Header Ads


“Tunggu dan lihat”: Siapapun Pilihannya, Sistemnya Tetap Demokrasi?


Nurhidayat S., (Praktisi Pendidikan)

 

Pemilihan Umum Presiden (Pemilu) kembali menjadi buah bibir. Hampir setiap lini tak luput dibahasnya. Bagaimanapun, hal ini erat kaitannya dengan harapan besar yang dinanti oleh setiap yang menginginkan kemaslahatan dan kesejahteraan hadir lalu benar-benar terwujud.

 

“Sudah di depan mata, tapi belum dipinang”. Begitu kiranya kiasan yang tepat untuk menggambarkan sikap beberapa partai politik yang sudah menunjukkan pandangan-pandangan dan rencana politiknya kepada khalayak. Sebagai contoh, Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Aboe Bakar Al-Habsyi mengatakan bahwa PKS masih terbuka kepada siapa saja tokoh calon presiden (capres) untuk didukung Pilpres 2024. Menurut Aboe, PKS membantah jika dinilai orang cenderung mendukung Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sebagai capres. "PKS wait and see sampai sekarang. Kita tunggu sampai ada perkembangan yang menarik. Enggak (cenderung mendukung Anies) enggak ada, enggak ada," kata Aboe dalam wawancara yang dikutip dari YouTube Tribun Network, Senin (13/6/2022).

 

Ia juga mengatakan bahwa saat ini PKS PKS menunggu hingga ada perkembangan yang menarik sementara politikus PDIP yang sedang menjabat sebagai gubernur Jawa Tengah juga menjadi sorotan pasalnya hasil survei Charta politika terbaru menunjukkan bahwa Gubernur Jawa Tengah Ganjar pranowo berada pada posisi teratas elektabilitas tokoh yang digadang sebagai calon presiden namun beberapa anggota partai yang Bahkan berasal dari partainya sendiri memberikan pertanyaan trimedia anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempertanyakan kinerja Ganjar selama 8 tahun menjabat menjadi gubernur Jawa Tengah selain bermain media sosial

 

 



Seperti Iklan Saja, Siapapun… dan Demokrasi?.

 

Udara berisi pujian dan semerbak wangi nama demi nama kian merebak di bumi Pertiwi. Hiruk-pikuk pencalonan pemilu presiden 2024 mendatang tak terbendung. Mulai dari ramainya isu tiga periode, sampai kawal figur tertentu untuk kesuksesan pesta demokrasi yang dinanti.

 

Pemilu dalam sistem demokrasi membebaskan rakyat untuk memilih pemimpin tanpa batasan apa pun, termasuk agama. Semua partai atau pihak memilih calon yang bisa memenangkan kontestasi tanpa peduli apakah calon yang diusung berada dalam kebenaran, memiliki kapasitas dan komitmen terhadap rakyat apalagi terhadap Islam. Lebih sayang lagi, secara empiris dibuktikan bahwa pihak yang bisa memenangkan kontestasi pemilu hanya calon yang didukung kaum kapitalis dan dana yang sangat besar.

 

Pemilu hanyalah kontestasi yang musti dimenangkan. Apa dan bagaimanapun, yang jelas jalan yang ditempuh tetap demokrasi. Dalam pemilu demokrasi, partai politik akan berkoalisi membentuk satu suara untuk memenangkan kandidatnya. Jika jumlah partai koalisi saat ini yang menguasai parlemen mencapai persentasi tertinggi, maka akan sangat pasti kendali kepemimpinan, kebijakan, aturan dan sebagainya ada di tangan mereka. Dan bukan lagu lama, fenomena bergabungnya oposisi di dalam koalisi bisa kembali terjadi, karena memang demokrasi berasaskan manfaat dan kepentingan. Rakyat hanya dibutuhkan saat merebut kompetisi pemilu. Setelah pesta usia, rakyat siap-siap menjalani beban dan keputusan hukum yang ada. Rakyat diabaikan, ini dzolim!.

 

Demokrasi adalah sebuah sistem yang menjadikan pertimbangan halal dan haram tak layak untuk menjadi pilihan dalam menjalankan ketatanegaraan. Memilih calon yang layak dan benar pun dalam sistem ini sebuah kemustahilan, sebab sistem ini hanya akan memenangkan siapa yang dapat melanggengkan tampuk kepemimpinan demokrasi. Alhasil, fitrah bawaan politik demokrasi selalu berputar pada pembahasan koalisi, jatah kursi, kontestasi dan kepentingan ingin diraih yang diraih.

 

Siapapun?, ya benar. Sekalipun calon yang diusung berasal dari latar belakang yang baik, punya kapabilitas yang mumpuni, dipuji dan dikagumi. Saat sudah duduk di tampuk kepemimpinan, tugas dan kewajibannya adalah meneruskan draf agenda demokrasi selanjutnya bukan?. Pemimpin yang terpilih adalah untuk menjalankan dan melaksanakan hukum dan aturan buatan manusia. Lalu, apa yang diharapkan dari sebuah pemilu dalam sistem ini?. Jika yang baik pun, belum tentu benar yang diperjuangkan.

 

Pemimpin Dalam Islam, Bagaimana?

 

Dalam kitab Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah juz II bab “Syarat-Syarat Khalifah”, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan bahwa seorang khalifah wajib memenuhi tujuh syarat agar ia berkompeten memangku berbagai tugas ketatanegaraan (kekhalifahan) dan agar baiat pengangkatan dapat dilakukan. Tujuh syarat tersebut adalah muslim, laki-laki, balig, berakal, adil, merdeka, dan mampu mengemban tugas-tugas kekhalifahan.

 

Dalam sistem Khilafah, khalifah dipilih bukan untuk menjalankan keinginan dan hukum manusia, tetapi untuk menjalankan hukum Allah Swt. Kewajiban seorang penguasa (al-hukkam) adalah menerapkan syariat Islam semata (lihat QS Al-Maidah [5]: 48, 49). Haram hukumnya penguasa menjalankan hukum yang bukan syariat Islam (lihat QS Al-Maidah [5]: 44, 45, 47). Oleh sebab itu, pemilu dalam sistem Islam sebagai wasilah memilih pemimpin yang akan menjalankan syariat Islam. Islam juga menjadikan halal/haram sebagai standar dalam menjalankan proses pemilihan. Tidak akan terjadi politik kotor, curang, atau manipulatif karena setiap aktivitas berlandaskan pada keimanan. Tampuk kekuasaan bukanlah sarana meraih materi duniawi, melainkan untuk menerapkan hukum Allah demi meraih ridha dan jannah-Nya.

 

Dalam Islam, pemimpin atau penguasa adalah pelindung rakyat dan orang-orang yang dipimpinnya. Ia bertanggung jawab atas rakyat yang ia pimpin, kelak pada hari kiamat ia akan dimintai pertanggungjawaban atas amanah kepemimpinannya itu. Rasulullah saw. bersabda,“Imam adalah raa’in (penggembala) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Bukhari. Dan juga,“Sesungguhnya imam (khalifah) itu perisai yang (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya.” (HR Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud)

 

Kepemimpinan dalam Islam dipahami sebagai tanggung jawab dunia dan akhirat. Seorang pemimpin di dunia bertanggung jawab atas nasib rakyatnya. Ia wajib menjaga akidah rakyatnya supaya tetap dalam tauhid dan ketakwaan pada Allah Swt. Ia juga wajib memelihara agar urusan sandang, pangan, dan papan rakyatnya bisa tercukupi. Demikian juga kebutuhan kolektif mereka, seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan terjaga. Ia juga paham bahwa tanggung jawab mengurus urusan rakyat ini akan dimintai pertanggungjawabannya hingga ke akhirat. Rasulullah saw. menegaskan, “Tidaklah seorang manusia yang diamanati Allah untuk mengurus urusan rakyat lalu mati dalam keadaan ia menipu rakyatnya melainkan Allah mengharamkan surga baginya.” (HR Bukhari)

 

Seluruh kekuasaan dalam Islam ditujukan untuk menegakkan hukum Allah Taala dan amar makruf nahi mungkar. Sistem pemerintahan dalam Islam tidak hanya efektif dan efisien, melainkan juga menutup peluang lahirnya pemimpin diktator, sewenang-wenangan, dan dominasi kekuasaan oleh kelompok tertentu. Rakyat maupun penguasa tidak punya hak untuk membuat hukum yang lazim digunakan untuk memaksa orang lain. Untuk menghindari terjadinya penyimpangan, Islam pun memiliki mekanisme pengangkatan pejabat negara yang jitu. Tersisa satu permasalahan lagi, seperti apa sosok pemimpin ideal dalam pandangan Islam?

 

Seorang pemimpin ideal harus mampu melindungi dan mengayomi rakyatnya karena ia adalah perisai bagi rakyatnya. Sosok pemimpin ini dijelaskan dalam kitab As-Siyâsah asy-Syar’iyyah. Imam Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa kekuasaan memiliki dua kriteria utama: kekuatan (al-quwwah) dan amanah (al-amanah).Yang dimaksud “al-quwwah” adalah kapabilitas dalam semua urusan, baik dalam urusan peperangan, pemerintahan—yang terwujud pada kapasitas ilmu dan keadilan—serta kemampuan dalam menerapkan syariat. Adapun “al-amanah”, direfleksikan pada takut kepada Allah Taala, tidak menjual ayat-ayat-Nya dengan harga murah, dan tidak pernah gentar terhadap manusia.

 

Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan bahwa seorang pejabat negara harus memiliki tiga kriteria penting, yakni al-quwwah (kekuatan aqliyah dan nafsiyah), at-taqwa (ketakwaan), dan al-rifq bi ar-ra’iyyah (lembut terhadap rakyat). Pejabat negara harus memiliki kekuatan aqliyah dan nafsiyah. Selain harus memiliki kekuatan akal yang memadai, seorang pemimpin juga harus memiliki pola sikap kejiwaan yang baik, sabar, tidak emosional, dan tidak tergesa-gesa. Ini semua akan menjadikannya mampu memutuskan kebijakan yang tepat dan sejalan dengan syariat Islam dan mampu melahirkan kebijakan-kebijakan cerdas nan bijaksana yang mampu melindungi dan menyejahterakan rakyatnya. At-taqwa adalah salah satu sifat penting yang harus dimiliki seorang pemimpin maupun penguasa.

 

Pemimpin yang bertakwa akan selalu berhati-hati dalam mengatur urusan rakyatnya. Pemimpin seperti ini cenderung untuk tidak menyimpang dari aturan Allah Taala. Ia selalu berjalan lurus sesuai dengan syariat Islam dan berusaha sekuat tenaga untuk menerapkan hukum-hukum-Nya. Ia sadar bahwa kepemimpinan adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban pada Hari Akhir kelak. Untuk itu, ia akan selalu menjaga tindakan dan perkataannya. Ar-rifq, yakni lembut terhadap rakyatnya, akan menjadikan pemimpin makin dicintai dan tidak ditakuti rakyatnya. Ia tidak akan pernah menyusahkan rakyatnya dan tidak menimbulkan antipati. Sebaliknya, ia menjadi pemberi kabar gembira dan dicintai rakyatnya.

 

Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa Aisyah ra. berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw. berdoa di rumah ini, ‘Ya Allah, siapa saja yang diserahi kekuasaan untuk mengurusi urusan umatku, kemudian ia membebaninya, maka bebanilah dirinya. Siapa saja yang diserahi kekuasaan untuk mengurus urusan umatku, kemudian ia berlaku lemah lembut, maka bersikap lembutlah kepada dirinya.’.” (HR Muslim). Diriwayatkan dari Abu Musa, dahulu Rasulullah saw. jika mengutus seseorang dalam suatu urusan, beliau bersabda, “Berilah kabar gembira dan jangan menimbulkan antipati. Mudahkanlah dan jangan mempersulit.”. Wait and see, yang benar adalah kepemimpinan khilafah ‘ala minhaj an-nubuwah. “Apapun masalahnya, solusinya ya sistem Islam.”

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.