Mendudukkan Serangan Iran ke Israel dalam Perspektif Syara'
Oleh: Syahril Abu Khalid*)
IndonesiaNeo, OPINI - Dalam menapaki jalan perjuangan umat, sering kali kita diperhadapkan pada simpul-simpul pelik antara kebenaran syar'i dan realitas politik dunia yang penuh kepentingan. Di antara ujian zaman ini adalah ketika kita menyaksikan Iran, sebuah negara dengan mazhab dan akidah yang menyelisihi Ahlus Sunnah wal Jama'ah, melancarkan serangan terhadap Israel yang secara nyata telah membantai ribuan kaum muslimin di Gaza, Palestina.
Sementara di sisi lain, sebagian kelompok dari kalangan yang menisbatkan diri kepada Salafiyyah justru lebih senang mencemooh Iran karena akidah Syiah-nya, bahkan hingga mengurangi rasa benci terhadap Israel yang jelas-jelas adalah musuh Allah dan musuh kaum beriman.
Sesungguhnya kebenaran tidak diukur dari siapa yang mengucapkannya, tetapi dari kesesuaian dengan wahyu dan timbangan syariat. Maka dalam hal ini, kita tidak sedang dituntut untuk membela Syiah sebagai akidah, namun untuk berlaku adil dalam menilai sikap yang benar di hadapan kezaliman musuh Allah.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ"
“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Ma'idah: 8)
Maka jika Iran menyerang Israel, yang dalam pandangan kita secara zahir karena membalas kezaliman terhadap saudara-saudara kita di Gaza yang dibantai, maka dalam konteks ini perbuatannya secara zahir adalah membela kaum muslimin yang dizalimi, walaupun kita tetap berlepas diri dari kebatilan akidah mereka termasuk kepentingan politik di balik itu semua. Ini adalah adab ilmiah dan adilnya Islam dalam memandang perkara tersebut.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
"يُعَاوَنُ عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْأَهْوَاءِ إِذَا كَانَ فِيهِ نَفْعٌ لِلْمُسْلِمِينَ، وَلَا يُوَالَى فِي دِينِهِ"
“Boleh bekerja sama dalam perkara kebajikan dan takwa bersama ahli bid'ah jika di dalamnya ada manfaat bagi kaum muslimin, namun tidak berarti kita loyal terhadap agama mereka.” (Majmū' al-Fatāwā, 28/212)
Bahkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menerima bantuan dari Bani Khuza'ah yang masih musyrik dalam Perjanjian Hudaibiyyah dan Fathu Makkah, bukan karena membenarkan kemusyrikan mereka, namun karena mereka membantu dalam urusan membela kaum tertindas.
Sungguh merupakan bencana pemikiran jika seseorang karena bencinya kepada Syiah hingga menyimpulkan bahwa Israel lebih ringan dibanding mereka. Ini adalah kekeliruan yang besar. Israel telah membunuh ribuan bayi, memperkosa, membakar, membantai kaum muslimin secara terang-terangan. Sementara Syiah Iran dalam konteks ini menyerang mereka.
Adakah logika waras yang masih tersisa jika membenci sebuah kelompok sesat menjadikan kita melunak terhadap musuh Allah yang kafir dan penjajah?
Dikatakan oleh Al-Imam Al-Dzahabi rahimahullah:
"وَمَا مِنْ فِرْقَةٍ إِلَّا وَفِيهَا صَالِحٌ وَفَاسِقٌ، وَاللَّهُ يَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِهِ، وَالْمُؤْمِنُ يَنْصُرُ الْحَقَّ وَيَرْحَمُ الْخَلْقَ"
“Tidak ada kelompok pun kecuali di dalamnya ada yang salih dan ada yang fasik. Allah yang akan mengadili hamba-hamba-Nya. Seorang mukmin membela kebenaran dan menyayangi makhluk.” (Siyar A’lām al-Nubalā’, 4/483)
Jangan sampai fanatisme buta terhadap mazhab membuat seseorang mendukung kebatilan yang lebih jelas. Jangan sampai kebencian kepada Syiah membuat kita menutup mata terhadap kekejaman Yahudi Zionis. Bahkan dalam keadaan biasa saja, mencintai musuh Allah adalah bentuk dari kemunafikan. Maka bagaimana jika sampai membelanya dalam kezaliman?
Allah berfirman:
"لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ"
“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya.” (QS. Al-Mujadilah: 22)
Maka membela keadilan dan membenci kezaliman adalah bagian dari iman, walau yang membela adalah seorang pelaku bid'ah atau fasik. Dan membenci kebenaran hanya karena dilakukan oleh musuh ideologi kita adalah penyakit hati yang harus diobati.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا"
Tolonglah saudaramu yang berbuat zalim ataupun yang dizalimi.
Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, kami memahami jika menolong orang yang dizalimi. Tapi bagaimana menolong orang yang berbuat zalim?" Nabi menjawab:
"تَأْخُذُ فَوْقَ يَدَيْهِ"
“Yaitu dengan menahannya dari melakukan kezaliman.” (HR. Bukhari no. 2444)
Jadi, ketika kita melihat Iran menyerang Israel, maka secara syar'i kita memandang perbuatannya (fi'il) dalam konteks membela kaum tertindas sebagai sesuatu yang positif. Namun secara akidah, kita tetap berlepas diri dari keyakinan mereka yang menyimpang, termasuk agenda politik di baliknya. Tidak mencampur antara keadilan dalam penilaian dengan loyalitas dalam agama. Tidak membela dengan totalitas, tidak pula membenci dengan kebutaan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah juga berkata:
"البِدْعَةُ لا تُوجِبُ الْعَدَاوَةَ الْمُطْلَقَةَ، وَالْإِسْلَامُ لَا يَسْقُطُ بِالْمَعْصِيَةِ"
“Bid'ah tidak mengharuskan permusuhan mutlak, dan keislaman seseorang tidak gugur hanya karena maksiat atau penyimpangan.” (Dar' Ta'arud al-'Aql wa an-Naql, 1/254)
Inilah sikap pertengahan yang diajarkan Islam. Tidak larut dalam taklid politik, tidak pula terjebak dalam fanatisme akidah hingga membutakan kebenaran dan keadilan. Sikap ini hanya dapat diambil oleh mereka yang memiliki ilmu, bashirah, dan hati yang bersih dari hawa nafsu dan dendam.
Wallahu a'lam bish-shawab, dan kebenaran lebih kami cintai dibanding semua kepentingan.
*) Muballigh & Pemerhati Kebijakan Publik
Post a Comment