Header Ads


Karakter Ingkar, Mana Mungkin Taat Komitmen?


 Oleh: Rut Sri Wahyuningsih*)


IndonesiaNeo, OPINI - Ketua Kelompok Negosiator Iklim Afrika (AGN) yang juga sebagai utusan khusus iklim Kenya, Ali Mohamed mengatakan dunia tidak memiliki pilihan lain selain mendorong komitmen-komitmen iklim, meski Amerika Serikat (AS) keluar dari perjanjian penting internasional. Aksi iklim harus berlanjut mengingat ancaman yang ditimbulkan pemanasan global dan kemajuan yang telah dicapai untuk mengatasinya  dan tidak ada yang boleh mundur (republika.co.id, 5-4-2025). 

Apalagi menurut Mohamed,  sektor swasta sudah menggelontorkan banyak investasi untuk energi bersih yang lebih murah dari sumber energi tak terbarukan. Karena itu, sangat penting perekonomian berada dalam jalur adaptasi dan mitigasi. Sementara kesampingkan politik. Baik negara berkembang maupun kaya sudah merasakan dampak perubahan iklim. Menurutnya, pihak yang skeptis pada perubahan iklim akan mengubah sikap mereka pada akhirnya.

Mohamed menegaskan Afrika akan terus berusaha mengamankan prioritas pada pendanaan iklim dengan mengandalkan negara-negara lain seperti Prancis untuk mengatasi isu iklim. Afrika sendiri  ingin mengamankan pendanaan yang cukup untuk membangun sumber energi terbarukannya sendiri dan menyediakan lapangan pekerjaan untuk populasi muda.


Kapitalisme Hanya Berlandaskan Manfaat Bukan Komitmen

Sebagaimana kita tahu, sehari setelah pelantikannya, Presiden Donald Trump menarik AS keluar dari Perjanjian Paris dan berbagai kemitraan energi bersih internasional, termasuk dengan negara-negara Afrika seperti Afrika Selatan.

Amerika Serikat menarik diri dari Perjanjian Paris dan telah menandatangani perintah eksekutif dari perjanjian tersebut, karena berbagai alasan, terutama terkait dengan persepsi bahwa perjanjian tersebut memberatkan ekonomi AS dan tidak adil bagi negara tersebut. 

Presiden Trump menganggap perjanjian itu memberikan beban yang tidak proporsional pada AS, khususnya terkait dengan biaya yang ditanggung oleh pembayar pajak dan pekerja. Selain itu, Trump juga menyatakan bahwa perjanjian tersebut tidak mencerminkan nilai-nilai AS dan tidak memberikan kontribusi yang adil terhadap tujuan ekonomi dan lingkungan global. 

Trump berpendapat bahwa komitmen AS dalam Perjanjian Paris, seperti target pengurangan emisi, akan merugikan ekonomi AS dan menyebabkan hilangnya lapangan kerja. Dalam pidato penarikannya, Trump menyatakan bahwa “Perjanjian Paris sangat tidak adil pada tingkat tertinggi bagi AS dan membandingkan kewajiban mitigasi Tiongkok dan India dengan AS, tanpa memperhatikan prinsip tanggung jawab bersama tetapi dibedakan.

Faktanya, AS adalah penghasil emisi gas rumah kaca tahunan terbesar kedua di dunia , dan total emisinya sejak akhir abad ke-19 adalah yang tertinggi dibandingkan negara lain. Kini, AS setelah pernyataannya keluar dari Perjanjian Paris, bergabung dengan Iran, Libya, dan Yaman sebagai negara di luar perjanjian tersebut. 

Bill Hare dari Climate Analytics, melansir The Guardian dan mengatakan, pemilihan seorang penyangkal iklim sebagai Presiden AS sangat berbahaya bagi dunia. Trump diperkirakan akan menghambat usaha menahan suhu global agar tidak meningkat lebih dari 1,5 derajat celsius. Kini dengan terpilihnya Trump, target Perjanjian Paris akan semakin sulit tercapai. Di Eropa, para aktivis dan politisi yang mendukung aksi iklim prihatin dengan terpilihnya Trump. Thomas Waitz, anggota parlemen Eropa dan ketua Partai Hijau Eropa, menyebutnya sebagai hari yang suram bagi AS dan dunia.

Atas sikap AS ini, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mendesak pemerintah di seluruh dunia menghormati komitmen iklim sebelum Pertemuan Perubahan Iklim PBB (COP30) di Brasil. Ia mendesak institusi keuangan untuk mendukung transisi energi di negara-negara berkembang.

Di World Economic Forum yang digelar di Davos, Swiss, Guterres menggambarkan kecanduan dunia pada bahan bakar fosil seperti "monster Frankenstein" yang tidak mengampuni siapa pun. Monster itu kini menjadi tuan (republika.co.id, 23-1-2025).

Guterres menyoroti fakta 2014 merupakan tahun terpanas yang pernah tercatat. Kemungkinan untuk pertama kalinya suhu bumi melampaui 1,5 derajat Celsius dari rata-rata suhu masa pra-industri. Guterres menegur lembaga-lembaga keuangan dan industri yang mundur dari komitmen iklim. Merupakan cara pandang yang picik dan secara paradoks sikap ini perwujudan mementingkan diri sendiri sekaligus merugikan diri sendiri. 

Jika mau jujur, dimana ada negara pengemban Kapitalisme mau berkomitmen kecuali di dalamnya tidak ada manfaat? Dan sikap itu sudah sangat terlihat jelas sebagaimana ketika Amerika menyatakan dukungannya untuk penjajah Israel. Israel dan Amerika tak mengenal bahasa lain selain perang. Dan perang bagi Amerika adalah sumber pendapatannya sebagai salah satu negara pemasok senjata. Sekelas PBB tetap tak bergigi di hadapan Amerika, yang setidaknya bisa menghormati keputusan global ini. Amerika lah penguasa hari ini.

Namun demikian, menteri-menteri lingkungan negara Afrika akan tetap menggelar pertemuan di Nairobi pada Juli mendatang. Mereka ingin menyamakan posisi sebelum Pertemuan Perubahan Iklim PBB (COP30) di Brasil bulan November mendatang. Fokus menteri-menteri lingkungan itu adalah memastikan negara-negara kaya memenuhi komitmennya pada pendanaan iklim.

Perjanjian Paris dibentuk tahun 2015, ada sekitar 200 negara  yang menyetujui serangkaian tindakan untuk mengatasi perubahan iklim yang dirancang untuk menghindari beberapa konsekuensi terburuk dari kenaikan suhu. Ada beberapa komitmen yang harus ditaati negara anggota, di antaranya  setiap negara akan menetapkan target pengurangan emisinya sendiri, yang ditinjau setiap lima tahun untuk meningkatkan ambisi.

Dan ada kewajiban negara-negara kaya membantu negara-negara miskin dengan menyediakan pendanaan, yang dikenal sebagai keuangan iklim , untuk beradaptasi dengan perubahan iklim dan beralih ke energi terbarukan (BBC.com, 21-1-2025). 

Jelas bisa kita lihat, penggalangan dana dalam rangka mengatasi perubahan iklim sangatlah memberatkan, untuk sekelas negara Amerika sekalipun. Dan menjadi paradoks sebab, negara kaya itulah sebetulnya yang menjadi penyumbang kerusakan ekosistem hingga berdampak pada perubahan iklim yang ekstrem. Sehijau apapun istilah yang disematkan pada dana, teknologi maupun infrastruktur, landasan amalnya tetap Kapitalisme. Dan Kapitalisme tak pernah bisa komitmen selama masih ada kepentingan atau manfaat yang jauh lebih besar untuk didapatkan. 


Islam, Sistem Terbaik untuk Perubahan Dunia 

Islam sebagai agama sempurna, tentu tak mengabaikan masalah kerusakan iklim. Pertama, dalam sistem ekonomi Islam , ada pembagian kepemilikan harta, yaitu kepemilikan individu, umum dan negara. Kepemilikan umum dan negara samasekali tidak boleh dimiliki individu atau swasta. Negara wajib mengelola secara mandiri, dengan posisi sebagai wakil rakyat. Hasil dari pengelolaan harta dari dua kepemilikan ini dikembalikan kepada rakyat dalam dua bentuk, langsung (berupa zatnya, semisal BBM dan listrik) dan tidak langsung ( pelayanan publik semisal sekolah, jalan, jembatan dan lainnya). 

Negara haram mengeksploitasi berlebihan dua kepemilikan di atas. Akan ada sanksi yang tegas jika terjadi pelanggaran. 

Kedua, fungsi negara dalam Islam adalah raaiin ( pengurus) sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari). Maka, kepala negara adalah orang yang setiap kebijakannya berupa jaminan seluruh kebutuhan pokok rakyat, mulai dari sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan. Hingga setiap individu rakyat mampu menikmati kesejahteraan tanpa batas. 

Jelas tak butuh negara lain menanggung kebutuhan negara lainnya, hubungan antar negara dilihat dari pelakunya. Jika negara itu terkatagori harbi filan ( nyata-nyata memerangi dan menghabisi kaum muslim) maka haram melakukan hubungan apapun, termasuk dagang. Syariat Islam melarang bergabungnya negara ke dalam organisasi multilateral yang bekerja menggalang dana, kemudian  mengedarkan uang sebagai pinjaman berbasis riba dengan berbagai dalih. 

Kepemimpinan Islam inilah yang semestinya disadari dan diperjuangkan. Sebuah sistem aturan yang berasal dari Allah, Pencipta sekaligus Pengatur kehidupan ini. Sebagaimana firmanNya yang artinya, " Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah Kitab (Al Quran) kepada mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami; menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman." (TQS al-A'raf:52). Wallahualam bissawab.[]


 *) Institut Literasi dan Peradaban

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.