Hidupmu Sungguh Berharga, Nak!
IndonesiaNeo, OPINI - Entah apa yang dirasakan seorang pemuda 22 tahun yang nekat melompat bunuh diri dari atas Jembatan Teluk Kendari (JTK) baru-baru ini (sultraantaranews.com, 2 Juni 2025). Beberapa hari sebelumnya, terjadi juga hal yang sama dengan sosok yang berbeda. Sama-sama mengambil jalan pintas mengakhiri hidup di usia muda.
Jika kita menengok ke belakang, terlihat peristiwa bunuh diri kali ini bukan sekali dua kali, melainkan sudah berkali-kali. JTK menjadi saksi betapa fenomena depresi maupun masalah kesehatan mental menggejala di kota ini. Mirisnya, pelaku umumnya tergolong Gen Z, generasi yang digadang-gadang bakal menjadi bonus demografi pada 2045 nanti. Bahkan yang lebih parah, tren bunuh diri tak hanya terjadi di Kendari. Data menunjukkan, pada periode Januari hingga Mei 2025, terdapat sekitar 600 kasus bunuh diri di seluruh negeri (katadata.co.id, 28 Mei 2025).
Amboi, ada apa dengan kalian, wahai generasi muda? Begitu beratkah beban yang engkau rasakan hingga tak dapat lagi ditanggung? Bisa jadi jawabannya ya. Tapi, haruskah berputus asa, sementara di sisi lain masih tak terhitung nikmat dan karunia Sang Maha Pencipta yang tercurah untuk seluruh manusia ciptaan-Nya?
Hidup Tanpa Masalah, Mungkinkah?
Hidup sejatinya adalah gudangnya masalah. Mustahil hidup tanpanya, terlebih bila kehidupan jauh dari pemahaman agama. Maka tak heran jika dampaknya kini banyak orang mengalami depresi, luka batin, hingga haus validasi. Kondisi ini menjadikan istilah inner child, trauma healing, self love, dan sejenisnya ramai dibincangkan serta digadang-gadang mampu hadir sebagai solusi.
Padahal, masalah akan terus ada. Terpaku pada berbagai istilah dalam dunia psikologi di atas hanya berisiko menghabiskan energi dan waktu produktif dari usia. Tahu-tahu senja menyapa, dan kita belum ke mana-mana serta belum berbuat apa-apa.
Maka menarik jika ditelusuri lebih dalam, semua pendekatan terapi dan berbagai bentuk konsultasi kejiwaan itu lahir dari cara pandang Barat yang sekuler—yakni memisahkan kehidupan manusia dari Tuhan yang menciptakan dan memberi aturan. Jujur saja, psikologi modern dengan aneka teorinya mendefinisikan manusia hanya sebatas makhluk biologis lengkap dengan ego dan insting yang membentuk perilaku, ditambah dengan pengalaman-pengalaman yang dialaminya (Wikipedia). Tidak menyinggung sama sekali akan keberadaan manusia sebagai makhluk spiritual yang diciptakan Allah Swt., sehingga wajib terikat dengan syariat-Nya. Padahal, pada titik inilah letak akar dari aneka problem dalam kehidupan manusia.
Kembalilah pada Islam
Dalam pandangan Islam, manusia adalah makhluk yang diciptakan dengan sempurna karena memiliki akal, raga, dan naluri (perasaan). Ketiganya menjadikan manusia berbeda dengan makhluk lainnya seperti tumbuhan dan hewan.
Dengan sendirinya, ketika galau itu hadir, penting untuk selalu mengingat bahwa perasaan bukanlah segalanya. Yang dibutuhkan bukan sekadar healing alias pemulihan emosi, tetapi justru berpikir menggunakan akalnya hingga dapat menyadari tanggung jawabnya di dunia, yaitu untuk menjalankan amanah sebagai hamba Allah dan khalifah fil ardh.
Amanah yang bahkan ketika ingin diberikan kepada gunung, gunung pun tunduk terpecah belah karena tak sanggup dan takut kepada Allah Swt.:
“Seandainya Kami turunkan Al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah karena takut kepada Allah. Perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia agar mereka berpikir.” (QS. Al-Hasyr: 21)
Alhasil, Islam membimbing manusia untuk menyembuhkan luka dengan kembali kepada fitrah dan wahyu. Para sahabat dan sahabiyah adalah contoh nyata dari kekuatan ini.
Khaulah binti Tsa‘labah, misalnya, yang datang kepada Rasulullah saw. karena merasa dizalimi oleh suaminya. Ia memang diam memendam luka, tetapi langsung mengadu kepada Allah. Dan Allah pun menurunkan wahyu khusus untuknya dalam Surah Al-Mujadalah. Ia menyembuhkan luka dengan kembali kepada syariat, menyulam ketaatan.
Hal yang sama juga terlihat pada Bilal bin Rabah ra. Di tengah penyiksaan fisik dan mental yang luar biasa karena keimanannya, Bilal tak galau menuntut validasi atau afirmasi diri. Ia hanya memanggil nama Tuhannya: Ahad, dan hal itu membuatnya kokoh menahan siksaan.
Contoh di era sekarang? Gaza pastinya tiada tanding. Segala bentuk derita dan sengsara ada di sana, baik yang menimpa fisik maupun batin. Tapi, pernahkah terdengar berita bahwa mereka memilih mengakhiri hidup hanya karena merasa sebatang kara? Tidak pernah, sampai detik ini.
Maka, mencari kesembuhan untuk rasa resah dan gundah gulana bukan dengan berputus asa maupun lari dari masalah, tetapi justru dengan kembali pada fitrah, bertobat taubatan nasuha karena bisa jadi galau itu hadir akibat dosa yang belum disadari.
Berikutnya, mari mengkaji ilmu Islam semata agar dapat menelisik hakikat diri, mana ujian dan mana petunjuk dari Yang Maha Penyayang. Hingga memahami dan meyakini bahwa syariat-Nya yang kafah merupakan jawaban dari seluruh permasalahan hidup kita, sepelik apa pun itu. Bila sudah demikian, tentu memperjuangkan tegaknya syariat di tengah umat manusia menjadi sebuah kebutuhan. Bukan untuk mendapatkan validasi dari sesama makhluk-Nya, tetapi semata-mata agar dicintai sebagai hamba yang beriman dan pantas mendapat pertolongan-Nya, serta dihindarkan dari segala kesukaran.
Yuk ngaji. Wallahu a‘lam.[]
*) Pegiat Literasi
Post a Comment