Header Ads


Indonesia Emas Melalui Jalan Ponpes, Mungkinkah?

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih*)


IndonesiaNeo, OPINI - Wakil Ketua DPR, Cucun Ahmad Syamsurijal, dalam acara International Conference on the Transformation of Pesantren (ICTP) atau Konferensi Internasional Transformasi Pesantren, menyampaikan bahwa pemerintah perlu didorong untuk membentuk Direktorat Jenderal (Ditjen) Pesantren yang nantinya fokus mengurus lembaga pendidikan keagamaan.

Forum internasional yang bertajuk "Pesantren Berkelas Menuju Indonesia Emas: Menyatukan Tradisi, Inovasi, dan Kemandirian" ini menghadirkan sejumlah narasumber ternama, antara lain Ketua Dewan Syura DPP PKB, Ketua Umum DPP PKB Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, Prof. Dr. Nasaruddin Umar (Menteri Agama RI), Prof. Dr. Abdul Mu’ti (Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah RI), dan Prof. Stella Christie (Wamen Pendidikan Tinggi RI).

Cucun mengatakan sudah saatnya memaksimalkan potensi pesantren beserta santrinya yang tersebar di lebih dari 350 pesantren. Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu pun menyebut entitas pesantren memiliki peran penting terhadap pembangunan karakter anak bangsa. Sudah semestinya negara mengoptimalkan anggaran yang diamanatkan konstitusi sebesar 20 persen untuk pendidikan, termasuk untuk pesantren.

Demikian pula dengan pendapat Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar. Menurutnya, pesantren turut andil dalam memutus mata rantai kemiskinan di Tanah Air karena banyak anak-anak dari keluarga miskin mampu mengenyam pendidikan gratis di pesantren agar memiliki nasib yang lebih baik. Jika tidak ada pesantren, anak-anak miskin—termasuk dirinya—tidak akan mengenal ilmu, tidak mengenal pendidikan karena biayanya yang mahal, sementara pesantren memberi akses pendidikan yang murah bahkan mayoritas gratis (Republika.co.id, 20-6-2025).

Muhaimin juga mendorong pemerintah untuk lebih menyadari pentingnya peran pesantren. Apalagi, pesantren kini tidak hanya mengedepankan ilmu agama, tetapi juga mencakup perkembangan ilmu terbaru. Terbukti, pesantren telah melahirkan Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dan Wakil Presiden RI ke-13 Ma’ruf Amin.


Kebijakan Sekular Bukti Negara Gagal Riayah Rakyat

Sungguh, kedangkalan berpikir inilah yang menyebabkan Indonesia jalan di tempat, terutama dalam bidang pendidikan. Padahal pendidikan merupakan salah satu pilar penting dalam membangun peradaban bangsa yang maju, mandiri, dan tangguh.

Jika melihat kemunculan pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan tertua di negeri ini, itu karena keprihatinan para ulama terhadap sistem pendidikan yang menggunakan aturan kolonial Belanda. Di mana ada sekat, hanya anak orang kaya atau yang punya koneksi dengan pejabat pemerintah yang bisa bersekolah.

Padahal, Islam mewajibkan setiap individu untuk menuntut ilmu, tidak hanya agar ia memahami taklif syara’ bagi dirinya sendiri, tetapi juga agar bermanfaat bagi orang-orang di sekitarnya. Parahnya, pendidikan kolonial menghilangkan pendidikan syariat, sehingga lulusan sekolah pemerintah dahulu—hingga kini—malah menjadi sekular alias tidak menunjukkan kepribadian Islam. Bahkan cara pandangnya dalam kehidupan cenderung bebas dan meniadakan agama.

Dari miskinnya pemahaman sejarah inilah kemudian muncul kebijakan yang keliru. Bagaimana mungkin pondok pesantren disebut sebagai pemutus rantai kemiskinan? Mungkin karena dalam perkembangannya kini ada yang disebut Kopontren (Koperasi Pesantren). Para santri diberi tambahan pendidikan kewirausahaan agar setelah lulus bisa mandiri secara ekonomi.

Padahal, sebanyak apa pun pendidikan wirausaha yang diterima, jika masih berada dalam sistem ekonomi kapitalisme, tidak akan bertahan lama. Bahkan kesejahteraan menjadi ilusi. Tidak adanya pendampingan negara secara total menjadi persoalan utama. Faktor-faktor ekonomi yang semestinya dikelola negara secara mandiri seperti kekayaan alam, tambang, energi, hutan, laut, dan lainnya justru dijual kepada asing.

Negara hanya bertindak sebagai pembuat aturan (regulator) yang memudahkan para investor asing mengeksploitasi kekayaan milik rakyat itu. Sementara di sisi lain, negara memungut pajak dan membebani rakyat dengan mahalnya berbagai kebutuhan pokok, mulai dari sembako, listrik, air, kesehatan, pendidikan hingga keamanan. Jika sudah begini, di mana letak terputusnya rantai kemiskinan?

Yang seharusnya menjadi evaluasi negara adalah: mengapa negara sebesar dan sekaya Indonesia hanya mampu bersandar pada pesantren? Tidakkah malu? Tidakkah takut akan ditimpa azab Allah karena menyia-nyiakan karunia-Nya?

Selamat datang pada fakta bahwa kita adalah negara berdasarkan kapitalisme. Asas sistem ini adalah sekularisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan. Meskipun pondok pesantren bernafaskan Islam, namun bukan di situ esensinya. Para pejabat kita tengah terang-terangan mengkapitalisasi pondok pesantren untuk menutupi kegagalan sistemik negara dalam mewujudkan kesejahteraan rakyatnya.


Islam Solusi Hakiki Sejahterakan Umat

Pondok pesantren sampai kapan pun tidak akan pernah bisa menjadi jalan menuju Indonesia Emas 2045 yang dimaksud. Sebab, ia akan tetap menjadi lembaga pendidikan, bukan entitas negara yang memiliki kekuasaan dan kewenangan mengatur urusan rakyat.

Rasulullah Saw. bersabda, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari). Inilah dalil yang menjadi dasar bahwa Islam dijamin pasti mampu mewujudkan kesejahteraan. Seorang pemimpin akan menghadapi dua kenyataan: ia adil dengan cara menerapkan syariat atau ia lalai, maka azab Allah telah menantinya.

Kekuasaan datang pada seorang pemimpin bukan untuk berfoya-foya hingga lalai terhadap tanggung jawab yang sebenarnya. Namun kekuasaan itu diizinkan Allah ada padanya adalah untuk membantu setiap orang keluar dari kesulitan. Maka, sebagai pemimpin, ia pantang membuat rakyatnya susah. Sebaliknya, ia wajib menjadi pelayan rakyat yang siap melayani kapan pun dan dalam urusan apa pun.

Sepasang ahli sejarah, seni, dan arkeologi Islam—Jonathan Bloom dan Sheila Blair—adalah dua dari banyak ilmuwan asing yang membahas tentang sejarah dan kebudayaan Islam, termasuk tentang Khilafah. Bloom dan Blair dikenal karena karyanya Islam: A Thousand Years of Faith and Power (Islam: Sejuta Tahun Keimanan dan Kekuatan), di mana mereka menyoroti pentingnya Khilafah dalam sejarah peradaban Islam dan kemajuan ilmu pengetahuan, seni, dan budaya di bawah kekuasaan Islam.

Satu hal yang sangat membedakan antara sistem Islam dan sistem lainnya adalah skema pembiayaan negara oleh Baitulmal. Di mana pos-pos pendapatannya ditentukan oleh syariat, yaitu dari hasil pengelolaan kepemilikan negara (jizyah, fai’, kharaj, dan lainnya), dari hasil pengelolaan kepemilikan umum (tambang, energi, minyak bumi, dan lainnya), serta dari zakat yang dipungut dari kaum Muslim sebesar 2,5 persen dan hanya dibagikan kepada delapan asnaf sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an. Negara tidak memungut pajak, apalagi utang luar negeri berbasis riba. Harta yang terkumpul sangatlah banyak, halal, dan penuh keberkahan.

Ya, solusi menuju Indonesia Emas adalah persatuan kaum Muslim dalam satu kepemimpinan, yaitu Khilafah. Sistem di luar Islam yang saat ini diterapkan harus dicabut, karena sistem ini jelas hanya mampu memberikan ilusi, bukan solusi.

Wallahu a’lam bish-shawab.[]


*) Institut Literasi dan Peradaban

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.