Header Ads


Hegemoni Politik dalam Pertarungan Kekuasaan Maritim

Oleh: Asma Sulistiawati  (Mahasiswa Universitas Mummadiyah Buton)

Lautan memiliki urgensi dalam kehidupan manusia, dimana menjadi sarana berlayarnya kapal-kapal yang membawa manfaat bagi mereka. Juga dalam lautan mengandung kekayaan alam yang tak ternilai berupa tambang, hewan-hewan laut dan bebatuan berharga serta yang lainnya yang menjadi kebutuhan manusia. 

Namun sayang, laut mulai diperselisihkan saat ini. Duta Besar Cina dan Perwakilan Tinggi Australia untuk India terlibat perdebatan sengit di Twitter tentang sengketa Laut China Selatan. Twitter itu bermula ketika Australia membela Amerika Serikat (AS) yang baru-baru ini menolak klaim sepihak Cina atas 90 persen wilayah Laut Cina Selatan. Melalui surat kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada pekan lalu, Australia menganggap klaim Cina atas perairan itu tak memiliki basis hukum (CNN Internasional, 02/08/2020).

Perselisihan ini bukan pertama kalinya kedua negara berhadapan di Laut Cina Selatan. Pada 2014, Cina mengoperasikan anjungan minyak laut Haiyang Shiyou 981 di perairan yang disengketakan di Kepulauan Paracel. Dinamika geopolitik di wilayah ini terus terjadi. Terakhir, Kementerian Luar Negeri Vietnam menyatakan bahwa dua kapal Tiongkok menyerang kapal nelayan mereka pada Rabu pekan lalu. Mereka menyita peralatan dan hasil tangkapan nelayan Vietnam di Laut Cina Selatan.

Sampai saat ini, baik Cina dan Amerika sama-sama masih terlibat dalam perang urat syaraf baik dalam politik internasional dan aksi unjuk kekuatan militer. Dalam berita VIVA Militer sebelumnya, latihan tempur Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA) yang digelar awal Juli lalu mendapat kecaman dari Kementerian Luar Negeri Amerika. Untuk kesekian kalinya, Menteri Luar Negeri Amerika, Mike Pompeo, menyatakan bahwa aksi Cina di Laut Cina Selatan adalah sebuah pelanggaran berat hukum internasional. Cina dianggap Amerika dan Pompeo memang sengaja melakukan kampanye militer, untuk mencapai ambisi membangun "kerajaan maritim" di wilayah itu (VIVA.co.id, 01/08/2020).


Situasi Laut Cina Selatan (LCS) hingga kini kian memanas. Cina dengan tegas ingin berkuasa di LCS, Amerika Serikat yang didukung Jepang dan Australia akan mati-matian untuk mencegah penguasaan secara sepihak itu. Salah satu negara ASEAN, yakni Filipina terang-terangan menyerah jika harus perang melawan Cina untuk memperebutkan batas lautnya yang masuk dalam klaim Beijing.

Isu Laut Cina Selatan memang kerap menjadi ganjalan relasi Cina dengan negara-negara di Asia Tenggara. Namun, sejauh ini Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya berupaya menghindari isu tersebut lantaran memiliki hubungan diplomatik dan ekonomi yang cukup erat dengan Tiongkok.

Menteri Luar Negeri, Retno Lestari Priansari Marsudi mengatakan Indonesia tetap konsisten menghormati Konvensi Hukum Laut Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS) sebagai panduan dalam sengketa di Laut China Selatan (LCS).

Sikap Indonesia sebagai negeri muslim terbesar semestinya aktif memobilisir kekuatan negara  Kawasan (ASEAN) untuk menentang  AS-Cina yg melakukan pelanggaran kedaulatan lautnya. Sikap ‘netral’ dengan menghormati perjanjian UNCLOS menunjukkan kelemahan menjaga kedaulatan, karena terkungkung konvensi internasional yang dibuat negara penjajah.

Ketika dunia Islam seiring dengan absennya otoritas negara inti dalam Islam yakni setelah runtuhnya Khilafah Usmani tahun 1924, diikuti keterpecahan umat menjadi banyak negara bangsa akibat paham nasionalisme, ditambah hegemoni kapitalisme demokrasi yang menjadi tata dunia hari ini. 

Sesungguhnya jika kita mau kembali kepada Islam, maka sangat jelas apa yang seharusnya dilakukan. Dalam Islam, menjaga keutuhan wilayah adalah wajib. Jadi sudah saatnya negeri ini melepaskan seluruh ketergantungan pada Cina dan negara-negara lainnya, termasuk Amerika, sehingga menjadi negara yang mandiri, tidak bergantung pada negara lain.

Mengelola sendiri kekayaan alam yang melimpah ruah, menjamin keamanan rakyatnya sendiri. Meski hal ini memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh perjuangan yang luar biasa.

Terlebih lagi, negeri Tirai Bambu ini mengusung ideologi selain Islam, maka lawannya juga harus berupa ideologi, yaitu Islam yang secara kaffah diterapkan oleh Negara Khilafah, daulah khilafah Islamiyah.

Tegaknya Daulah Islamiyah merupakan kewajiban dari Allah dan juga merupakan warisan Rasulullah saw. dan dilanjutkan oleh para sahabatnya. Dan pernah ditegakkan selama kurang lebih 13 abad menjadi rahmat bagi seluruh alam. Bahkan, non muslim pun mendapatkan rahmat-Nya pula dan itu semua diakui oleh dunia. Khilafah pun menjadi negara adidaya yang ditakuti dan disegani.

Wallahualam bissawab.(*)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.