Angka Pengangguran Kian Tinggi, Kesejahteraan Rakyat Terabaikan
Oleh: Cellina Nindy Aisya Hardianto*)
IndonesiaNeo, OPINI - Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 5 Mei 2025 menunjukkan bahwa generasi Z (Gen Z) dan sebagian milenial menjadi golongan dengan tingkat pengangguran tertinggi di Indonesia. Angka pengangguran kalangan Gen Z mencapai 16 persen.
Menurut Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,28 juta orang per Februari 2025. Angka ini setara dengan 4,76 persen, yang berarti ada lima orang penganggur dari setiap 100 orang angkatan kerja (Detik.com, 12/9/25).
Pusat Pasar Kerja Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat kebutuhan tenaga kerja total sebanyak 938.353 orang tersedia pada periode Januari hingga September 2025. Berdasarkan data terkini kondisi pasar kerja nasional pada periode tersebut, yang dikutip di Jakarta, Kamis, terdapat 753.500 lowongan kerja yang disampaikan secara daring oleh 99.438 perusahaan (Antaranews.com, 25/10/25).
Dari fakta tersebut tergambar bahwa jumlah lapangan kerja dan angka pengangguran tidak seimbang. Hal itu menimbulkan problem ekonomi yang sangat pelik dalam kehidupan masyarakat. Akar masalah dari banyaknya rakyat yang menganggur adalah akibat penerapan sistem kapitalisme yang menjadikan materi sebagai standar dan tolok ukur utama.
Sistem kapitalis juga menciptakan kesenjangan sosial yang sangat jauh. Si kaya akan semakin kaya dan si miskin akan semakin miskin. Hal ini melahirkan hukum rimba: siapa kuat, dia yang bertahan hidup. Banyak rakyat menjadi pengangguran sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi negara justru menaikkan pajak yang jelas semakin membebani rakyat.
Kapitalisme berbeda dengan Islam. Dalam sistem Islam, khalifah wajib menjamin kebutuhan hidup rakyatnya, seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, keamanan, dan pendidikan, yang harus terpenuhi bagi setiap individu rakyat. Khalifah juga melarang penumpukan atau perputaran kekayaan hanya di kalangan segelintir orang yang disebut oligarki.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Hasyr (59):7:
كَىْ لَا يَكُونَ دُولَةًۢ بَيْنَ ٱلْأَغْنِيَآءِ مِنكُمْ
“Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian.”
Selain itu, Khilafah akan menjamin serta mampu menciptakan keadilan, kesejahteraan, dan kedamaian dalam sistem ekonomi tanpa riba. Dengan mekanisme pengaturan kepemilikan individu, kekayaan tidak akan dikuasai oleh segelintir orang. Khalifah melarang penguasaan atau kepemilikan lahan melalui privatisasi sumber daya alam seperti minyak, emas, nikel, dan lainnya, karena semua itu merupakan sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Sumber daya alam bukan milik individu, melainkan milik umum, sehingga haram dikuasai perorangan. Hal ini sejalan dengan kebijakan Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, bahwa beliau pernah melarang salah satu sahabat, yaitu Abyadh bin Hambal ra., untuk menguasai tambang garam dengan deposit melimpah di daerah Ma’rib.
Dalam sistem yang sahih ini, negara wajib menyediakan lapangan kerja bagi setiap laki-laki yang telah terbebani tanggung jawab menafkahi keluarganya. Negara juga mendorong rakyat untuk bekerja melalui pengolahan lahan mati (ihya’ al-mawat), dan lain sebagainya.
Khilafah mengatur keuangan negara melalui Baitul Mal. Dari Baitul Mal, negara mengelola pemasukan dari zakat, jizyah, kharaj, fai, dan lainnya. Negara kemudian mendistribusikan dana tersebut kepada orang-orang yang berhak menerima bantuan, seperti fakir, miskin, anak yatim, hamba sahaya, dan orang-orang yang membutuhkan.
Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Hasyr ayat 7:
مَّآ أَفَآءَ ٱللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ مِنْ أَهْلِ ٱلْقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينِ وَٱبْنِ ٱلسَّبِيلِ كَىْ لَا يَكُونَ دُولَةًۢ بَيْنَ ٱلْأَغْنِيَآءِ مِنكُمْ ۚ وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمْ عَنْهُ فَٱنتَهُوا۟ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ
“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota, maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.”
Khalifah dalam sistem Islam bukan hanya penguasa, melainkan juga pelayan umat yang menjamin kesejahteraan rakyat. Sebagai pemimpin, khalifah akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Oleh karena itu, khalifah akan berusaha semaksimal mungkin mengurus dan melayani urusan rakyat sesuai hukum syarak agar kesejahteraan rakyat dapat terwujud. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw.:
فَالْإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam (khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang ia urus” (HR. Bukhari dan Muslim).
Wallahu a’lam bish-shawab.[]
*) Pemerhati-Remaja


> Apakah sistem ekonomi kapitalis benar-benar menjadi penyebab utama meningkatnya angka pengangguran di Indonesia, dan sejauh mana sistem ekonomi Islam dapat menjadi solusi alternatif untuk mengatasinya?
BalasHapus