Header Ads


Rokok Masuk Sekolah, Krisis Moral Dunia Pendidikan

Oleh: Windih Silanggiri*)


IndonesiaNeo, OPINI - Dunia pendidikan kembali dikejutkan dengan fenomena krisis moral. Seorang kepala sekolah dilaporkan ke kepolisian oleh salah satu orang tua murid yang tidak terima anaknya ditampar hanya karena merokok. Namun, pada akhirnya laporan tersebut dicabut tanpa penjelasan kronologisnya.

Fenomena serupa tentang siswa SMA yang merokok di sekolah juga terjadi di Makassar. Seorang siswa merokok dengan santai saat pelajaran dimulai, bahkan dengan kaki diletakkan di samping gurunya.

Insiden semacam ini banyak berseliweran di jagat maya dengan berbagai macam bentuk kenakalan remaja. Tenaga pendidik berada dalam situasi yang sulit, antara menegur atau membiarkan. Ketika teguran diberikan, posisi guru berpotensi terancam dinonaktifkan dari sekolah karena pihak orang tua tidak terima.

Meski merokok diperbolehkan, banyak yang merasa terganggu karena asap rokok tidak baik untuk kesehatan, baik bagi perokok aktif maupun pasif. Ironisnya, kali ini hal itu terjadi di lingkungan pendidikan—tempat yang seharusnya menjadi praktik nyata pendidikan itu sendiri—yang semestinya bebas dari rokok. Bisa jadi fenomena ini sudah menjadi budaya. Tragisnya, guru yang berniat memperbaiki kondisi moral anak didik justru dinonaktifkan. Lalu, mengapa merokok bisa muncul di lingkungan sekolah?

Direktur Penyakit Tidak Menular Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, dalam konferensi pers Indonesian Youth Council for Tactical Changes, menyampaikan bahwa jumlah perokok anak dan remaja dalam rentang usia 10–18 tahun mengalami kenaikan, dari 2 juta orang pada 2013 menjadi 5,9 juta orang pada 2023. Survei Kesehatan Indonesia 2023 menunjukkan bahwa 2,6 persen perokok berasal dari usia 4–9 tahun, 44,7 persen dari usia 10–14 tahun, dan 52,8 persen dari usia 15–19 tahun (antaranews.com, 17-07-2025).

Sementara itu, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), jumlah pengguna produk tembakau menurun dari 1,38 miliar pada tahun 2000 menjadi 1,2 miliar pada 2024. Hal ini menyebabkan perusahaan beralih ke rokok elektrik atau vape. Perusahaan menilai bahwa vape dipercaya dapat menurunkan angka perokok konvensional (inforemaja.id, 14-10-2025).

Namun, WHO memiliki pandangan berbeda. Mereka menyatakan bahwa vape justru lebih rentan membuat kalangan muda kecanduan nikotin. Diperkirakan sekitar 15 juta remaja berusia 13–15 tahun di seluruh dunia menggunakan rokok elektrik. Data terbaru menunjukkan bahwa remaja memiliki kemungkinan sembilan kali lebih besar untuk menggunakan vape dibandingkan orang dewasa (inforemaja.id, 14-10-2025).


Krisis Moral Karena Kesalahan Sistem

Tugas seorang guru tidak hanya memberikan ilmu, tetapi juga membentuk moral anak didik. Kenyataan hari ini menunjukkan bahwa guru berada pada posisi dilematis. Ketika anak didik melakukan tindakan tidak terpuji, posisi pendidik menjadi sulit: antara memberi teguran atau membiarkan, yang pada akhirnya membuat anak didik kehilangan moral dan kedisiplinan.

Akibatnya, wibawa guru semakin tergerus. Guru tidak lagi dihormati, apalagi dimuliakan. Guru kini diperlakukan layaknya teman sejawat.

Fenomena ini merupakan salah satu akibat dari penerapan ide Hak Asasi Manusia (HAM). Hak untuk berekspresi atau bertingkah laku sering kali dimaknai sebagai kebebasan tanpa batas. Sementara guru menjadi pihak yang tidak berdaya untuk memberi teguran.

Ketika guru berusaha menegakkan kedisiplinan, sering kali berujung pada pelaporan orang tua ke pihak kepolisian. Sistem pendidikan hari ini tidak memberikan perlindungan yang jelas kepada guru. Posisi guru pun berada dalam tekanan yang luar biasa.

HAM merupakan salah satu ide pokok dalam sistem kapitalisme-liberalisme. Sebuah sistem kehidupan yang dikuasai oleh mereka yang memiliki modal besar, baik materi maupun kekuasaan. Kapitalisme-liberalisme mengajarkan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk memperoleh kepuasan materi.

Negara dalam sistem kapitalisme hanya berfungsi sebagai regulator dan fasilitator. Negara memberikan ruang bagi perusahaan untuk mengembangkan bisnisnya, termasuk memproduksi rokok, selama pajak perusahaan tetap dibayarkan.

Meskipun negara telah mengatur peredaran rokok, pengaturan tersebut tidak dibarengi dengan sanksi tegas. Selain itu, lemahnya pengawasan negara membuat remaja semakin mudah mendapatkan rokok.

Di sisi lain, sistem pendidikan tidak menjadikan ilmu sebagai sarana amal. Ilmu hanya sekadar ditransfer dari guru kepada anak didik karena kurikulum pendidikan berbasis sekuler—yang memisahkan agama dari kehidupan. Tidak heran jika output pendidikan jauh dari ketaatan.

Anak didik telah kehilangan jati dirinya. Mereka menganggap merokok sebagai simbol kedewasaan. Remaja merasa keren dan bangga ketika berani merokok di depan umum tanpa rasa takut atau malu. Padahal, mereka telah kehilangan jati diri sejatinya sebagai seorang muslim.

Inilah rusaknya sistem kapitalisme-liberalisme yang masih diemban oleh negara. Hanya karena uang, negara sulit mengambil tindakan tegas untuk menyelamatkan generasi. Padahal, generasi adalah penopang peradaban masa depan. Jika generasi hari ini rusak, maka ke mana arah negeri ini akan dibawa?


Generasi Emas dengan Islam

Islam mewajibkan setiap muslim untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar dengan cara yang baik, termasuk guru ketika menasihati anak didiknya. Guru seharusnya melakukan tabayun dan pendekatan untuk mencari tahu penyebab perilaku anak didik.

Salah satu tujuan dari sistem pendidikan Islam adalah mencetak generasi yang memiliki kepribadian Islam, yaitu memiliki pola pikir dan pola sikap Islam. Dengan demikian, sikap yang muncul bukan bersumber dari hawa nafsu, melainkan dari kesadaran bahwa dirinya adalah hamba Allah.

Agar tujuan pendidikan dapat terwujud, diperlukan kurikulum berbasis akidah Islam. Tujuannya agar anak memahami bahwa hidup di dunia hanyalah untuk beribadah, dan setiap perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah di akhirat. Karena itu, segala tindakan harus menyesuaikan dengan aturan Allah.

Anak didik akan menghormati dan memuliakan gurunya karena salah satu keberkahan ilmu adalah ketika memiliki adab yang baik terhadap guru. Begitu pula guru, ia akan menjalankan tugasnya sebagai pembentuk kepribadian anak didik serta memberi teladan yang baik. Sesungguhnya, guru adalah pilar peradaban, sementara anak didik adalah penopang peradaban.

Dalam Islam, hukum merokok memang mubah, tetapi bukan berarti boleh dilakukan tanpa memperhatikan sisi lainnya. Karena sesuatu yang mubah tidak harus dilakukan. Jika kemubahan ini membawa bahaya, baik bagi diri sendiri maupun orang lain, maka negara berhak melarangnya bahkan memberikan sanksi tegas bagi pelanggarnya.

Wallahu a’lam bishshawab.[]


*) Pemerhati Remaja

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.