TUJUH ALASAN PILKADA DIMASA WABAH CORONA, VERSI SISTEM DEMOKRASI VS KHILAFAH
Oleh: Wahyudi al Maroky
_(Dir. PAMONG Institute)_
Di tengah wabah corona dan setumpuk masalah negara, justru pemerintah akan menggelar pesta demokrasi, Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah). Ya, Pilkada serentak untuk 170 daerah itu akan dilaksanakan tanggal 9 Desember 2020. Di sisi lain, rakyat diminta tak menggelar Pesta besar seperti Pernikahan, khitanan, ulang tahun, apalagi konser musik.
Pada Senin (4/5/2020) lalu Presiden mengeluarkan Perppu nomor 2 Tahun 2020 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Perppu Pilkada). Isinya, menggeser waktu pelaksanaan Pilkada 2020 dari semula 23 September menjadi 9 Desember 2020. Alasannya karena ada pandemi Corona.
Tentu publik layak bertanya, kenapa disaat ada wabah corona, rakyat susah, ekonomi belum membaik, bahkan wabah corona masih terus meningkat, justru pemerintah tetap akan menggelar pesta demokrasi. Apa alasan yang bisa diterima logika waras publik?
Katanya pemerintah sedang kesulitan keuangan, hutang menggunung, kewajiban bayar utang sudah menanti, pendapatan negara menurun, kenapa masih memaksakan pilkada? Bukankah juga bisa keluarkan Perppu agar penundaan? Atau perppu untuk di minta DPRD pilih dan usulkan nama untuk diangkat seperti pemilihan masa lalu. Bukankah ada lebih 100 negara di dunia yang tak laksanakan pilkada tapi rakyat bisa aman & sejahtera?
Setidaknya ada tujuh argumen kenapa pilkada tak layak dilaksanakan. Apalagi dipaksakan di tengah wabah corona. Di antaranya:
PERTAMA, kebijakan ini minim empati dimusim pandemi. Di saat rakyat sedang susah dan prihatin, berperang melawan wabah corona mestinya pemerintah tidak menggelar pesta demokrasi. Bukankah rakyat diminta untuk tidak menggelar pesta besar dimusim pendemi ini? Semua keinginan pesta itu pun mesti ditunda, mulai dari khitanan, pernikahan, ulang tahun, apalagi konser musik.
Selain itu memaksakan pesta demokrasi di 170 daerah itu banyak potensi persoalan yang bisa muncul. Bukan saja terkait kesehatan masyarakat, tapi juga terkait proses demokrasi itu sendiri. Pilkada di tengah pandemi, membuat masyarakat enggan berpartisipasi. Rendahnya tingkat partisipasi maka peluang terjadinya manipulasi semakin terbuka.
KEDUA, Pilkada langsung itu anti Pancasila(sila4). Siapa pun yang mengaku Pancasilais tentu memahami ini. Apalagi yang suka teriak paling keras “saya Pancasila” tentu hafal bunyi Sila ke-4 pancasila : “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan”.
Pada sila ke 4 itu jelas mengamanahkan pemilihan pemimpin dengan musyawarah dan mufakat. Bukan pemilihan langsung dengan pesta demokrasi yang mahal itu. Siapa yang ngajari kita memilih pemimpin dengan pilkada langsung seperti sekarang jika itu tak sesuai Pancasila?
KETIGA, Pilkada langsung tak punya landasan konstitusional. Dalam UUD 45, Pasal18 (4); itu tidak memerintahkan untuk melakukan pilkada langsung. Disana diterangkan bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis. Sebagaimana termaktub dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, kepala daerah dipilih secara demokratis.
Lalu atas dasar apa kita melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung dengan biaya yang super mahal? Belum lagi kalau kita bahas pilkada kini juga memilih wakilnya sekaligus. Apakah ada dalam konstitusi?
KEEMPAT, Biaya Pesta demokrasi “Pilkada” itu sangat mahal. Namanya juga pesta demokrasi, tentu biayanya tidak sedikit alias sangat mahal. Apalagi dilaksanakan pada masa wabah corona. Seluruh tahapan pilkada tentu harus menerapkan standar pencegahan Covid-19. Ini membutuhkan tambahan anggaran yang tidak sedikit, antara lain untuk pengadaan alat perlindungan diri (APD) dan perlengkapan disinfeksi di 270 wilayah pemilihan yang meliputi sembilan provinsi, 37 kota, dan 224 kabupaten.
Tak heran jika ada permintaan tambahan anggaran sebesar Rp 4,7 triliun yang diajukan KPU. Dan ini pun telah disetujui oleh DPR dan pemerintah. Selain KPU, Bawaslu dan Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP) juga mendapatkan tambahan anggaran masing-masing sebesar Rp 478,9 miliar dan Rp 39,05 miliar. Seluruh tambahan biaya ini bersumber dari APBN dan APBD. Andai saja dana itu untuk mengatasi wabah corona tentu bisa diterima logika waras masyarakat.
KELIMA; Pilkada mahal tak jamin hasilkan pemimpin berkualitas. Pilkada yang supermahal itu justru hasilkan banyak pemimpin yang terjerat kasus korupsi. Sejak KPK berdiri pada Desember 2002 lalu, lembaga antirasuah tersebut mencatat telah memproses 119 kepala daerah yang tersandung kasus korupsi. "Itu data per 7 Oktober 2019 sejak KPK berdiri," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah kepada wartawan, Selasa (8/10/2019). ( Kompas.com )
Itu artinya dalam kurun waktu 17 tahun ada 119 kepa daerah yang ditangkap. Jadi rata-rata ada 7 kepala daerah setiap tahunnya. Berarti pula tiap dua bulan sekali KPK menangkap. Sedangkan ditahun 2019, belum genap setahun KPK tercatat telah mencokok tujuh orang kepala daerah dalam operasi tangkap tangan. Hanya dalam kurun waktu 10 bulan, terhitung sejak 1 Januari 2019 hingga Oktober 2019. Entah di tahun 2020 nanti bagaimana lagi.
KEENAM, Potensi Konflik dan korban dalam pilkada. Sebagaimana pesta demokrasi, selalu saja ada korban. Mulai korban harta, benda, hingga korban jiwa. Bahkan pesta demokrasi lalu ada lebih 600 korban jiwa dari para anggota KPPS. Lalu apakah pilkada 2020 ini akan bersih dari konflik dan korban?
Sebagaimana kita ketahui tahun ini ada 9 provinsi yang akan menyelenggarakan Pilkada 2020, yang memiliki riwayat konflik. Tertinggi berada di Sulawesi Tengah dengan 885 sejarah konflik, Kalimantan Tengah 553, Sulawesi Utara 475, Jambi 111, Bengkulu 105, Sumatera Barat 85, Kalimantan Selatan 71, Kepulauan Riau 68, Kalimantan Utara 19. Sedangkan dari 161 kabupaten dan kota penyelenggara Pilkada 2020, terdapat 88 daerah yang memiliki sejarah konflik. (gatra.com. 15/01/20).
Dengan potensi konflik yang begitu besar semestinya kita berfikir ulang untuk melakukan melaksanakan pesta demokrasi. Apalagi jika mempertimbangkan kondisi ekonomi nasional dan kesulitan rakyat.
KETUJUH, Dalam sejarah Khilafah, kepala daerah cukup ditunjuk. Ini mirip rezim UU 5/74 tentang Pemerintahan di Daerah.
Dalam sistem khilafah, kepala daerah untuk wilayah setingkat provinsi disebut WALIY atau AMIR sedangkan dalam sistem demokrasi kini disebut GUBERNUR. Selanjutnya untuk kepala daerah setingkat kabupaten/kota disebut AMIL atau HAKIM, sedangkan dalam sistem kini disebut BUPATI atau WALIKOTA.
Kepala daerah dalam sistem khilafah (wali/Amir dan Amil) dipilih oleh Khalifah dengan mendapatkan saran dan masukan dari Majelis Umat (MU) dan Majelis Wilayah (MW). MU merupakan lembaga perwakilan dari Umat ditingkat pusat. Sedangkan MW merupakan lembaga perwakilan dari masyarakat yang ada di daerah.
MU dan MW dapat mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah. Baik level Provinsi maupun level daerah Kota. Jika terjadi perbedaan pendapan anatar MU dan MW maka yang lebih diutamakan pendapat MW karena merupakan representasi masyarakat daerah.
Mekanisme ini mirip dengan model pemilihan Kepala daerah di era Pra-reformasi (masa Orba). Dimana kepala daerah dipilih oleh DPRD lalu diajukan beberapa nama untuk dipilih oleh kepala negara. Keunggulannya adalah biaya yang sangat murah. Kepala daerah terpilih tidak punya beban besar “Utang” kepada para investor politik seperti saat ini.
Hal ini sejalan dengan MUI, Hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia ke-IV yang digelar di Tasikmalaya tahun 2012 lalu yang merekomendasikan kepala daerah akan lebih afdal jika dipilih oleh DPRD provinsi, kota, atau kabupaten. Sedangkan, wakilnya bisa dipilih oleh gubernur, wali kota, atau bupati terpilih. Untuk mengawal jalannya proses pemilihan, DPR bisa membuat RUU yang tegas mengatur secara eksplisit.
Dari segi mudharatnya, menurut MUI, pilkada langsung dalam perpolitikan nasional sering diwarnai praktik kapitalisme dan liberalisme. Pemilik modal kuat sebagai kapitalis tentu mendominasi bursa politik. Akibatnya, rakyat yang memilih pemimpin tak lagi mempertimbangkan kapabilitas, kapasitas, dan integritas si calon kepala daerah.
Demikian juga, pilkada langsung kerap memicu konflik horizontal antar-pendukung calon. Di samping itu, pilkada langsung menghabiskan anggaran dana yang sangat fantastis. Pemborosan uang negara dan dana dari masyarakat sendiri dihambur-hamburkan untuk tujuan yang tak bermanfaat. Padahal, dana tersebut bisa dimanfaatkan untuk pembangunan, pemberdayaan, dan kesejahteraan masyarakat. ( republika.co.id 16/10/2015).
Penunjukan kepala Daerah yang diusulkan Wakil rakyat itu secara filosofis pemerintahan sangat logis. Dimana hanya Sang Khalifah berwenang mengangkat para penguasa di bawahnya, baik Gubernur (Wali) maupun Kepala Daerah Kab/Kota (Amil). Hal ini didasarkan atas wajibnya mengangkat Khalifah dengan metode Bai'at. Selanjutnya Khalifah yang sudah dibai’at, mendapat Mandat dari rakyat untuk mengurus segala urusannya, bisa mengangkat orang lain untuk membantunya mengurus rakyat.
Jadi ketika rakyat sudah menyerahkan kekuasaannya kepada Khalifah melalui Bai’at, maka hanya sang Khalifah yang berwenang mengangkat pembantunya. Termasuk mengangkat para kepala daerah.
Ini sangat berbeda dengan sistem demokrasi sekarang. Rakyat sudah memilih Kepala negara (presiden) dan menyerahkan kekuasaannya, tapi masih memilih kepala daerah yang notabene merupakan pembantu Presiden di daerah.
Walhasil, pemilihan kepala daerah dalam sistem Khilafah jauh lebih efisien dan efektif. Sangat berbeda dengan sistem demokrasi yang sangat mahal, hasilnya pun belum tentu yang terbaik. Apalagi dilaksanakan di masa wabah corona kini.
Tentu kita ingin mendapatkan kepala daerah yang berkualitas namun dengan biaya yang murah. Setidaknya sisi positif dari model pemilihan Kepala daerah dalam sistem khilafah bisa menjadi contoh, itu jika belum bisa menerima sisi positif yang lain. Tabiik.
NB; Penulis pernah belajar pemerintahan di STPDN angkatan ke-04 dan IIP Jakarta angkatan ke-29 serta MIP-IIP Jakarta angkatan ke-08.
Post a Comment