Header Ads


Kebrutalan Zionis Tak Terbendung, Umat Harus Terus Menggaungkan Solusi Hakiki

Oleh: Asma Sulistiawati*)


IndonesiaNeo, OPINI - Pada 25 Agustus 2025, dunia menyaksikan salah satu kebrutalan paling keji dari pasukan Zionis. Nasser Hospital di Khan Younis, Jalur Gaza, menjadi sasaran dua kali serangan udara. Serangan pertama menghantam lantai atas rumah sakit, kemudian beberapa menit berikutnya serangan kedua dilepaskan tepat ketika tim medis dan jurnalis datang mengevakuasi korban.

Akibat serangan itu, sedikitnya 15–20 orang tewas, termasuk 5 jurnalis internasional. Nama-nama yang gugur antara lain Hussam al-Masri (juru kamera Reuters), Mariam Abu Dagga (freelance Associated Press), Mohammed Salama (Al Jazeera), Moaz Abu Taha (freelance), dan Ahmed Abu Aziz (Middle East Eye). Fotografer Reuters, Hatem Khaled, terluka parah dalam serangan kedua (BeritaSatu, 25/8/2025).

Yang lebih menyayat hati, tragedi ini terjadi saat salah satu korban tengah melakukan siaran langsung. Dunia menjadi saksi bahwa bahkan jurnalis—profesi yang dalam hukum perang internasional wajib dilindungi—tidak luput dari target rudal.

Israel kemudian mengklaim bahwa target serangan adalah kamera pengawas Hamas yang dipasang di atap rumah sakit untuk memantau pergerakan militer. Klaim ini tentu tidak menghapus fakta bahwa jurnalis, paramedis, dan warga sipil yang sama sekali tak bersenjata ikut menjadi korban (Reuters, 26/8/2025).

Namun, seperti biasa, reaksi internasional berhenti pada kecaman lisan. PBB, Uni Eropa, maupun negara-negara besar hanya menyampaikan rasa prihatin tanpa langkah nyata. Tidak ada investigasi independen yang mengikat, tidak ada sanksi, tidak ada upaya menghentikan agresi. Gaza terus berdarah, sementara dunia menonton.


Dunia Menyaksikan, Tapi Membiarkan

Fenomena ini memperlihatkan betapa dunia sebenarnya tahu, tetapi memilih diam. Fakta pembantaian tersiar luas melalui media internasional, bahkan tersaksikan dalam siaran langsung. Tetapi semua berhenti pada headline berita, tanpa keberanian mengubah kenyataan. Situasi ini menegaskan standar ganda yang sudah menjadi rahasia umum: ketika korbannya adalah rakyat Gaza, nyawa seakan tidak bernilai.

Umat Islam pun menghadapi kenyataan getir. Jumlah dua miliar Muslim di dunia ternyata belum mampu berwujud dalam kekuatan politik dan militer untuk menghentikan kebiadaban Zionis. Negara-negara mayoritas Muslim lebih sibuk mengurus kepentingan domestik masing-masing, sementara sebagian justru sibuk merajut normalisasi dengan Israel. Solidaritas yang muncul lebih sering sebatas bantuan kemanusiaan, doa bersama, atau kampanye media sosial. Penting, tetapi tidak cukup untuk menghentikan penjajahan.

Inilah masalah paling mendasar: solusi hakiki belum menjadi kesadaran bersama. Umat belum satu suara dalam memahami bahwa Palestina bukan sekadar isu kemanusiaan, melainkan tanah kaum Muslim yang dirampas. Selama pandangan ini tidak menjadi opini umum, umat akan terus sibuk dengan respons parsial dan jangka pendek, sementara tanah itu tetap dalam genggaman Zionis.


Membumikan Kesadaran Umat

Sejarah Islam memberi pelajaran berharga. Tanah yang dirampas tidak pernah kembali dengan sendirinya, apalagi melalui perundingan yang berulang kali dikhianati. Ia hanya kembali dengan perjuangan nyata. Rasulullah saw. dan para sahabat mencontohkan bahwa ketika umat bersatu di bawah kepemimpinan Islam, penjajahan selalu berakhir. Jihad untuk membela tanah yang dirampas adalah kewajiban syar’i, bukan sekadar pilihan moral.

Karena itu, edukasi kepada umat tentang kewajiban membela Palestina dengan jalan yang benar harus terus digelorakan. Masjid, majelis ilmu, media dakwah, hingga ruang-ruang diskusi publik harus menjadi sarana penyadaran bahwa Al-Aqsa adalah bagian dari identitas umat Islam, bukan sekadar simbol politik regional. Hanya dengan kesadaran yang masif, opini umum dapat terbentuk, dan dari sanalah tuntutan kepada penguasa Muslim akan lahir.

Penguasa negeri-negeri Islam memegang peran kunci. Mereka memiliki sumber daya, militer, dan legitimasi politik yang mampu mengubah keadaan. Tetapi tanpa tekanan dari rakyat, sulit berharap keberanian itu muncul. Umatlah yang harus menuntut agar penguasa berhenti menormalisasi hubungan dengan penjajah, memutuskan kerja sama strategis dengan Israel, dan mengerahkan kekuatan nyata untuk membela Gaza.

Selain itu, umat perlu membangun solidaritas global yang konsisten dan tidak mudah padam. Kampanye di jalanan, petisi internasional, gugatan hukum melalui Mahkamah Internasional, hingga boikot produk-produk yang menopang ekonomi Zionis adalah bentuk perlawanan yang tidak boleh diremehkan. Semuanya harus dilakukan secara terarah dan berkesinambungan, bukan sekadar reaksi sesaat ketika darah baru tumpah.

Tragedi Nasser Hospital memberikan satu pesan tegas bahwa kebenaran pun kini menjadi target rudal. Jika jurnalis yang membawa fakta saja dibungkam dengan bom, berarti dunia sedang diarahkan untuk menerima kebohongan sebagai kebenaran resmi. Membiarkan hal ini berarti membiarkan kebenaran mati.

Karena itu, suara umat Islam tidak boleh padam. Seruan pembebasan Palestina dengan solusi Islam harus terus digaungkan hingga menjadi opini mayoritas. Sebab hanya dengan itulah umat akan mampu mendesak penguasanya untuk bertindak, dan jihad pembebasan tidak lagi sekadar retorika, melainkan realitas.

Kebrutalan Zionis mungkin tampak tak terbendung hari ini. Namun sejarah membuktikan, tidak ada kekuasaan zalim yang abadi. Ketika umat kembali menemukan jati dirinya, menyadari kewajiban syar’inya, dan bersatu dalam satu barisan, maka Al-Aqsa akan kembali berada dalam pangkuan kaum Muslim. Dan hari itu tidak akan pernah datang jika kita memilih diam. Wallahu a’lam.[]


*) Pegiat Literasi

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.