Header Ads


Membangun Dinasti, Menyuburkan Oligarki

Oleh: Sartinah (Relawan Media dan Opini, Member AMK)


Pilkada tahun ini tak seperti biasannya karena bertepatan dengan merebaknya pandemi Covid-19. Namun, dimomen Pilkada yang tinggal hitungan bulan, justru menyeruak isu politik dinasti. Hal ini lantaran para calon yang bertebaran tersebut berasal dari anak, keponakan, menantu, dan sanak keluarga para pejabat negara.

Salah satunya yang dilakukan oleh PDI-P dengan  mengusung putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon wali kota di pemilihan kepala daerah (pilkada) kota Solo tahun 2020. Fakta tersebut tak pelak memantik reaksi dari sejumlah pihak yang menganggap hal tersebut akan menumbuhkan politik dinasti.

Pengamat politik dari Universitas Al Azhar, Ujang Komarudin mengatakan bahwa Indonesia saat ini memang sedang diwarnai fenomena oligarki dan dinasti politik yang menguat. Tak hanya di level nasional, dinasti politik ini juga terjadi pada politik di tingkat daerah. Menurutnya lagi, hal ini akan berbahaya bagi proses demokratisasi. Demokrasi bisa dibajak oleh kekuatan oligarki dan dinasti politik. (akurat.co, 19/7/2020)

Meski diterpa isu politik dinasti, nyatanya pencalonan kepala daerah yang berasal dari keluarga para pejabat tetaplah legal. Hal ini sesuai dengan aturan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Pasal 7 huruf (r) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah.

Politik dinasti dan oligarki terus saja  membersamai perjalanan demokrasi di negeri ini, bahkan dunia. Politik oligarki yang dibangun Parpol berkuasa dan politik dinasti yang dilakukan individu penguasa adalah keniscayaan dalam demokrasi. Terlebih, dalam sistem yang menihilkan aturan Allah, tak ada larangan bagi keluarga pejabat untuk mengikuti kontestasi pilkada. Selama dilakukan melalui mekanisme pemilihan, maka hal itu pun sah-sah saja. 

Demokrasi merupakan sistem berbiaya mahal yang membutuhkan dana selangit demi duduk di kursi kekuasaan. Pemenang dalam kontestasi pun ditentukan melalui suara terbanyak. Banyaknya suara dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik dengan menggelontorkan dana besar, ketenaran para kontestan, ataupun pengaruh jabatan yang sedang dimiliki.                                                                                                                                                                                                                                                                Mirisnya, meski demokrasi mengikrarkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, tetapi pada praktiknya kedaulatan hanya menjadi milik segelintir elit dari penguasa. Pun, filosofi demokrasi 'dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat' hanyalah doktrin ilusi yang tidak tampak wujudnya dalam kehidupan. Rakyat hanya dijadikan sebagai alat yang memiliki otoritas untuk memilih wakilnya saja. Namun setelah berkuasa, pembelaan terhadap rakyat hanya dilakukan setengah hati bahkan kerap diabaikan. 

Maka dapat dikatakan, politik dinasti menjadi  salah satu hasil mutlak dari sistem demokrasi, bukan sekadar anomali dari praktik demokrasi. Selama demokrasi masih terus dipertahankan, niscaya politik dinasti berpotensi tetap tumbuh subur bak jamur di musim penghujan. Untuk mematahkan dan menghapus maraknya politik dinasti, maka diperlukan sebuah sistem yang mampu menyelesaikan problem tersebut, yakni sistem Islam.

Sebagai agama kamil dan syamil, Islam memiliki seperangkat aturan multidimensi dalam mengatur hidup manusia, termasuk kriteria dalam memilih seorang pemimpin. Seorang pemimpin diangkat dengan syarat yang telah ditentukan oleh syariat dan mendapat dukungan nyata dari umat.

Di samping ketakwaan dan ketundukannya pada syariat, pemimpin juga harus tampak kapasitasnya dalam mengurusi seluruh urusan rakyat. Jika demikian, maka mustahil orang akan berlomba-lomba menjadi seorang penguasa. Sebab mereka mengetahui beratnya konsekuensi yang harus dipikul.

Jika demokrasi meletakkan kedaulatan di tangan rakyat, maka berbeda halnya dengan Islam. Dalam Islam kedaulatan berada di tangan syara. Sementara, penguasa (khalifah) ditunjuk untuk menerapkan hukum syariah Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Kemudian khalifah pun menunjuk wali dan amil untuk memerintah di wilayah tertentu, serta mu'awin tafwidh sebagai pembantu khalifah. Karenanya, dalam Islam tidak ada kekuasaan legislatif.

Sementara itu, metode pengangkatan khalifah pun telah ditetapkan oleh syariat, yakni baiat dari umat. Meski kedaulatan di tangan syara, tetapi kekuasaan tetap milik umat. Artinya, umat merupakan pemilik hak dalam memilih kepala negara/khalifah yang akan menjadi penanggung jawab terhadap seluruh urusan mereka. Seorang pemimpin/khalifah pun harus memenuhi syarat in'iqad yakni, muslim, laki-laki, balik, berakal, adil, merdeka, serta mampu (amanah).

Dengan demikian, terpilihnya seorang pejabat atau penguasa bukanlah musabab koneksi, kekayaan, ataupun jabatan yang dimiliki. Namun, seorang penguasa yang mampu menerapkan seluruh syariat Allah dan pengatur urusan rakyat. Pun, dengan penerapan Islam secara kafah, praktik-praktik politik dinasti dan oligarki tak memiliki ruang untuk tumbuh dan berkembang.

Wallahualam bissawab.(*)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.