, di mana seorang suami berinisial S tega menghabisi nyawa istrinya, J, hanya karena pertengkaran soal makanan. Peristiwa bermula ketika sang suami pulang dan tidak mendapati makanan tersaji karena istrinya tengah sibuk mengurus anak balita. Seketika emosi pelaku memuncak (detiksulsel, 7/10/2025).
Lalu, apa sebenarnya yang terjadi dengan keluarga muslim saat ini? Keluarga seharusnya menjadi tempat melepas penat dan menumbuhkan bahagia, tetapi kini justru sering menjadi tempat yang gersang dan menakutkan. Tidak jarang, seseorang justru meregang nyawa di tangan orang yang dicintainya sendiri. Sungguh, keadaan ini sangat memprihatinkan.
Jika ditelusuri lebih dalam, kehidupan sekuler telah benar-benar merusak bangunan keluarga. Sekularisme menjauhkan manusia dari agamanya, sehingga mereka kehilangan makna kehidupan: untuk apa diciptakan dan apa tujuan hidup di dunia. Jauhnya manusia dari agama membuat amarah mudah tersulut, karena hati kosong dari iman. Manusia yang tidak beriman dan bertakwa akan dikuasai oleh syahwatnya, merasa bebas melakukan apa pun tanpa memperhatikan akibatnya. Ketika agama tidak lagi menjadi pedoman hidup, hubungan antarmanusia pun rusak.
Kita harus menyadari bahwa tidak ada manusia yang sempurna, termasuk diri kita dan pasangan. Hanya Allah Yang Maha Sempurna. Setiap pasangan suami-istri perlu memahami bahwa masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Maka, wajar jika dalam pernikahan, terutama pada masa awal, muncul berbagai ujian yang harus dihadapi dengan lapang hati, pikiran jernih, dan prasangka baik. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kehidupan rumah tangga harus dijalani dengan hati seluas samudra dan keikhlasan yang luar biasa. Di sinilah Islam hadir untuk memberi tuntunan.
Berikut beberapa langkah untuk menenangkan hati dalam berkeluarga:
Pertama, menjadikan syariat Islam sebagai pijakan
Pasutri wajib menjadikan Islam dan syariatnya sebagai panduan utama dalam menghadapi masalah rumah tangga. Hukum syarak datang dari Allah Swt., bersifat tetap, sesuai fitrah manusia, dan menenteramkan akal. Dengan menjadikan syariat Islam sebagai rujukan, keluarga memiliki patokan jelas dalam menilai segala sesuatu. Ketika muncul perselisihan atau perbedaan pendapat, rujuklah kepada syariat. Dengan demikian, ketenangan dan keikhlasan akan menyelimuti hati suami-istri.
Kedua, mencintai pasangan karena Allah
Cinta yang berlandaskan karena Allah akan membuat pasangan saling menjaga, tidak menyakiti dengan ucapan maupun tindakan. Mereka akan menjaga kehormatan dan rahasia rumah tangga. Cinta karena Allah menjadikan seseorang takut melanggar ketentuan-Nya dan senantiasa menjaga pasangannya agar tetap dalam koridor Islam. Bila pasangan berbuat salah, ia menasihati dengan lembut; bila mengajak kebaikan, ia mendukung sepenuh hati.
Ketiga, menerima kondisi pasangan sebagai ketetapan Allah
Setelah akad nikah, kita harus meyakini bahwa pasangan adalah pilihan Allah, lengkap dengan kelebihan dan kekurangannya. Fokuslah pada kelebihannya agar ia merasa nyaman. Bila ada sikap yang kurang berkenan, hadapilah dengan lapang dada dan saling menasihati. Rasulullah saw. bersabda:
“Janganlah seorang mukmin membenci mukminah. Jika ia membenci salah satu perangainya, niscaya ia akan rida dengan perangainya yang lain.” (HR. Muslim).
Hadis ini mengajarkan kita agar dewasa dan tidak menilai pasangan hanya dari satu kekurangan. Serahkan segala urusan kepada Allah dan jangan tergesa mengambil keputusan karena emosi.
Keempat, saling menasihati dan mengingatkan
Tidak ada manusia yang luput dari kesalahan. Karena itu, pasangan yang saling mencintai akan saling menasihati dengan lemah lembut. Tujuan pernikahan adalah menjaga ketaatan kepada Allah dan menjauhkan diri dari kemaksiatan. Menasihati dengan cara yang makruf akan menjaga kehormatan pasangan dan mencegah masalah meluas.
Kelima, menjalin komunikasi yang baik
Komunikasi adalah kunci utama keharmonisan. Melalui komunikasi yang baik, pasangan dapat saling memahami, menghindari kesalahpahaman, dan membangun kepercayaan. Tanpa komunikasi, keluarga akan mudah diselimuti kecurigaan dan ketegangan. Seperti nasihat Abu Darda ra. kepada istrinya:
“Jika aku marah, maka buatlah aku rida padamu, dan jika engkau marah, aku pun akan membuatmu rida padaku. Jika tidak demikian, bagaimana mungkin kita bisa bersahabat?”
Keenam, mendoakan pasangan dengan doa terbaik
Doakan pasangan dalam setiap kesempatan, terutama di waktu-waktu mustajab. Hanya kepada Allah tempat memohon pertolongan. Dialah yang menggenggam hati manusia dan berkuasa memperbaikinya. Doa yang tulus disertai usaha akan menjadi pelindung bagi keluarga agar tetap dalam ridha Allah.
Selain itu, keluarga sebagai institusi terkecil dalam masyarakat memerlukan perlindungan negara. Banyaknya kasus kekerasan dalam rumah tangga tak lepas dari sistem sekuler yang mencabut fitrah keluarga dan mengikis kasih sayang. Hanya Islam yang mampu menjaga keutuhan keluarga dan melindunginya dari paham materialistik, hedonistik, serta kesetaraan gender yang keliru. Negara yang menerapkan Islam akan membimbing warganya untuk hidup sederhana dan berorientasi pada amal saleh, bukan harta semata.
Wallahu a’lam.
*) Pegiat Literasi
Post a Comment