Header Ads


SERTIFIKASI DA’I VERSI POLITISI VS ULAMA PEWARIS NABI

Oleh Wahyudi al Maroky (Dir. PAMONG Institute)


Dimusim pandemi ini rezim Jokowi berencana menggelar sertifikasi da’i. Melalui menteri Agama, disampaikan bahwa program dai/penceramah bersertifikat akan segera digulirkan.


"Kemenag pada tri wulan ketiga ini akan punya program dai bersertifikat. Ini sudah dibahas bersama dalam rapat dengan Wapres," kata Fachrul dalam keterangannya dikutip dalam situs Kemenag, Kamis (13/8). (cnnindonesia.com).


Rencana tersebut mendapat penolakan tegas dari MUI. Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (Waketum MUI) Muhyiddin Junaidi bersikap tegas terhadap wacana sertifikasi ulama yang digaungkan pemerintah. Muhyiddin menyatakan, MUI tak setuju dengan pemerintah atas kebijakan itu.


"MUI menolak tegas rencana Kemenag tentang sertifikasi para dai/penceramah guna menghindari paham radikal," tegas Muhyiddin pada Republika, Senin (7/9).


Muhyiddin memandang kebijakan sertifikasi ulama tergolong kontra produktif. Ia khawatir, kebijakan tersebut berpeluang dimanfaatkan demi kepentingan rezim yang tak suka pada ulama lurus dan kritis.


"Cenderung sangat mudah disalahgunakan oleh pemerintah dan pihak yang anti kritik kebijakan pemerintah, yang zalim dan melanggar hukum," tegas Muhyiddin.


Muhyiddin mengungkapkan bahwa sudah ada kasus beberapa penceramah tanpa sertifikat tak diizinkan berceramah. Padahal mereka punya kapasitas yang sangat bagus dalam tugasnya sebagai penyampai ajaran Allah. Atas dasar temuan ini, Muhyiddin mengajak pemerintah duduk bersama ormas Islam membahas nasib kelanjutan sertifikasi ulama. Yang konon program tersebut melibatkan banyak pihak seperti Lemnahas, BPIP, BNPT, MUI.


Atas polemik tersebut, penulis mencoba memahami dalam empat perpekstif:

PERTAMA; perspektif ulama. Sertifikat dimata ulama tidaklah begitu penting. Ulama itu pewaris para nabi dalam berdakwah. Ia mendapat sertifikat langsung dari Allah SWT. Ilmu dan amalnya bukan karena selembar kertas bernama sertifikat.


Gelar sebagai Ulama pun bukan karena selembar sertifakat. Namun sebutan ulama itu karena amal dan karyanya. Karena ilmu dan amalnya itulah ia disebut orang alim yang beramal sholih sehingga digelari sebagai ulama.


Di sisi lain dakwah menyampaikan amar makruf nahi munkar itu wajib dilakukan oleh setiap muslim. Bukan karena menyandang selembar sertifikat. Tapi karena memang diwajibkan oleh Allah SWT. Muslim yang baik ia akan dakwah sembari menambah ilmu dan memperbaiki amalnya. Bukan sekedar kaeena selembar sertifikat.


KEDUA; Bagi Politisi, sertifikat itu begitu penting. Dalam perspektif politik, selembar sertifikat merupakan sesuatu yang sangat berharga. Bahkan harganya bisa jutaan atau Milyaran rupiah. Hal itu bisa kita saksikan apa yang terjadi menjelang pilkada 2020 ini. Banyak poliitisi yang mengejar selembar rekomendasi (sertifikat) dari partai untuk sekedar bisa mendaftar sebagai Calon Kepala Daerah.


Dengan bermodal selembar sertifikat atau rekomendasi atau ijazah atau apa pun namanya itu, sang politisi bisa menyingkirkan lawan politiknya. Tak heran jika ia rela mengeluarkan biaya yang mahal untuk sekedar meraih selembar sertifikat.


KETIGA; Bagi Politisi yang sudah berkuasa, sertifikat itu juga penting. Paradigma politisi sekuler dalam memegang kekuasaan adalah bagaimana mempertahankan dan membesarkannya. Jika para politisi yang hendak berkuasa berburu sertifikat agar memenuhi syarat untuk berkuasa maka ketika berkuasa ia pergunakan untuk menjaga kekuasannya. Bahkan tak sekedar mempertahankan kekuasaan, ia pun akan berupaya memperbesar kekuasaanya.


KEEMPAT; Bagi Pengusaha, sertifikat juga begitu penting karena bisa menghasilkan uang. Selembar sertifikat bisa menjadi mesin uang, setidaknya untuk melancarkan usahanya dan menjaga agar usahanya bisa berjalan. Selanjutnya menjadi penting untuk mengembangkan usahnya agar jadi lebih besar.


Dalam sistem demokrasi yang super mahal kini, pengusaha dan penguasa (para politisi) sudah sulit dipilah. Pengusaha membutuhkan penguasa untuk melancarkan dan memperbesar usahanya. Di sisi lain, Peguasa memerlukan pengusaha untuk biaya politik guna meraih dan menjaga bahkan memperbesar kekuasaanya. Di titik inilah terjadi perselingkuhan Pengusaha dan Penguasa.


Bahkan kini sulit dibedakan mana pengusaha dan mana penguasa sebagai pejabat publik. Karena dalam negara demokrasi yang cenderung jadi negara korporasi, pengusaha sekaligus jadi penguasa. Juga penguasa sekaligus punya usaha.


Walhasil, Sertifikasi Da’i atau penceramah yang hendak dilakukan oleh politisi yang sedang duduk sebagai penguasa (pejabat publik), merupakan kebijakan yang aneh.
Sejak dulu tak ada sertifikasi da’i, negeri ini baik-baik saja. Wajar jika Ulama dan umat islam merasa terusik dengan rencana tersebut.

Para ulama pewaris nabi adalah orang yang paling takut kepada Allah. Mereka takut jika tak beramal sholih dan amat takut melanggar aturan Allah. Mereka juga takut jika tak menyampaikan kebenaran kepada Umat. Mereka diikuti umat karena ilmu dan amal sholihnya, bukan karena ada sertifikatnya.


Rencana sertifikasi itu memang turun dari keinginan politisi yang sedang berkuasa. Sangat sulit dihindari adanya aroma kepentingan politik rezim berkuasa untuk mengatur dakwah sesuai selera rezim. Lebih dari itu dugaan publik, adanya aroma kepentingan global yang mengidap islamophobia, yang menggunakan politisi lokal untuk menjalankan agenda global juga sulit dihindari.


Dengan modal sertifikasi itu, rezim dapat saja kelak membungkam para ustadz dan ulama yang hendak menyampaikan dakwah. Dalihnya mudah saja. Bisa dengan tidak diberi sertifikat atau jika sudah ada sertifikatnya dicabut saja dengan berbagai dalih. Semoga tak terjadi.


NB : Penulis pernah Belajar Pemerintahan pada STPDN 1992 angkatan ke-4, IIP Jakarta angkatan ke-29 dan MIP-IIP Jakarta angkatan ke-08.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.