Iran 'Naik Daun' di Tengah Pemimpin Boneka Sunni yang Anti Kebangkitan Islam
Oleh: Abu Al-MArQAsh*)
Pendahuluan
IndonesiaNeo, OPINI - Kebangkitan ideologis Islam Sunni di era modern muncul sebagai respons atas krisis identitas, dominasi asing, dan infiltrasi ideologi eksternal ke dunia Islam. Kebangkitan ini tidak hanya fokus pada penjagaan kemurnian akidah dan syariah dalam ranah ritual dan keilmuan, tetapi juga terkait erat dengan usaha mengembalikan dominasi politik Sunni dalam percaturan dunia Muslim. Dalam konteks konflik Palestina, banyak kalangan Sunni menilai bahwa dukungan Iran terhadap Palestina bukanlah bentuk solidaritas Islam yang tulus, melainkan bagian dari agenda ekspansi Syiah dengan mengusung narasi perlawanan terhadap Israel dan Barat.
Terlepas dari diskursus tersebut, Iran telah menunjukkan perjuangannya yang jelas terhadap tekanan dan dominasi Israel yang membonceng Amerika Serikat di belakangnya. Iran secara konsisten mendukung kelompok-kelompok perlawanan Palestina, menyediakan bantuan material dan moral dalam menghadapi penjajahan Israel, serta memperkuat narasi perlawanan terhadap zionisme dan imperialisme Barat di kawasan. Meskipun dukungan ini sering dibaca sebagai bagian dari agenda ekspansi pengaruh Syiah, tidak dapat diabaikan bahwa Iran menjadi salah satu kekuatan yang secara terbuka menantang hegemoni Israel dan sekutunya, di saat banyak rezim negara-negara Sunni justru memilih jalan kompromi atau bersikap pasif dalam menghadapi agresi dan pendudukan atas tanah Palestina.
Ekspansi Iran dan Strategi di Balik Solidaritas Palestina
Gerakan kebangkitan ini dibangun di atas kesadaran bahwa Islam Sunni tidak sekadar mazhab fikih, tetapi juga fondasi utama bagi kekuatan politik umat. Ulama-ulama konservatif Sunni, khususnya yang berafiliasi dengan gerakan Salafi dan Wahabi, memandang upaya Iran mendukung kelompok seperti Hamas dan Jihad Islam sebagai langkah politik untuk memperluas pengaruh Syiah. Bantuan Iran dinilai sebagai instrumen politik jangka panjang, bukan sekadar bantuan kemanusiaan atau solidaritas aqidah.
Ketidakkonsistenan Iran dalam Politik Regional
Ketidakkonsistenan Iran dalam geopolitik kawasan menegaskan pandangan ini. Dukungan Iran terhadap rezim Bashar al-Assad di Suriah—rezim yang dikenal menindas mayoritas Sunni—dinilai sebagai bukti nyata bahwa solidaritas Iran bersifat sektarian dan penuh kepentingan. Solidaritas ini dianggap hanya alat untuk memperluas jaringan proksi Syiah di wilayah-wilayah strategis, dengan mengorbankan prinsip-prinsip persaudaraan Islam universal.
Dua Arus Kebangkitan Islam Sunni dan Para Aktornya
Kebangkitan Islam Sunni saat ini terbagi ke dalam dua arus utama. Arus pertama adalah arus eksklusifis, yang menekankan kemurnian akidah dan identitas Sunni. Arus ini menolak semua bentuk kompromi dengan kekuatan Syiah dan berfokus pada membendung infiltrasi ideologi Syiah. Aktor utama arus ini adalah ulama-ulama Wahabi di Arab Saudi, gerakan Salafi transnasional, dan sebagian besar jaringan ulama tradisionalis yang sangat menjaga garis akidah. Arus kedua adalah arus inklusifis, yang berupaya membangun jembatan kerja sama lintas mazhab untuk menghadapi musuh bersama seperti imperialisme Barat dan zionisme. Tokoh utama arus ini meliputi Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Ikhwanul Muslimin, dan sejumlah ormas Islam progresif yang mengusung pan-Islamisme.
Peta Jaringan Kekuatan Sunni-Syiah di Kawasan
Peta kekuatan Sunni-Syiah di kawasan mencerminkan kontestasi ideologi dan politik. Arab Saudi dengan Wahabinya menjadi benteng Sunni sekaligus penghadang utama pengaruh Syiah. Turki memainkan peran neo-Ottomanisme sambil mendukung jaringan Islamis seperti Ikhwanul Muslimin. Qatar mendukung gerakan-gerakan Sunni perlawanan termasuk Hamas. Sementara di Yaman, Partai Islah yang berafiliasi Ikhwan berhadapan dengan Houthi yang Syiah dan pro-Iran. Suriah memperlihatkan pertarungan sengit antara kelompok Sunni dan rezim Assad yang disokong Iran dan Hizbullah. Irak dikendalikan pemerintahan Syiah, dan di Lebanon, Hizbullah menjadi kekuatan dominan melawan blok Sunni seperti Future Movement.
Tantangan Kebangkitan Sunni: Pemimpin Boneka dan Represi
Tantangan terbesar kebangkitan Islam Sunni datang dari para pemimpin negara-negara Sunni yang berfungsi sebagai boneka kekuatan asing. Para pemimpin ini bukan pengusung kebangkitan, melainkan penghambatnya. Mereka memprioritaskan keamanan kekuasaan dan hubungan dengan Barat dibanding perjuangan ideologis umat. Gerakan-gerakan Islam ideologis ditekan, didiskreditkan, dan dianggap sebagai ancaman negara.
Hizbut Tahrir: Wajah Kebangkitan Ideologis Sunni
Justru di luar pemerintahanlah kekuatan ideologis Islam Sunni sejati bersemi. Gerakan-gerakan ini muncul dari masjid-masjid, pesantren, lembaga dakwah, dan jaringan aktivis yang teguh mengusung visi Islam politik, keadilan sosial, dan persatuan umat. Salah satu yang paling menonjol adalah Hizbut Tahrir. Gerakan ini menyerukan kembalinya khilafah Islam sebagai jalan untuk menyatukan umat, membebaskan Palestina, dan menumbangkan dominasi asing serta sekat nasionalisme buatan penjajah. Hizbut Tahrir menolak menjadikan isu Palestina sebagai alat permainan geopolitik dan menyerukan perjuangan bersih dari agenda sektarian.
Hizbut Tahrir memandang bahwa dukungan Iran terhadap Palestina harus dilihat secara kritis. Perjuangan membebaskan Palestina tidak boleh menjadi instrumen permainan geopolitik atau alat ekspansi mazhab tertentu. Hizbut Tahrir menyerukan agar umat Islam berjuang di atas landasan persatuan aqidah dan syariat, bukan atas dasar kompromi pragmatis.
Teladan Rasulullah ï·º dalam Menghadapi Politik Kompleks
Dalam sejarah perjuangan Rasulullah ï·º, terdapat teladan dalam menghadapi kondisi politik yang rumit. Salah satunya adalah Piagam Madinah, di mana Nabi ï·º menjalin kerja sama dengan kelompok Yahudi demi menciptakan stabilitas dan menghadapi ancaman luar dari Quraisy. Meski mengetahui perbedaan aqidah dan potensi pengkhianatan, kerja sama ini dilakukan demi maslahat umat saat itu, yakni menjaga keamanan dan pertahanan bersama. Contoh lainnya adalah Perjanjian Hudaibiyah, di mana Nabi ï·º menerima syarat-syarat yang secara lahiriah tampak merugikan demi maslahat jangka panjang: memperkuat barisan, memperluas dakwah, dan membuka jalan kemenangan tanpa mengorbankan prinsip aqidah. Nabi ï·º juga pernah menjalin aliansi sementara dengan kabilah-kabilah non-Muslim untuk menghadapi musuh bersama, dengan sikap hati-hati, waspada, dan penuh strategi.
Sikap Syar'i dan Objektif dalam Menyikapi Konflik Iran–Israel
Dari teladan Rasulullah ï·º, kita dapat mengambil pelajaran bagaimana menyikapi konflik Iran–Israel. Mendukung pihak seperti Iran dalam perlawanan terhadap Israel, sambil tetap mewaspadai ambisi dan potensi bahayanya terhadap Sunni, adalah sikap yang syar’i dan objektif dalam kerangka siyasah syar’iyyah. Ini sejalan dengan kaidah maslahat, mendahulukan kepentingan umat, menolak mudarat yang lebih besar, dan tetap menjaga prinsip aqidah. Dukungan taktis dapat diberikan sejauh tidak mengorbankan prinsip dan disertai langkah strategis yang matang untuk melindungi umat dari bahaya infiltrasi ideologi dan pengkhianatan di masa depan. Sikap ini bukan sekadar taktik politik pragmatis, tetapi bagian dari strategi syar’i berlandaskan ijtihad dan nilai-nilai syariat.
Penutup
Sayangnya, ruang bagi kebangkitan ideologis Islam Sunni terus ditekan. Rezim-rezim boneka terus meminggirkan gerakan ini dengan dalih keamanan atau ekstremisme. Padahal, kebangkitan sejati lahir dari akar kesadaran umat, seperti yang diperjuangkan oleh Hizbut Tahrir dan gerakan ideologis lain. Bara kebangkitan ini tetap menyala, menanti waktu untuk menjadi cahaya kemenangan yang sejati bagi umat Islam.[]
*) Pemerhati Politik
Post a Comment