Header Ads


New Normal Life: Antara Tren Global dan Kesiapan Internal



Oleh: Murni Sari S.A.B MM 
(Praktisi Pendidikan Kota Baubau) 


Sejak covid-19 menjadi pandemi, kita mengenal banyak istilah termaksud dengan keadaan sekarang muncul istilah New Normal. Sebagian besar kita gagal paham tentang New Normal ini. Menurut Prof Hermanto J Siregar kondisi yang bisa dilakukan New Normal adalah ketika kurva telah melandai dan tidak ditemukan penambahan kasus baru. 

Pertenyaan menarik, mengapa pemerintah telihat begitu memaksa untuk menerapkan New Normal, padahal hingga saat ini kurva baru menanjak, belum melandai sama sekali?
Di lansir dari kompas.com. Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Dr Hermawan Saputra mengkritik persiapan pemerintah menjalankan kehidupan New Normal. Menurut dia belum saatnya, karena temuan kasus baru terus meningkat dari hari ke hari. "Saya kira baru tepat membicarakan new normal ini sekitar minggu ketiga/empat Juni nanti maupun awal Juli. Sekarang ini terlalu gegabah kalau kita bahas dan memutuskan segera new normal itu," ujar Hermawan saat dihubungi merdeka.com, Senin (25/5).

Terlalu dini wacana new normal ini membuat persepsi masyarakat seolah-olah telah melewati puncak pandemi Covid-19, namun kenyataan belum dan perlu persiapan-persiapan dalam new normal tersebut.

New Normal adalah sesuatu yang akan dihadapi, namun berbincang New Normal ini banyak pra syaratnya. Pertama, syaratnya harus sudah terjadi perlambatan kasus. Dua, sudah dilakukan optimalisasi PSBB. Ketiga, masyarakatnya sudah lebih memawas diri dan meningkatkan daya tahan tubuh masing-masing. Keempat, pemerintah sudah betul-betul memperhatikan infrastruktur pendukung untuk new normal.

Hal yang merupakan prasyarat untuk New Normal diatas belum berlangsung dan bahkan sangat minim terjadi. 

Puncak Covid-19 Belum Lewat (sedang Berlangsung)

"Puncak pandemi belum dilewati bahkan kasus cenderung naik. Akibatnya, prediksi-prediksi yang mengatakan puncak pandemi pada awal Juni akan mundur hingga akhir Juni maupun awal Juli. Seharusnya  kita harus bersabar dan memiliki daya tahan. Namun itu tergantung dari pemerintah, harus konsisten juga dalam mengambil kebijakan, disiplin untuk memberikan statement dan juga adanya penguatan-penguatan pelayanan di lapangan," tutur Hermawan. 

Sementara itu, dampak dari perbincangan new normal belakangan ini buat masyarakat alami pandangan, kebebasan tanpa melihat potensi penyebaran virus corona (permisivisme). "Jalanan kembali ramai, keramaian ini tidak hanya di area publik, seperti pasar. Tetapi, keramaian itu juga terjadi di tempat-tempat keagamaan dan aktivitas kantor industri. Hal ini harus diwaspadai, seolah new normal, tapi kita ini kembali pada keramaian seperti tidak ada kasus Covid saja." New Normal berarti ada perilaku baru, budaya baru, dan juga ada fasilitas maupun kebijakan yang baru baik dari sisi masyarakat maupun pemerintah berdasarkan kedisiplinan. 

Kebijakan Yang Membebek Tren Internasional

Sepanjang wabah ini terjadi, semua negara nyaris tak mampu berbuat banyak. Salah satunya  Indonesia. dari  kalimat berdamai dengan corona sampai pada hidup new normal.

Para pejabatnya terus mengajak rakyat agar terus bersiap menerima fakta, bahwa kehidupan tak mungkin kembali seperti semula. Mereka meminta rakyat menjalani hidup “normal” di tengah ancaman wabah corona. Pemerintah meminta rakyat berdiam, tapi bantuan kebutuhan dasar minim datang. PSBB diberlakukan, tapi bandara dibebaskan. Rumah ibadah minta dikosongkan, tapi mal-mal dibiarkan ramai. Kebijakan mudik pun tak serius ditegakkan hingga lalu lintas orang tak bisa dikendalikan.

Bisa dibayangkan, saat wabah tetap dianggap bencana, maka rakyat harus ada di bawah tanggung jawab mereka. Sementara semua sumber daya sudah nyaris tak ada. Sampai-sampai menteri keuangan “terbaik sedunia” pun begitu kebingungan mengatur anggaran negara. Berkali-kali mengambil jalan pintas membebani rakyat dengan kebijakan-kebijakan yang tak pantas.

Maka tak heran, jika bagi para penguasa, “berdamai dengan corona” menjadi pilihan “terbaik” di tengah rasa putus asa atas ketidakmampuan memberi jalan keluar. Dalihnya, wabah corona adalah wabah tak biasa. Dia merebak sejalan dengan pergerakan manusia. Maka apa boleh buat, kita harus berdamai, bahkan bersahabat dengan corona.
Kondisi ini nyatanya bukan hanya di Indonesia saja. Tengoklah negara sebesar Amerika. Di tengah melesatnya korban positif dan kematian akibat corona, Trump presidennya, terus mengambil langkah kontroversial.

Alih-alih meminta rakyatnya tetap di rumah, Trump malah meminta rumah-rumah ibadah dibuka sebagaimana sektor esensial lainnya. Toko obat, restoran, supermarket, rumah sakit, dan klinik kesehatan termasuk klinik aborsi, serta toko alkohol memang sebelumnya sudah lebih dulu bebas dibuka. Trump menandaskan, “Dengan atau tanpa vaksin, kita kembali beraktivitas."

Rupa-rupanya, memutar roda perekonomian AS alias menormalisasi sistem ekonomi kapitalisme yang mandek dipandang jauh lebih penting dibanding menyelamatkan nyawa rakyatnya. Apalagi November mendatang Pemilu presiden akan digelar. Ada kepentingan bagi Trump mengakomodir suara-suara demonstran di daerah pemilihan yang menuntut pelonggaran.

Namun sudah bukan rahasia, bahwa gurita kapitalisme global memang berkepentingan membuat kesehatan masyarakat tak benar-benar terjaga. Bahkan ada yang curiga, di balik keputusan Lembaga Kesehatan Dunia WHO soal darurat kesehatan global akibat corona, ada kepentingan “Big Farma” dan “Big Money” yang menyetirnya.

Maka ketika wabah terbukti meluluhlantakkan perekonomian global di berbagai sektor lainnya, adalah niscaya bagi kekuatan “big money” mengambil keputusan yang lebih brutal: Mempropagandakan narasi new normal life dan membiarkan rakyat dunia “bekerja” menyambung nyawa. Karena apa pun dampaknya, toh artinya keuntungan buat mereka.

Mirisnya, sebagai negara pengekor, Indonesia dengan mudah ikut termakan propaganda. Narasi berdamai dengan corona seolah-olah menjadi satu-satunya pilihan. Padahal sejatinya, narasi ini adalah sebuah jebakan. Agar rakyat tertutup mata, bahwa ada begitu banyak persoalan, yang berujung pada kerusakan sistem yang dijalankan, disertai hadirnya rezim ruwaibidhah yang tak berperasaan.

Tuntunan Islam terhadap Kebijakan

Berbeda jauh dengan kekuasaan yang tegak di atas landasan iman. Kekuasaan Islam telah terbukti membawa kebaikan dan keberkahan bagi seluruh alam. Karena sistem hidup yang diterapkannya berasal dari Sang Maha Pencipta Kehidupan.

Kekuasaan Islam yang disebut sebagai Khilafah, senantiasa menempatkan urusan umat sebagai urusan utama. Harta, kehormatan, akal, dan nyawa rakyatnya dipandang begitu berharga. Pencederaan terhadap salah satu di antaranya, dipandang sebagai pencederaan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Karena semuanya adalah jaminan dari penegakan hukum syara’.

Fakta akan hal ini akan tampak saat negara dalam keadaan ditimpa kesulitan. Baik karena bencana maupun karena serangan musuh-musuhnya. Di situasi seperti ini, kekuasaan selalu tampil sebagai perisai utama. Di mana penguasa siap membela rakyat dan mendahulukan kepentingan-kepentingan mereka dibanding kepentingan dirinya.

Tak heran jika benih-benih peradaban cemerlang bermunculan demi memberi jalan keluar terhadap berbagai persoalan. Berbagai penelitian, teknologi, sistem administrasi, pembangunan superstruktur dan infrastruktur, semua didedikasikan khilafah Islam untuk kepentingan mengurus dan menjaga umat serta demi kemuliaan agama mereka. Bukan demi memuaskan kerakusan para pemilik modal sebagaimana dalam sistem sekarang.

Maka alangkah naif, jika umat Islam hari ini masih belum sadar juga dari tidur panjangnya. Berlama-lama mengharap sistem kapitalisme ini akan memberi kebaikan pada mereka. Padahal berbagai bukti bertebaran di depan mata, bahwa sistem ini jelas-jelas hanya menempatkan maslahat umat sebagai ladang untuk mencari keuntungan semata.

Bahkan sekularisme yang menjadi asasnya telah menjadikan negara dan rezim penguasanya kehilangan rasa welas. Hingga tega menempatkan rakyat hanya sebagai objek pemerasan dan seolah nyawa pun siap “diperdagangkan”.

Sudah saatnya umat kembali ke pangkuan sistem Islam. Yang negara dan penguasanya siap menjalankan amanah sebagai pengurus dan perisai umat dengan akidah dan syariat. Hingga kehidupan akan kembali dilingkupi keberkahan dan kemuliaan. Sebagaimana Allah SWT telah memberi mereka prredikat bergengsi, sebagai sebaik-baik umat.

Waallahualam bissawab.(*)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.