Header Ads


Praktek Klientelisme Menyambut Pesta Demokrasi 2024


La Ode Manarfa Nafsahu, S.Ars*


Tidak berselang lama lagi, kita akan dipertemukan dengan pesta demokrasi pada tahun 2024. Dalam waktu 155 hari ke depan, para partai politik sedang mengepuyakan langkah strategis untuk memperebutkan jabatan politik dalam dua ranah, yaitu legislatif dan eksekutif, ditingkat lokal regional dan nasional. Namun, di balik proses kepentingan politik dari masing-masing partai politik yang berlomba untuk menduduki posisi di institusi legislatif dan yudikatif, terdapat risiko praktik klientelisme yang dapat terjadi. Praktik tersebut merupakan kegiatan yang melibatkan janji-janji bantuan individu atau imbalan langsung kepada pemilih dalam upaya memperoleh sejumlah dukungan politik. Bentuk-bentuk praktik semacam ini sudah menjadi bagian dari dinamika budaya dalam tubuh demokrasi, yang hampir tak terhindarkan setiap lima tahun atau kurang dari itu, dalam perjalanan prosesnya. Ini mendorong setiap individu dalam kelompok politik yang berpartisipasi dalam acara demokrasi untuk berusaha melakukan klientelisme, dengan tujuan memperoleh dukungan dari para patron (pemberi imbalan) dengan mengharapkan pertukaran yang menguntungkan.

Tetapi di balik itu semua, terdapat beberapa bahaya ketika masyarakat menganggap kegiatan klientelisme sebagai sesuatu yang harus dianggap normal. Praktik ini dapat memperkuat ketimpangan sosial, menciptakan ketergantungan yang merugikan, merusak prinsip keadilan hak-hak masyarakat, memicu korupsi, dan mengalihkan perhatian dari isu-isu strategis yang penting bagi masyarakat secara keseluruhan. Karena praktik semacam itu hanya akan menguntungkan sekelompok elit kecil, yang akan menikmati kekayaan dan hak istimewa yang diperoleh, sebagai hasil permintaan yang diajukan kepada masyarakat. Namun, penting untuk diingat bahwa ini bukanlah konsekuensi logis yang harus diterima oleh masyarakat secara pasif. Masyarakat seharusnya sadar akan dampak negatifnya dan meminta tindakan yang lebih adil, inklusif, dan transparan dalam sistem politik. Secara tegas, kami ingin menyatakan bahwa upaya untuk mendorong sikap yang lebih adil, inklusif, dan transparan dalam sistem politik dalam budaya demokrasi tidaklah mudah atau dapat diperoleh dengan cepat, kecuali bagi mereka yang beruntung secara finansial.

Meskipun tantangan ini nyata, penting untuk diingat bahwa ini bukanlah konsekuensi logis yang harus diterima oleh masyarakat secara pasif. Masyarakat seharusnya sadar akan dampak negatifnya dan meminta tindakan yang lebih adil, inklusif, dan transparan dalam sistem politik. Namun, perlu diakui bahwa mencapai perubahan signifikan dalam mengatasi praktik klientelisme dalam demokrasi tidaklah mudah, bahkan hampir sulit dicapai. Klientelisme telah menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika budaya yang erat terkait dengan sistem demokrasi itu sendiri. Tindakan yang menyimpang tersebut merupakan konsekuensi dari penerapan demokrasi yang memperkuat ambisi manusia untuk meraih dan mengumpulkan hak istimewa, dengan fokus pada mereka yang memiliki sumber daya finansial yang cukup atau lebih. Proses politik yang mahal dan bergantung pada konsep sosial kapitalisme, sebagai dasar sistem demokrasi, seringkali menciptakan celah teknis dalam kebijakan ekonomi yang mengatur pengelolaan dan distribusi kekayaan masyarakat. Dalam sistem ini, terkadang terjadi persaingan yang tak terbatas untuk mendapatkan hak istimewa berupa kedudukan yang memberikan akses kepada sejumlah kekayaan yang lebih besar. Dalam upaya untuk mencapai keuntungan materi yang maksimal, kelompok yang lebih kuat atau memiliki kekuatan finansial memiliki keunggulan dibandingkan dengan kelompok yang lemah.

Akibatnya, orang-orang yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik yang lebih besar cenderung mendapatkan keuntungan yang lebih besar dalam distribusi sumber daya dan peluang. Hal ini dapat menyebabkan ketimpangan sosial dan ekonomi yang semakin meningkat, dengan mereka yang berada dalam posisi yang lebih lemah menjadi terpinggirkan atau tidak mendapatkan akses yang adil terhadap kekayaan dan keuntungan yang dihasilkan. Beberapa contoh kasus klientelisme di Indonesia dan beberapa negara lainnya adalah praktik politik uang dalam pemilihan umum di Indonesia, sistem patronase atau "padrino system" di Filipina, praktik klientelisme yang dikenal sebagai "clientelismo" di beberapa negara Amerika Latin, politik pemilih kelompok atau "vote bank politics" di India, dan praktik politisi memberikan bantuan atau manfaat langsung kepada pemilih di Brasil.

Meskipun tantangan ini nyata, sangat penting untuk terus membangun kesadaran kolektif dan memperjuangkan sistem politik yang lebih inklusif, adil, dan transparan. Sementara, itu hanya ada pada sistem islam. Sistem politik Islam atau syariah Islam menjadi platform yang mampu menciptakan sistem politik yang inklusif, adil, dan transparan. Dalam bentuk pemerintahan Syariah Khilafah Rasyidah An-Nubuwwah, yang merupak prodak hukum Allah SWT yang diwariskan oleh manusia yang paling terpercaya, yaitu Rasulullah Muhammad SAW. Dalam sistem Islam, praktik politik yang tidak sehat hampir mustahil terjadi karena kekuasaan berada pada hukum Allah SWT. Manusia sebagai pelaku politik memiliki kewajiban untuk melayani kepentingan umum dan membangun kesadaran akan ketaqwaan pada kewajibannya menjalankan hukum-hukum Allah SWT. Proses pengangkatan jabatan politik, dimana jabatan politik ada pada khalifah dan untuk menjadi seorang khalifah atau sebagai kepala negara, memiliki persyaratan yang ketat. Calon harus menjadi seorang muslim yang beriman dan bertakwa (bukan munafik,fasik dan kafir), laki-laki, balig, berakal sehat, merdeka, dan mampu berbuat adil.

Dalam sistem Islam, jabatan politik dipegang oleh khalifah yang bertanggung jawab atas pelaksanaan hukum-hukum Allah SWT dalam mengurus urusan manusia-manusia yang dipimpin. Khalifah dibantu oleh orang-orang di bawahnya, seperti Mu’awin at-Tafwidh dan Wuzara’ at-Tanfidh, serta lembaga-lembaga struktural lainnya. Semua proses pengangkatan dan pemberhentian jabatan gubernur, walikota dan yang berada setingkat dibawahnya maupun di atasnya, dilakukan oleh khalifah berdasarkan Syariat Islam. Sedangkan terhadap khalifah apabila melakukan pelanggaran atas Syariah Islam, ia langsung diberhentikan dari jabatan-Nya oleh Mahkamah Mazhalim.

Dengan demikian, praktik-praktik seperti klientelisme atau tindakan korupsi yang merugikan hak-hak masyarakat sangat tidak mungkin terjadi dalam sistem Islam (Syariah Khilafah Rasyidah An-Nubuwwah). Wallahu a'lam bishawab.

*Pengurus Forum Intelektual Muslim Indonesia (FIMI) Wakatobi

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.