Header Ads


UU Minerba Memberi Karpet Merah Bagi Oligarki Tambang



Oleh: Muzir Collins 
(Sekretaris Umum Gema Pembebasan Kolaka)

Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) yang disahkan dalam Rapat Paripurna Selasa (12/5/2020) lalu berbuntut panjang.

Pasalnya undang-undang ini bertujuan memberi jaminan korporasi ketimbang melindungi sumber daya alam beserta masyarakat sekitar yang terdampak. Selain menguntungkan korporasi, revisi juga mengatur soal kewajiban divestasi saham sebesar 51 persen bagi perusahaan tambang alam.

Pengistimewaan bagi perusahaan juga tampak dalam perpanjangan izin. Undang-undang baru memberikan jaminan kepada perusahaan untuk memperpanjang izin operasi. Sebuah peruhaan tambang batu bara, misalnya bisa beroperasi hingga 60 tahun setelah mendapat perpanjangan 2 kali 10 tahun.

Jika perusahaan batu bara tersebut terintegrasi dengan pembangkit listrik tenaga uap, misalnya operasinya sampai 80 tahun setelah perpanjangan 30 tahun dan jaminan perpanjangan 10 tahun. Demikian juga untuk perusahaan tambang logam yang terintegrasi dengan pabrik pemurnian atau smelter.

Adanya garansi perpanjangan izin di undang-undang baru justru melanggengkan penguasaan sumber daya alam oleh segelincir pengusaha. Apalagi, undang-undang baru, mineral yang tidak dimohonkan ditambang pada saat pengurusan izin secara otomatis menajdi milik pemegang izin.

Kemudian perubahan UU Minerba merupakan salah satu terjadinya perselingkuhan antara oligarki kekuasaan dan oligarki perusahaan. Bagaimana tidak, publik menduga ada kepentingan pro korporasi dan oligarki tambang dalam UU ini, jika kita lihat dengan kacamatan hukum setidaknya ada empat hal penting di balik UU Minerba ini.

Pertama, UU Minerba pro korporasi dan oligarki. Bahkan beberapa ahli mengatakan UU ini sarat kepentingan oligarki tambang.

Ekonom Senior Faisal Basri mengatakan ada indikasi menyelamatkan bandar tambang. “Ini elite pesta pora di tengah kondisi seperti ini. Mereka menyelamatkan bandar tambang batu bara dengan UU Minerba,” kata Faisal dalam diskusi virtual ILUNI UI, Rabu (13/5/2020).

Direktur IRESS Marwan Batubara mengatakan, betapa kuat dan berkuasanya oligarki penguasa-pengusaha, yang belakangan juga sudah melibatkan DPD RI. Ia mengajak semua elemen masyarakat untuk tetap melakukan advokasi agar BUMN-lah yang diberi mandat mengelola tambang sebagaimana amanat pasal 33 UUD 1945.

Kedua; UU Minerba Sangat dipaksakan. Apalagi negeri ini sedang hadapi wabah corona. Ekonom Senior Faisal Basri mengaku heran dengan rencana pengesahan tersebut di tengah kondisi pandemi seperti ini.

Direktur Eksekutif Pushep Bisman Bhaktiar mengatakan pembahasan RUU Minerba sangat dipaksakan di tengah pandemi COVID-19. “Tidak ada yang mendesak dengan RUU Minerba ini, kecuali soal perpanjangan PKP2B,” ungkapnya kepada CNBC Indonnsia.

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang, Merah Johansyah mengatakan bahwa Pemerintah secara sadar memberikan bentuk jaminan (bailout) untuk melindungi keselamatan elite korporasi, tetapi tidak bagi lingkungan hidup dan rakyat. (tempo.co, 12 Mei 2020).

Ketiga; UU Minerba ini produk dari proses demokrasi. Banyak pihak yang mengkritik UU Minerba dan UU lainnya yang merupakan hasil proses demokrasi yang merugikan publik dan pro korporasi. Namun mereka tidak mengkritik sistem demokrasi sebagai penyebab lahirnya UU tersebut.

Lahirnya UU yang pro oligarki maupun yang pro korporasi tak lepas dari pelaksanaan demokrasi itu sendiri. Siapa pun pejabat publik, untuk duduk di kursinya harus mengikuti proses demokrasi yang tak gratis. Bahkan harus mengikuti proses pesta demokrasi yang super mahal.

Dalam demokrasi yang super mahal, nyaris tak ada pejabat publik (rezim) yang terbebas dari utang. Minimal punya utang janji politik. Setidaknya punya tiga utang politik yang harus dilunasi. Utang kepada para investor politik, kepada partai politik pengusung, kepada rakyat pemilih.

Utang kepada para investor politik (para pengusaha pemilik modal). Akibat Biaya pesta demokrasi itu dibayar dengan memberikan jabatan atau kebijakan yang berpihak pada kepentingan bisnis mereka. Di titik inilah bertemunya dua kepentingan. Kepentingan bisnis para investor politik dan politisi.

Cara mudah melunasi utang politik kepada para investor politik ini adalah dengan menyetujui proyek-proyek bagi mereka. Tak heran jika sebuah negara yang selesai melaksanakan pesta demokrasi akan membangun banyak proyek besar. Strategi lain adalah pemberian ijin usaha (baik perkebunan, pertambahan, kehutanan, kelautan, dll) kepada para investor politik sebagai kompensasi partisipasi investasi dalam pesta demokrasi.

Ketiga; Pengelolaan tambang versi Islam. Dalam Islam, tambang batubara maupun tambang lain yang berlimpah merupakan kepemilikan umum (milkiyah ammah). Negara wajib mengelolanya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, di antaranya untuk biaya pendidikan, kesehatan dan keamanan seluruh rakyat.

Kini negara menjadi pelayan para kapitalis. Melalui proses demokrasi, dibuatlah aturan (UU) yang memfasilitasi para kapitalis pengusaha untuk mengeruk kekayaan rakyat Indonesia. Tak peduli pada kerusakan lingkungan, kebutuhan rakyat dan aspirasi masyarakat, asalkan keuntungan materi didapatkan.

Lantas bagaimana islam membuat aturan tentang sumber daya alam? Menurut aturan Islam, tambang yang jumlahnya sangat besar  baik garam maupun selain garam seperti batubara, emas, perak, besi, tembaga, timah, minyak bumi, gas dsb semuanya adalah tambang yang terkategori milik umum sebagaimana tercakup dalam hadis berikut.

‎Ų§Ł„ْŁ…ُŲ³ْŁ„ِŁ…ُŁˆŁ†َ Ų“ُŲ±َŁƒَŲ§Ų”ُ ŁِŁŠ Ų«َŁ„َŲ§Ų«ٍ ŁِŁŠ Ų§Ł„ْŁ…َŲ§Ų”ِ ŁˆَŲ§Ł„ْŁƒَŁ„َŲ„ِ ŁˆَŲ§Ł„Ł†َّŲ§Ų±ِ

Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput dan api (HR Ibnu Majah).

Dengan demikian, untuk mengakhiri kisruh pengelolaan sumberdaya alam sebagaimana yang terjadi saat ini, mau tak mau, kita harus kembali pada ketentuan syariah Islam. Selama pengelolaan sumberdaya alam didasarkan pada aturan-aturan sekular kapitalis, tidak diatur dengan syariah Islam, semua itu tak akan banyak manfaatnya bagi rakyat dan pastinya akan kehilangan berkahnya.

 Terbukti, di tengah berlimpahnya sumberdaya alam kita, mayoritas rakyat negeri ini miskin. Pasalnya, sebagian besar kekayaan alam kita hanya dinikmati oleh segelintir orang, terutama pihak asing, bukan oleh rakyat kebanyakan.

Wallahualam.(*)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.