Mural Bernada Kritik, Rezim Sekuler Terusik
“Seni adalah argumen antara
apa yang tampak dan apa artinya.” (Brett Whiteley)
Begitupula yang terjadi di
tengah situasi pandemi covid-19, seni mural yang bernada kritikan menjamur di
Indonesia. Argumen para seniman yang tertuang dalam bentuk mural syarat akan
kritikan terhadap rezim mengusik publik. Mural yang merupakan medium seni untuk
berekspresi dan bersuara dihapus oleh aparat. Terdapat 4 mural yang dihapus
aparat, seperti yang dirangkum oleh detik.hot (19/08/2021)
Diantaranya Mural 'wabah
sesungguhnya adalah kelaparan' di Ciledug. Mural bergambar sosok mirip Presiden
Jokowi dan bertuliskan '404: Not found' yang berada di Batuceper, kota
Tangerang. Mural mirip Jokowi ini diperkirakan sudah ada sejak 9 Agustus. Mural
'dipaksa sehat di negara yang sakit' berada di Jalan Diponegoro, Bangil,
Pasuruan, Jawa Timur. Mural 'Tuhan, aku lapar' yang berada di tembok kawasan
Tigaraksa, kabupaten Tangerang. Semua mural dihapus dengan alasan tak berizin
juga konon melecehkan lambang negara bahkan senimannya di cari dan didatangi
oleh polisi.
Kontroversi Mural
Satu per satu seniman bersuara
mengenai penghapusan mural serta kriminalisasi yang marak terjadi. Termasuk
suara dari seniman visual, Anagard (pemenang kompetisi seni lukis tingkat Asia
Tenggara). Usai membuat mural bertulisan 'art is not a crime' di Yogyakarta, ia
menuturkan bahwa Indonesia belum merdeka kalau bersuara maupun mengkritik lewat
medium seni saja dibungkam. Ia menegaskan seni itu bukan kriminal dan mengajak
agar setop represi dan diskriminasi.
Sosiolog Universitas Negeri
Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun juga mengkritik tindakan aparat yang menghapus
mural berisi kritik sosial. Menurutnya, penghapusan mural itu merupakan bentuk
baru represi dan pembungkaman.yang bertentangan dengan prinsip-prinsip
demokrasi.
Mural itu sudah ada sejak dulu
bahkan sejak Orde Baru. Waktu itu menjadi bagian dari media untuk menyampaikan
kritik dan pendapat. Demokrasi memang diidentik dengan nilai kebebasan salah
satunya kebebasan berpendapat. Tindakan aparat yang sampai mengejar pembuat
mural bernada satire itu seperti mengejar penjahat. Alangkah baiknya mencari
koruptor kakap Harun Masiku saja.
Kritik dalam Demokrasi
Fenomena kritik sosial melalui
mural menunjukkan tanda-tanda bahwa protes melalui saluran lain telah banyak
dibungkam dan tidak lagi di dengar oleh pemangku kekuasaan. Mengkritik di media
sosial malah bisa terkena UU ITE dan berujung bui. Tapi komplotan pendukung
rezim seperti Abu Janda, Deni Siregar
dan masih banyak lagi para 'buzzerRp'
tak tersentuh hukum.
Adanya kritik sosial mural itu
adalah ekspresi dari aspirasi rakyat yang tersumbat. Pemerintah seharusnya
membuka ruang diskusi dan menuntaskan masalah rakyat dengan solusi dan edukasi.
Bukan malah menindaknya dengan bentuk represi dan intimidasi. Bukankah pak
presiden selalu mengatakan 'saya rindu di demo?'. Namun saat didatangi malah
selalu berpaling dari rakyat yang mengkritisi. Di mana konsistensinya?
Demokrasi sebagai produk dari
kapitalisme sendiri menjadikan keberadaan negara sebagai penjamin kebebasan.
Nyatanya, demokrasi sebenarnya hanya memberi ruang kebebasan berpendapat dan
mengkritik bila tidak mengganggu kelangsungan kursi penguasa dan tidak
mengancam eksistensi ideologi.
Sekulerisme sebagai asasnya
menjadikan manusia sebagai pembuat aturan yang mana syarat akan kepentingan
individu, kapitalis maupun kelompok. Jadi, meski sebuah kebenaran yang
disampaikan namun akan tetap didiskriminalisasi bila mengganggu kenyamanan
rezim apalagi sampai mengguncang eksistensi ideologi kapitalisme yang semakin
lumpuh menghadapi covid-19.
Islam Bolehkan Kritik
Berbeda dengan sistem hari
ini, Islam adalah sistem yang tidak anti kritik. Karena, Islam menganggap
setiap orang berhak menyampaikan pendapatnya termasuk mengkritik penguasa
sebagaimana yang dicontohkan oleh para khalifah saat berkuasa. Mereka menerima
dan mendengarkan kritikan dari rakyatnya dengan berpatokan syara.
Misalnya khalifah kedua, Umar
bin Khattab. Ia menerima kritikan seorang wanita yang mengkritiknya di depan
umum ketika beliau menetapkan batasan mahar bagi kaum wanita. Beliau (khalifah
Umar) berkata, Wanita ini benar dan Umar salah, setelah mendengarkan
argumentasi kuat Muslimah yang mengkritiknya dengan membacakan surat An-nisa
ayat 20.
Mengkritik penguasa di muka
umum hukumnya boleh dan tidak termasuk ghibah yang dilarang dalam Islam.
Berikut dalil yang menunjukkan tentang mengkritik, mengoreksi penguasa
(Muhasabah lil hukam) terhadap penguasa serta keutamaannya. Misalnya sabda Nabi
Shalallahu 'Alaihi Wassalam :
“Seutama-utamanya jihad adalah
menyampaikan kalimat yang haq kepada penguasa (sulthan) atau pemimpin (amiir)
yang zalim.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Hasan Al-Bashri (seorang
tab’in) juga berkata:
“Ada tiga orang yang boleh
ghibah padanya, yaitu; orang yang mengikuti hawa nafsu, orang fasik yang
terang-terangan dengan kefasikannya, dan imam yang zalim.” (Ibnu Abi Dunya,
Al-Shumtu wa Adabul Lisan, hlm. 337 & 343).
Memang ada ulama yang
mengharamkan mengkritik pemimpin secara terbuka berdasarkan hadis Ahmad,
Al-Musnad, Juz III no. 15369. Namun menurut KH. Muhammad Shiddiq Al Jawi
seperti dirilis MuslimahNews.com, hadis tersebut dha’if (lemah) sehingga tidak
boleh dijadikan hujjah (dasar hukum) karena dua alasan: (1) sanadnya terputus
(inqitha’), dan (2) ada periwayat hadis yang lemah, yaitu Muhammad bin Ismail
bin ‘Ayyaasy. (M. Abdullah Al-Mas’ari, Muhasabah Al-Hukkam, hlm. 41-43). Wallahu
a’lam(***)
Post a Comment