HTI: Dicabut BHP-nya, tapi Tak Pernah Mencabut Cintanya pada Negeri Ini
Oleh: Syahril Abu Khalid*)
IndonesiaNeo, OPINI - Status Badan Hukum Perkumpulan (BHP) mereka dicabut. Lalu dinarasikan secara sistemik bahwa organisasinya dibubarkan. Mereka pun dicap sebagai ancaman. Disebut tak sejalan dengan ideologi negara. Namun, siapa yang benar-benar memahami isi hati mereka? Siapa yang dengan jujur telah duduk berdiskusi, bukan untuk menghakimi, tetapi untuk memahami?
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), sebuah gerakan dakwah yang sejak awal berdiri bukan untuk mengangkat senjata, bukan untuk mengguncang negeri, tetapi untuk mengajak umat berpikir. Tentang kemuliaan Islam, tentang sistem yang adil menurut syariat, tentang masa depan umat yang tercerai-berai dan kehilangan arah. Mereka mengkaji, berdakwah, dan menasihati dengan kesabaran serta konsistensi yang jarang ditemukan.
Mereka tidak mencuri. Tidak merampok uang rakyat. Tidak menjual aset negara. Tidak membela penjajah. Mereka tidak menebar kebencian, kecuali terhadap kezaliman. Tidak memecah belah umat, kecuali membongkar kepalsuan yang menyesatkan. Yang mereka suarakan adalah khilafah—bukan sebagai mimpi tanpa dasar, tetapi sebagai solusi yang mereka yakini berasal dari ajaran Islam yang paripurna. Apakah mencintai sistem yang diajarkan Rasul-Nya adalah sebuah dosa?
Cinta mereka kepada Indonesia bukan cinta yang menjilat kekuasaan, bukan cinta yang bersedia menukar prinsip dengan jabatan, bukan cinta yang hanya mengibarkan bendera merah putih tetapi menistakan nilai-nilai agama. Cinta mereka adalah cinta yang menasihati. Cinta yang mengkritisi demi kebaikan. Cinta yang teguh berdiri di tengah fitnah dan caci maki, namun tak pernah membalas dengan kedengkian.
HTI tidak pernah meledakkan bom di negeri ini. Tidak pernah membakar rumah ibadah. Tidak pernah mengangkat senjata melawan pemerintah. Mereka berdakwah lewat pikiran, lewat pena, lewat majelis ilmu. Tetapi suara mereka dibungkam. Seolah mencintai Islam secara total adalah kejahatan. Seolah merindukan keadilan yang bersumber dari wahyu adalah ancaman.
Ironisnya, mereka yang paling konsisten menyuarakan persatuan umat justru dianggap sebagai pemecah belah bangsa. Padahal, mereka menolak nasionalisme sempit bukan karena membenci negeri ini, tetapi karena mereka percaya bahwa umat Islam harus bersatu tanpa sekat-sekat buatan kolonial. Apakah itu sebuah kesalahan?
Hari ini, ketika negeri ini dililit korupsi, moralitas merosot, hukum berjalan pincang, dan kemiskinan terus merajalela, barulah sebagian dari kita mulai sadar. Mereka yang dulu kita tuduh radikal ternyata tak pernah merugikan negeri ini. Justru mereka telah memperingatkan sejak lama bahwa umat ini butuh arah. Butuh pemimpin yang takut kepada Allah. Butuh sistem yang menjunjung keadilan hakiki.
HTI memang telah dicabut status badan hukumnya. Tetapi mereka tidak pernah mencabut cinta mereka pada negeri ini. Tidak pernah berhenti mendoakan kebangkitan umat. Tidak pernah lelah menasihati bangsa agar kembali kepada jalan Islam yang lurus.
Mereka memang dibungkam. Tetapi sejarah tidak akan diam. Dan doa-doa yang keluar dari dada-dada yang ikhlas akan terus terbang ke langit, menembus dinding kekuasaan yang rapuh.
“Tak akan ada kaum yang mencintai Islam secara jujur, kecuali mereka yang sabar dalam membawa dakwah, walau digigit oleh fitnah dan ditinggalkan oleh zaman.”
Jika engkau ingin tahu siapa yang benar-benar mencintai negeri ini, jangan hanya lihat dari siapa yang memegang jabatan. Lihatlah siapa yang rela kehilangan segalanya demi menegakkan kebenaran.
Dan HTI, dengan segala kekurangannya, telah menunjukkan bahwa mereka tidak pernah membenci negeri ini. Justru, merekalah yang paling mencintainya—dengan cara yang tidak dimengerti oleh dunia yang sudah terlalu terbiasa dengan cinta yang palsu.
Wallahu a‘lam bish-shawab. []
*) Muballigh & Pemerhati Kebijakan Publik
Post a Comment