Kesejahteraan Guru Terabaikan, Islam Punya Mekanisme Adil
Oleh: Ummu Syathir*)
IndonesiaNeo, OPINI - Suatu negara yang ingin maju tentunya akan lebih memperhatikan masalah pendidikan. Pendidikan yang berkualitas selain ditentukan oleh political will pemerintah, juga ditopang oleh peran guru yang berpotensi meningkatkan kualitas pendidikan. Guru adalah pilar utama dalam membangun sumber daya manusia unggul. Namun disayangkan, beratnya beban kerja guru tidak sebanding dengan penghasilan yang diperoleh, terlebih dengan kondisi ekonomi yang sulit saat ini.
Masih banyak guru dengan status honorer, terutama yang hidup di pelosok, menerima gaji sangat jauh di bawah UMR karena besaran gaji disesuaikan dengan kemampuan fiskal sekolah atau daerah. Belum ada regulasi nasional yang menstandarkan gaji minimum untuk guru non-ASN. Di sejumlah daerah, gaji guru honorer di sekolah negeri maupun swasta berkisar Rp300.000 hingga Rp1.000.000, bahkan ada yang lebih kecil dari itu. Sementara beban kerjanya hampir sama dengan guru ASN. Bahkan guru ASN pun masih banyak yang belum sejahtera dengan beban ekonomi yang menghimpit saat ini, terutama guru PPPK yang tidak memiliki jenjang karier dan jaminan hari tua.
Di sisi lain, mereka dituntut untuk mencetak generasi unggul secara intelektual dan moral, namun para guru juga harus memikirkan bagaimana mereka dan keluarganya bisa bertahan di tengah himpitan ekonomi. Tidak mengherankan jika profesi guru merupakan yang paling banyak terjerat pinjol, yakni 42% dari total profesi yang terjerat pinjaman daring. Selain itu, perbedaan status guru ASN dan non-ASN telah menimbulkan diskriminasi, padahal keduanya memiliki tugas yang sama, yakni mendidik generasi penerus bangsa.
Penerapan Sistem Kapitalis Menjadikan Kesejahteraan Guru Terabaikan
Sistem pendidikan nasional masih sangat bergantung pada guru honorer. Banyak sekolah, khususnya di daerah, hanya mampu membayar guru sesuai kemampuan dana sekolah. Akibatnya, honor per guru menjadi sangat kecil. Meski anggaran pendidikan nasional besar, yakni 20% dari APBN, distribusi penggunaannya tidak seluruhnya diarahkan pada peningkatan kesejahteraan guru. Dana lebih banyak dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur pendidikan dan dana operasional sekolah.
Di sisi lain, terdapat alokasi tambahan seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menimbulkan banyak polemik dalam pelaksanaannya. Pemasukan terbesar APBN negara bersumber dari pajak, yaitu sekitar 80% dari total pemasukan. Namun, tidak mungkin membangun kesejahteraan masyarakat dari pajak, karena sumber pajak terbesar berasal dari rakyat itu sendiri. Ketika pajak dinaikkan, rakyat justru makin terhimpit secara ekonomi yang akhirnya menjadikan mereka tidak sejahtera.
Jadi, meski anggaran pendidikan nasional besar, sistem kapitalisme tidak akan mampu membawa pendidikan menjadi maju—baik dari sisi infrastruktur, kualitas, maupun kesejahteraan para pengajarnya. Rakyat, khususnya guru, akan tetap berada dalam kesulitan selama konsep kapitalisme menjadi landasan negeri ini. Paradigma pembangunan dalam sistem tersebut cenderung mengedepankan kebebasan dalam seluruh aspek. Kepemilikan sumber daya alam menjadi sangat liberal dan dapat diserahkan kepada individu atau swasta, padahal seharusnya dikelola oleh negara untuk kesejahteraan rakyat.
Ajaran kapitalisme laissez faire laissez passer (“biarkan perekonomian berjalan sendiri tanpa campur tangan negara”) tidak hanya berlaku di era klasik abad ke-17 M, namun berulang di era modern sekarang. Negara hanya berperan sebagai regulator yang mempermudah individu menguasai sumber daya alam melalui regulasi, seperti UU Minerba, UU Kehutanan, UU Penanaman Modal, dan UU Cipta Kerja. Tidak mengherankan jika kekayaan alam yang melimpah hanya dinikmati oleh segelintir orang, yakni para kapitalis, sementara sebagian besar masyarakat hidup dalam kemiskinan—termasuk para guru.
Islam Memuliakan Guru
Pendidikan merupakan hak dasar bagi setiap anak, karena menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim. Orang berpendidikan akan ditinggikan derajatnya di sisi Allah Swt. dan memberi banyak manfaat bagi pembangunan peradaban. Oleh karena itu, Islam sangat memperhatikan masalah pendidikan ini.
Pentingnya pendidikan bagi rakyat telah dicontohkan oleh Nabi Saw. yang menjadikan tebusan bagi tawanan Perang Badar adalah mengajarkan anak-anak penduduk Madinah menulis. Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. yang berkata:
“Ada beberapa tawanan pada hari Perang Badar yang tidak memiliki tebusan. Rasulullah saw. menjadikan tebusan mereka dengan mengajarkan anak-anak kaum Anshar menulis.”
Dalam Islam, negara wajib memastikan terpenuhinya hak dasar masyarakat mulai dari keamanan, sandang, kesehatan, hingga pendidikan, sebagaimana hadis:
“Imam (khalifah/kepala negara) adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)
Khalifah setelah Rasulullah Saw. juga menunjukkan kepedulian terhadap pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, khususnya pendidikan, serta memuliakan para guru. Seperti yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari al-Wadhin bin ‘Atha’ yang berkata:
“Ada tiga orang guru di Madinah yang mengajar anak-anak, dan Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. memberikan nafkah kepada masing-masing dari mereka sebanyak 15 dinar setiap bulan.”
Perkembangan ilmu pengetahuan juga sangat pesat pada masa kekhilafahan Abbasiyah. Kesejahteraan para guru dijamin dengan baik. Ibnu Khalikan meriwayatkan bahwa ketika Khalifah Harun ar-Rasyid tiba di Kufah, ia memerintahkan untuk memberikan 2000 dirham kepada setiap qari yang masyhur. Pada masa Khilafah Abbasiyah, sekolah-sekolah wakaf berkembang pesat—ada yang khusus mengajarkan Al-Qur’an, tafsir, hadis, dan fiqih, serta ada pula yang mengajarkan ilmu kedokteran. Sistem tunjangan keuangan dan pelayanan untuk guru dan murid diberikan secara adil. Diketahui bahwa Nizham al-Mulk menginfakkan 600.000 dinar untuk pendidikan.
Oleh karena itu, negara wajib menyediakan pendidikan gratis bagi seluruh warga negara serta memberikan tunjangan layak kepada para guru. Dengan demikian, akan lahir kaum terdidik dengan karya intelektual tinggi yang mencakup tsaqafah Islam dan berbagai ilmu pengetahuan bermanfaat seperti kedokteran, astronomi, kimia, teknik, dan lainnya.
Pembiayaan pendidikan diperoleh melalui pengelolaan sumber daya alam. Dalam Islam, sumber daya alam melimpah seperti barang tambang, hasil laut, dan hutan merupakan kepemilikan umum yang wajib dikelola negara. Hasilnya dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat melalui pemenuhan kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum lainnya. Rasulullah Saw. bersabda:
“Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput, dan api.” (HR Ibnu Majah)
Selama masa keemasan Islam, pendidikan terselenggara dengan berkualitas dan gratis. Pembiayaannya bukan dari pajak, bahkan sumber daya alam belum seberlimpah sekarang. Semua itu karena aspek ruhiyah yang tertanam kuat di benak para pemimpin dan kaum muslim.
Oleh sebab itu, kemajuan pendidikan dan kesejahteraan guru hanya dapat terwujud ketika ideologi Islam diterapkan secara menyeluruh dalam institusi negara.[]
*) Pemerhati Pendidikan
Mengingat efisiensi, sebaiknya sertifikasi dihilangkan saja dan dananya dipakai untuk meningkatkan kesejahteraan guru yg lain, khususnya honorer yg nanti akan disebut PPPK PW.
BalasHapus