Header Ads


Potret Kendari: Sekeluarga Memulung Buah Kapitalisme

 

Oleh: Irayanti S.AB (Relawan Media)


"Kalau dibilang cukup, ya dicukup-cukupkan saja buat kebutuhan sehari-hari."

Begitulah perkataan Mira (38) seorang pemulung yang di kutip dari Telisik.id (09/08/2020). Si Ibu tersebut mendorong gerobak bersama empat orang anaknya menyusuri bak-bak sampah dan mengais botol plastik bekas di seputaran Kantor Gubernur Sulawesi Tenggara. Mira dan anak-anaknya sudah terbiasa menghabiskan waktu di jalanan. Warga Nanga-nanga, Kelurahan Mokoau, Kecamatan Kambu, Kota Kendari ini, menyusuri bak-bak sampah di Kota Kendari demi sesuap nasi dan demi biaya sekolah anak-anaknya.

Memulung Harap

Bekerja memulung telah mereka lakukan sejak bertahun-tahun silam. Dimulai sejak awal pagi hingga siang, bahkan kadang sampai malam menjelang. Bu Mira memiliki empat anak perempuan yang masih belia. Anak sulung baru berusia 15 tahun. Adiknya 11 tahun, 8 tahun dan si bungsu 6 tahun. Mereka bukan tak ingin hidup normal seperti anak-anak lain, yang bisa bebas bermain tanpa terbebani biaya hidup. Tapi anak-anak itu tahu betul perjuangan kedua orangtuanya agar mereka bisa tetap makan.

Sampah hasil memulung setiap seminggu sekali yang ditimbang, harganya kurang lebih dua ratus ribu rupiah, Bisa dipastikan, nilai itu tidak akan cukup untuk menutupi kebutuhan hidup dengan anggota keluarga yang begitu banyak meskipun ditambah dengan penghasilan suaminya yang juga pemulung. Dengan kondisi yang sangat memprihatinkan itu, mereka tetap tegar menyongsong hari esok.

Gurat penderitaan di wajah mereka yang ditutupi senyum pastinya menyimpan harap. Yakni harapan akan kehidupan yang sejahtera kapan menyongsong. Mereka sejatinya bukan hanya memulung sampah namun sekaligus memulung harap di ibu kota provinsi yang terkenal dengan melimpahnya SDA dan banyaknya pengelolaan tambang.

Jerat Kapitalisme

Di Kota Kendari di beberapa ruas jalan masih banyak didapati para pemulung. Mereka berlomba mengais sampah demi sesuap nasi sebelum sampah-sampah itu diangkut oleh petugas kebersihan pada pagi hari. Para pemulung tersebut bukan saja terlihat pada hari-hari besar seperti saat ramadhan, tetapi memulung telah menjadi pekerjaan rutinitas mereka. 

Sayangnya, sebagian orang menganggap keadaan memulung tersebut akibat orang-orang itu tidak berpendidikan sehingga tidak memiliki pekerjaan yang layak. Tapi jika kita runut benang merahnya, maka akan berlanjut pada kata kemiskinan sehingga mereka tidak berpendidikan. Jika begitu, maka benang merahnya semakin kusut. Jika kita berpikir, kondisi tersebut diakibatkan negeri kita sistemnya kapitalisme walau diteriakan pancasila. Ini dibuktikan SDA yang seharusnya dikelola, dimiliki negara bisa menjadi milik swasta bahkan asing.

Kondisi ekonomi rakyat di dalam sistem kapitalis tidak akan pernah merasakan kesejahteraan. Kebutuhan pokok adalah kebutuhan yang menjadi beban hidup masing-masing rakyat. Peri'ayaahan (pengurusan)pemerintah dalam mengelola kebutuhan pokok sangat jauh dari kata cukup karena orientasi negara dalam sistem kapitalis bukan sebagai pelayan kebutuhan rakyatnya melainkan sebagai regulator dan wasit dalam penyedia kebutuhan. Walhasil, akan banyak didapati rakyat yang hidup berada dalam kekurangan dan kelaparan, meski hasil pertanian, laut dan sumber daya alam lainnya melimpah ruah seperti halnya di Sulawesi Tenggara.

"Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin". "Orang yang tidak berduit akan kalah dengan yang berduit" 

Kapitalisme vs Islam 

Masalah pemulungan merupakan satu masalah dari banyaknya masalah buah dari kapitalisme. Maka tidak pas jika menyelesaikannya sekedar sesama individu ataupun dengan bantuan kelompok sosial kemasyarakatan/kemanusiaan saja, tapi butuh peran negara. Karena negara adalah institusi tertinggi yang menjadi pelindung, penjaga, pengayom bahkan pelayan rakyat yang berada di dalamnya. Sehingga penuntasan masalah pemulung akibat kemiskinan bisa dituntaskan. 

Saat ini sebagian besar orang mengartikan masyarakat dengan pandangan kapitalisme, yakni masyarakat adalah kumpulan individu. Alhasil jika urusan individu selesai, maka selesai pula urusan masyarakat. Dengan kata lain kesejahteraan satu individu telah mewakili individu yang lain. Sehingga hal tersebut dapat melahirkan individu yang bebas berbuat sebagaimana kapitalisme diidentik dengan kebebasan dalam kepemilikan umum jika memiliki uang.  Dari sinilah kapitalisme bisa dinamakan juga individualisme. Menjadikan yang kaya semakin kaya, yang miskin mengurusi dirinya sendiri. Pemerintah hanya wasit pengawas kebebasan.

Ciri suatu negeri dikatakan menganut sistem kapitalisme bisa kita lihat dari terpisahkannya aturan agama dengan kehidupan (sekulerisme) yang mana menjadikan manusia membuat peraturan sendiri tentang kehidupan. Karenanya peraturannya diambil dari realita kehidupan manusia dan dibuatlah aturannya sendiri. Sayangnya, kapitalisme syarat dengan unsur kepentingan dan hawa nafsu sehingga negara bisa dikendalikan dan dikuasai oleh orang-orang yang memiliki modal atau harta  (kapital) serta membuat peraturan bukan demi kepentingan rakyat.

Ini berbeda halnya dalam sistem Islam, negara berperan sebagai pelayan kebutuhan rakyatnya. Negara bertanggungjawab terhadap urusan masyarakat yang terdiri dari manusia, pemikiran, perasaan dan peraturan yang satu. Teknis pelaksanaannya dijalankan oleh negara dengan adil karena berlandaskan hukum syara dengan dorongan ketakwaan kepada Allah sebagai konsekuensi keimanan dan kesadaran diri sebagai mahluk ciptaan-Nya. Negara menjadi pengurus urusan rakyat. Bahkan ketika ada rakyat yang tidak memiliki pekerjaan akan disediakan lapangan pekerjaan. Sumber daya alam atau kepemilikan umum pun tidak akan diberikan kepada swasta dan asing begitu saja karena itu adalah milik rakyat yang digunakan untuk kesejahteraan rakyat.

Realita Islam mampu menyejahterakan telah terbukti pada masa kekhilafahan Harun Ar Rasyid yang menjadikan rakyat dalam negara Islam sejahtera hingga tidak ada yang bisa diberikan zakat. Pada masa khalifah Umar bin Khattab, beliau melakukan sidak malam hari lalu menemui seorang ibu yang memasak batu agar anak-anaknya tertidur karena kelaparan. Lalu khalifah Umar bergegas ke baitul mal memanggul sendiri gandum untuk rakyatnya. Betapa kepemimpinan mereka dengan aturan Islam membuat mereka takut jika ada rakyatnya yang tidak sejahtera. Bukankah kita merinduinya pula?

Maka sudah seharusnya kita memilih Islam dan kembali ke Islam sebagai jawaban untuk segala permasalahan negeri kita ini sekaligus konsekuensi atas keimanan kita. Tentunya hanyalah negara bersistemkan Islam yakni khilafah yang bisa.

Wallahualam bissawab.(*)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.