Header Ads


Iran di Ambang Transisi: Skenario Khamenei dan Keberlanjutan Poros Perlawanan

Oleh: Syahril Abu Khalid*)


IndonesiaNeo, OPINI - Langkah Khamenei menunjuk tiga ulama senior sebagai calon pengganti bukan hanya bentuk antisipasi usia dan kesehatan, tetapi lebih jauh dari itu: ini adalah sinyal kepada dunia bahwa Iran tidak akan dibiarkan kosong dari kepemimpinan spiritual-politik pasca dirinya.

Dalam sistem Velayat-e Faqih (Wilayah al-Faqih), posisi pemimpin tertinggi bukan hanya simbol keagamaan, tetapi panglima tertinggi militer dan arsitek utama arah geopolitik negeri itu. Maka, penunjukan calon pengganti berarti menyiapkan keberlanjutan perlawanan terhadap hegemoni Barat, khususnya Amerika, dan eksistensi Israel di wilayah yang mereka anggap sebagai proyek kolonial modern.

Pasca serangan terbuka Iran terhadap Israel, yang merupakan balasan atas serangan udara terhadap konsulat Iran di Damaskus, Iran telah memperlihatkan bahwa mereka siap menaikkan eskalasi dan memperhitungkan segala kemungkinan, termasuk konfrontasi militer langsung. Meski serangan tersebut terlihat “terkendali” dalam pengaturan intensitasnya, maknanya sangat dalam: untuk pertama kalinya, Iran menyerang Israel secara langsung dari wilayahnya sendiri, bukan hanya lewat proksi seperti Hizbullah di Lebanon atau milisi Hashd al-Shaabi di Irak.

Amerika, yang menjadi pelindung utama Israel, sangat mencermati perkembangan ini. Iran tidak hanya menjadi musuh militer, tetapi juga ideologis. Dengan sistem kepemimpinan religius yang independen dari kekuatan Barat, Iran menjadi ancaman terhadap tatanan dunia yang didominasi oleh Barat sekuler.

Maka, pergantian kepemimpinan di Iran adalah momen yang sangat diperhitungkan oleh AS dan sekutunya. Mereka berharap adanya pergantian ke arah yang “lebih moderat”, yakni ulama yang lebih terbuka terhadap negosiasi dan kompromi. Namun, langkah Khamenei ini justru menunjukkan sebaliknya: bahwa Iran tetap akan berada di jalur ideologi perlawanan (muqawamah) dan anti-Zionis.

Dari perspektif Islam, ini adalah refleksi nyata dari bagaimana kekuasaan politik dan agama bisa menyatu dalam satu poros yang membawa visi keberlangsungan umat. Para ulama dalam tradisi Islam bukan hanya penasehat moral, tetapi bisa menjadi pemimpin yang menjaga kedaulatan atas dasar tauhid dan keadilan.

Khamenei, meski berada di poros Syiah, tetap menjadi simbol perlawanan yang dikagumi sebagian besar dunia Islam dalam konteks keberaniannya melawan dominasi Zionis dan imperialisme. Dalam hal ini, kaum Muslimin harus mampu bersikap adil: membedakan antara perbedaan mazhab dan posisi politik global.

Penunjukan tiga ulama pengganti juga menjadi sinyal bahwa Iran sedang memperkuat legitimasi internalnya di tengah tekanan global dan krisis dalam negeri. Kestabilan internal menjadi kunci, karena Amerika bersama Israel dan Arab Saudi terus berupaya membenturkan pemerintah Iran dengan rakyatnya sendiri melalui sanksi ekonomi, propaganda media, dan infiltrasi sosial. Namun, Iran tampaknya belajar dari sejarah. Mereka ingin memastikan bahwa siapa pun yang menggantikan Khamenei harus memiliki kesinambungan ideologis dan keberanian geopolitik.

Bagi umat Islam, momen ini mengajarkan pentingnya kesatuan visi dalam memilih pemimpin, dan bahwa pemimpin tidak hanya ditentukan oleh popularitas atau tekanan internasional, tapi oleh keteguhan iman dan keberanian memikul amanah umat. Rasulullah ﷺ bersabda:

إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ

"Apabila kepemimpinan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran." (HR. Bukhari, No. 59)

Dalam dunia yang kian kacau, posisi Iran, suka atau tidak, menjadi benteng terakhir yang terus menyuarakan perlawanan terhadap penjajahan dan pengkhianatan terhadap Al-Quds. Maka, kabar ini bukan hanya tentang suksesi seorang tokoh, tetapi tentang kelanjutan satu poros dunia Islam yang tetap berkata: tidak pada penjajahan, tidak pada kehinaan, dan tidak pada tunduk kepada musuh Allah.

Sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT:

العزة لله ولرسوله وللمؤمنين

"Kekuatan itu hanyalah milik Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman." (QS. Al-Munafiqun: 8)

Maka, biarlah dunia gemetar menghadapi seorang lelaki tua yang bersorban hitam, karena bukan dia yang ditakuti, tetapi ideologi perlawanan dan keberanian yang ia wariskan.

Wallahu a’lam bish-shawab.[]


*) Muballigh & Pemerhati Kebijakan Publik

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.