Header Ads


Dilema Hilirisasi Batu Bara: Berkah Korporasi atau Bencana bagi Rakyat

Ilustrasi area pertambangan 


Indonesia Neo, NASIONAL - Rekor tertinggi penanaman modal asing (PMA) pada tahun 2022 mencerminkan prestasi gemilang. Investasi yang lebih merata menjadi hasil dari dorongan hilirisasi industri. Sektor manufaktur terus memberikan kontribusi signifikan dengan meningkatnya investasi PMA di luar Jawa.

Pernyataan tersebut disampaikan oleh Sekretaris Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves Rifky Setiawan dalam acara Infrastructure Business Forum pada Main Event Sewindu Proyek Strategis Nasional (PSN) di Jakarta pada Rabu (13-9-2023).

Pemerintah berharap bahwa hilirisasi dapat menambah nilai komoditas, memperkuat struktur industri, dan membuka peluang usaha baru dengan penciptaan lapangan kerja. Tetapi, apakah harapan tersebut akan terwujud?

Hilirisasi tambang menjadi sorotan kritis dari Ekonom Senior Faisal Basri. Menurutnya, lebih dari 90% keuntungan hilirisasi mineral dinikmati oleh pihak asing, mengingat sebagian besar perusahaan smelter bijih nikel dimiliki oleh perusahaan Cina. Meskipun data United States Geological Survey (USGS) menunjukkan bahwa Indonesia memiliki cadangan nikel sebesar 21 juta metrik ton, pengerukan nikel diharapkan akan menguras cadangan tersebut dalam 13 tahun.

Di sisi lain, hilirisasi yang telah dilaksanakan oleh pemerintah belum berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Industri padat modal seperti pabrik smelter dan otomotif cenderung kurang memberikan dampak terhadap lapangan pekerjaan, karena cenderung menggunakan otomatisasi. Kebijakan hilirisasi komoditas utama tanpa menyertakan strategi industrialisasi menyebabkan risiko tinggi.

Harapannya, nilai ekonomi hilirisasi seharusnya sejalan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan wilayah. Namun, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa rasio penduduk miskin di Pulau Sulawesi dan Maluku mengalami kenaikan pada Maret 2023. Selain itu, dampak lingkungan yang merugikan mata pencarian penduduk lokal di sektor pertanian dan kelautan menjadi pertimbangan serius.

Berkah tampaknya datang bagi korporasi dalam pengembangan batu bara atau hilirisasi batu bara. Namun, kritik muncul terkait distribusi keuntungan. Pemerintah memberikan dukungan insentif dan regulasi besar kepada korporasi, seperti pengurangan royalti hingga 0%. Tetapi, kenyataannya, Indonesia belum sepenuhnya menguasai teknologi hilirisasi batu bara dan belum menerapkan teknologi "batu bara bersih" yang rendah karbon. Akibatnya, korporasi lebih diuntungkan daripada rakyat.

Bisnis batu bara telah berkembang pesat sejak awal 1990-an, terutama setelah sektor pertambangan batu bara dibuka kembali untuk investasi asing oleh Soeharto. Pada 2021, lima perusahaan batu bara terbesar di Indonesia dikuasai oleh keluarga Bakrie, Widjaja, Thohir, Sudwikatmono, dan Low Tuck Kwong. Oligarki seperti Aburizal Bakrie, Fuganto Widjaja, Sandiaga Uno, dan lainnya menguasai bisnis ini.

Penerbitan peraturan dan undang-undang seperti UU Minerba 2020 dan UU Cipta Kerja 2022 memberikan kemudahan investasi di sektor pertambangan. Namun, hal tersebut seakan-akan melupakan tanggung jawab pemerintah dalam pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) yang seharusnya untuk kemakmuran rakyat.

Pengelolaan tambang yang mengandalkan hilirisasi seharusnya mengikuti prinsip syariat Islam yang menekankan kepemilikan umum dan pengelolaan yang adil. Demokrasi yang memberikan kedaulatan kepada manusia, tidak sesuai dengan prinsip Islam. Dengan menerapkan sistem Islam kafah, diharapkan dapat memastikan keadilan dalam pengelolaan tambang dan menjadikan kesejahteraan rakyat sebagai fokus utama.[]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.