Program Asal Jadi, Rakyat Rugi Lagi
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih*)
IndonesiaNeo, OPINI - Viral di media sosial, menu MBG (Makan Bergizi Gratis) di Tangerang Selatan dibagikan dalam bentuk mentah dengan alasan para siswa sedang dalam masa libur sekolah. Dalam sejumlah foto yang beredar, paket MBG berisi beberapa buah jeruk dan pisang serta sejumlah kantong plastik yang diduga berisi beras, ikan asin, telur puyuh, dan kacang tanah.
BGN (Badan Gizi Nasional) mengklaim tidak pernah memberi arahan soal pembagian bahan mentah dalam program MBG di Tangsel. Kepala BGN, Dadan Hindayana, saat dikonfirmasi mengatakan pihaknya sedang menyusun petunjuk teknis (juknis) penyelenggaraan program MBG selama masa libur sekolah.
Menurut Anggota Komisi IX DPR RI, Nurhadi, penggantian sistem tersebut seolah-olah membuat program MBG selayaknya bagi-bagi sembako yang tidak sesuai dengan tujuan utama pelaksanaan MBG, di mana MBG sejak awal disusun sebagai program pemberian menu makanan yang bisa langsung dikonsumsi anak-anak (kompas.com, 19-6-2025).
Nurhadi, yang juga politikus Partai Nasdem, menegaskan karena tujuan awal MBG sebagaimana yang disebutkan, maka harus disalurkan dalam bentuk makanan siap konsumsi agar tujuan mendorong perbaikan gizi tercapai. Pembagian bahan mentah justru berpotensi membebani masyarakat karena harus mengeluarkan biaya lagi untuk pengolahan sebelum dikonsumsi.
Kapitalisme Gagal Sejahterakan Rakyat
Menggelikan memang, jika disebut sebagai program nasional, sejatinya MBG adalah program amburadul, tanpa SOP yang jelas apalagi pendanaannya yang sudah merembet ke utang luar negeri, salah satunya ke Cina. Para pelajar libur pun tidak termasuk dalam perencanaan yang matang sehingga tidak ada keseragaman penanganan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain.
Bagaimana rakyat bisa sejahtera jika penguasanya saja ruwet dalam pengurusan? Sementara urusan sejahtera bukan asal program jalan, tapi dipastikan setiap individu rakyat terpenuhi seluruh kebutuhan pokoknya, dari sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, hingga keamanan.
Cara pandang sistem kapitalisme yang diterapkan negara ini menjadikan hidup bertambah runyam. Asasnya sekular atau tidak menjadikan hukum agama (Islam) sebagai batu sandaran setiap aturan yang disahkan. Alhasil, aturan manusialah yang dominan, padahal manusia adalah makhluk yang senantiasa berbeda pendapat akan satu hal.
Banyak bukti jika aturan hidup yang tidak sesuai fitrah, menenteramkan hati, dan memuaskan akal akan membuat pribadi seseorang rusak. Secara alamiah efeknya akan berpengaruh buruk pada interaksi sosial, masyarakat, hingga negara. Depresi, bunuh diri, pertikaian, hingga pembunuhan adalah contoh nyatanya.
Dalam program MBG ini hanya mereka yang mampu atau bermodal besar yang bisa "bermitra" dengan pemerintah, sebab ini adalah proyek strategis yang menguasai faktor-faktor di pasar terkait produksi, distribusi, dan konsumsi. Kemitraan ini membuat peran negara semakin sempit, bahkan mandul; semua diserahkan kepada swasta yang dirasa lebih profesional.
Dari mulai lokasi dapur umum, pemilihan menu, penggunaan alat makan, nominal setiap menunya, pengiriman, dan lain-lain menjadi proyek bancakan mereka yang bermodal besar. Alih-alih mengatasi stunting, program MBG malah menjadi ajang bancakan, bagi-bagi proyek.
Dan sama sekali tidak menyentuh akar persoalan stunting, gizi buruk, dan lainnya. Stunting bukan hanya masalah dampak dari kekurangan gizi atau karena usia ibu muda yang pernikahannya pun kategori pernikahan yang tidak diinginkan. Namun, lebih dalam lagi, ini karena sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri ini. Akses setiap kepala keluarga terhadap ekonomi sangatlah sempit. Ditambah dengan biaya hidup yang mahal, seperti biaya listrik, air, BBM, dan pungutan pajak, lengkap sudah penderitaan rakyat dan semakin jauhlah arti sejahtera.
Pengangguran merajalela karena banyak perusahaan bangkrut, biaya operasional membengkak tak sebanding dengan profit. Terlebih tergilas dengan aturan perdagangan bebas yang dianut negara besar dan diikuti oleh Indonesia. Produk Indonesia tak mampu bersaing, kalah banyak, dan kalah harga, salah satunya dari Cina. Hari ini sangatlah sulit mendapatkan produk yang tidak berlabel Made in China.
Stunting jelas berbicara tentang kapitalisasi itu sendiri, terutama terkait pendidikan, kesehatan, dan lainnya yang eksklusif bagi segelintir orang namun tidak bagi rakyat. Pemerintah pun hanya memberi perhatian sekadarnya. Pelatihan kerja, sekolah vokasi, program kerja meski sudah diadakan namun tak menyentuh akar persoalannya, yaitu keseimbangan lowongan pekerjaan yang merata dari kota hingga desa. Apalagi, kebanyakan investasi di negeri ini tak hanya tentang modal tapi termasuk tenaga kerja asing, semakin menutup kesempatan anak negeri mendapatkan pekerjaan.
Dengan bekerja, salah satu syarat kesejahteraan bisa dicapai. Tak perlu negara repot urus MBG, karena ketika setiap ayah atau laki-laki baligh mampu mendapatkan pendapatan layak, maka ia mampu memberi nafkah yang layak pula untuk keluarga atau orang-orang yang menjadi tanggungannya.
Bagaimana Islam Menyejahterakan Rakyat?
Fungsi pemimpin dalam Islam adalah sebagai pelayan umat sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari). Artinya, pemimpin atau khalifah itulah yang menjamin kesejahteraan rakyat hingga tergolong paling sempurna.
Islam mensyariatkan pengelolaan harta kepemilikan umum dan negara seperti minyak, energi panas bumi, batu bara, fa’i, jizyah, kharaj, dan lainnya dikelola oleh negara dan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pembangunan fasilitas publik seperti rumah sakit, sekolah, jalan, dan lainnya, yang semuanya gratis. Juga bisa dalam bentuk BBM, air, listrik yang dijual murah bahkan gratis untuk rakyat. Sehingga kehidupan rakyat jadi berkualitas tinggi.
Negara akan mewajibkan para bapak atau pria baligh untuk mencari pekerjaan. Negara membuka lapangan kerja seluas mungkin, bisa berupa industri atau pemberian pelatihan dan modal bergerak bagi rakyat yang ingin bekerja swasta. Artinya, seorang bapak bisa menafkahi anak dan istrinya secara makruf sehingga urusan makan bergizi menjadi tanggung jawab setiap keluarga, terutama ibu.
Sementara negara menyediakan regulasi mudahnya sekolah dengan menggratiskan, murahnya kesehatan, dan jaminan keamanan. Sejarah telah membuktikan tak ada solusi pragmatis bagi setiap pelayanan kebutuhan rakyat. Semua berdasarkan ketaatan kepada Allah swt. Islam pun melaknat para pemimpin yang hanya menyengsarakan rakyatnya.
Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Barang siapa yang diangkat oleh Allah menjadi pemimpin bagi kaum Muslim, lalu ia menutupi dirinya tanpa memenuhi kebutuhan mereka, (menutup) perhatian terhadap mereka, dan kemiskinan mereka, Allah akan menutupi (diri-Nya) tanpa memenuhi kebutuhannya, perhatian kepadanya, dan kemiskinannya.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi dari Abu Maryam). Wallahu a’lam bish-shawab.[]
*) Institut Literasi dan Peradaban
Post a Comment