Jaminan Keamanan Tiada, Transportasi Kita Telan Korban
Oleh : Nisa Revolter
Duka nestapa kembali hadir di bumi pertiwi. Air mata mengalir di wajah Indonesia tercinta. Awal tahun dibuka dengan insiden yang menambah sejarah kelam penerbangan Indonesia. Burung besi yang terbang itu telah menelan korban.
Pesawat Sriwijaya Air SJ 182 hilang kontak setelah 10 menit lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta. Berikutnya dikabarkan jatuh di perairan Kepulauan Seribu. Dengan ditemukannya kabel dan serpihan pesawat di sekitar perairan Pulau Laki dan Lancang pada sabtu (9/1) lalu. Pesawat itu membawa 62 orang penumpang, diantaranya beberapa awak kabin dan penumpang dewasa serta anak-anak.
Pesawat bernomor seri Boeing 737-500 telah berusia 26 tahun, sejak pertama kali beroperasi di tahun 1994. Melihat kejadian ini, pengamat melihat tak ada masalah dengan usia pesawat. Seperti yang disampaikan ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), Suryanto Cahyono, usia tak berpengaruh pada kelaikan pesawat untuk terbang, selama pesawat tersebut dirawat sesuai dengan regulasi yang berlaku (Kompas.com, 10/1).
Sebelum lepas landas, pesawat Sriwijaya Air hanya mengalami delay 30 menit. Itupun akibat hujan deras. Dan ketika terbang, kondisi pesawat dalam keadaan baik. Begitu yang disampaikan Direktur Utama Sriwijaya Air, Jeff Jauwena.
Jika Bukan Usia Layak, Dimana Letak Masalahnya?
Seorang praktisi hukum, Husendro, menyatakan setiap pesawat udara yang dioperasikan di Indonesia wajib mempunyai tanda pendaftaran, sebagaimana tertuang dalam Pasal 24 UU RI No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Dan salah satu syarat pendaftaran, pesawat udara tersebut harus memenuhi ketentuan persyaratan batas usia pesawat udara yang ditetapkan oleh Menteri Perhubungan. Seperti tertuang dalam Pasal 26 ayat 1 huruf c UU Penerbangan tahun 2009.
Namun setelah terjadi beberapa kali revisi peraturan menteri perhubungan (permenhub), bersamaan dengan penetapan keputusan menteri PM 27/2020 yang ditandatangani 13 Mei 2020, pembatasan usia pesawat untuk jenis transportasi penumpang atau niaga ditiadakan. Pencabutan permenhub sebelumnya dengan alasan untuk meningkatkan investasi di bidang penerbangan (Askara.co, 10/1).
Investasi Jalan, Tidak Penting Keamanan
Begitulah yang terjadi jika bertumpu pada investasi dan bisnis, peraturan pun bisa dilanggar. Bahkan bisa disesuaikan sesuai permintaan. Teringat dengan ucapan seorang politisi, pasal bisa dicari sesuai dengan pesanan dan bayarannya.
Watak kapitalisme tampaknya masih eksis bahkan semakin menunjukkan keganasannya. Tak ayal, industri penerbangan pun diambil kendali. Padahal di dalam burung besi tersebut mengangkut banyak penumpang. Puluhan nyawa bertaruh di dalamnya. Kapitalis tak peduli itu, nyawa tidak lebih penting daripada keuntungan dan materi.
Bukan saat ini saja, akibat dari buruknya pengurusan dan kelola industri penerbangan Indonesia, selama dekade terakhir, burung besi telah menelan banyak korban. 2014 silam Air Asia jatuh, lalu di akhir 2018 disusul Lion Air, dan saat ini kita mendengar Sriwijaya Air bernasib sama. Dalam satu dekade terakhir, kini tercatat 697 korban kematian (finance.detik.com, 11/1). Tidak heran, dunia mem-blacklist penerbangan Indonesia. Itu yang sudah dilakukan Uni Eropa pada 2007-2018. Luntur sudah kepercayaan kepada industri penerbangan Indonesia. Dengan jatuhnya Sriwijaya Air, tidak juga cukup menjadi bahan pelajaran bagi industri penerbangan kita. Jika begini terus, nyawa penumpang habis tergadai.
Islam Beri Jaminan Keamanan Transportasi
Jika kapitalisme lebih mementingkan ekonomi dan keuntungan. Menomorduakan keselamatan nyawa demi kepentingan investasi. Maka islam hadir memberikan solusi.
Islam sangat menghargai nyawa manusia, bahkan melebihi nilai bumi dan seisinya. Dalam islam, negara berperan penuh dalam melindungi dan melayani rakyat, termasuk keselamatan setiap nyawa rakyat. Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah, negara adalah raa'in (pengurus) dan junnah (pelindung) yang bertanggungjawab atas rakyatnya (HR. Bukhari). Sebab itu, negara akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat jika negara abai akan tugasnya tersebut.
Ketika mengambil dan menetapkan kebijakan, seorang kepala negara tidak menetapkan dengan hawa nafsu untuk menunjukkan eksistensi sebagai penguasa belaka, namun berlandaskan takwa. Atas dorongan perintah dari Allah dan Rasul-Nya semata. Demikian juga dalam pengelolaan fasilitas umum.
Misalnya saja, negara membangun sekolah untuk mengingatkan kepada orang agar taat kepada Allah, serta menciptakan generasi berimtak (iman dan takwa), bukan semata-mata menjadikan anak bangsa cerdas secara intelektual. Atau membangun mesjid, untuk mengagungkan Allah bukan untuk bermegah-megahan di dalamnya.
Begitu pula, membangun infrastruktur transportasi bukan agar bisa disebut negara maju atau negara berkembang dan bisa bersaing di mata dunia sekaligus meraup keuntungan, tapi untuk kepentingan rakyat, memudahkan aktivitas rakyat. Maka, perlu kiranya tata kelola wilayah dan kota diupayakan dapat ditempuh secara mudah tanpa perlu melakukan perjalanan jauh. Tak lupa pula, negara tetap melakukan pembaruan atau rekonstruksi berdasarkan teknologi mutakhir. Dengan begitu, transportasi umum tidak akan menelan korban jiwa lagi dan minim dampak kecelakaan.
Demikianlah islam dalam mengatur negara dan rakyatnya. Ketaatan sepenuhnya dalam menjalankan syariat islam mendorong negara untuk menerapkan kebijakan hanya untuk kepentingan rakyatnya, demi mewujudkan jaminan seluruh hak rakyat.
Wallahu a'lam bishshowab.(***)
Post a Comment