Mencari Aspal yang Hilang di Antara Indahnya Teluk Buton dan Sedapnya Parende
Oleh: Abu Miqdad*)
IndonesiaNeo, OPINI - Alhamdulillāh, kembali saya dapat menapakkan kaki di tanah Buton, Sulawesi Tenggara. Sebuah pulau yang namanya tak hanya harum karena sejarah kesultanannya, tapi juga karena aspal alam yang ada di pulau ini adalah terbesar di dunia.
Para ahli memperkirakan deposit aspal alam di Pulau Buton mencapai lebih dari 650 juta ton. Jumlah yang fantastis. Aspal Buton ini bukan aspal sembarangan. Kandungan asphalten dan resin-nya tinggi, kualitasnya murni dan alami, bahkan disebut-sebut lebih unggul dari aspal minyak hasil kilang modern. Sungguh luar biasa, Allah telah memuliakan negeri ini dengan anugerah yang sangat melimpah.
Namun, entah kenapa, saya tidak menemukan “jejak” aspal itu di jalanan Buton.
Dari Baubau hingga ke pelosok Buton Utara, Buton Tengah, sampai Buton Selatan yang nampak justru jalanan yang banyak berlubang dan hanya ditambal dengan aspal hotmix. Aspal Buton seolah hilang di negeri yang mengandungnya. Sungguh ironi yang menyayat rasa.
Pulau penghasil aspal terbesar di dunia, tapi jalannya banyak yang rusak parah.
Lalu di mana aspal itu berada? Siapa yang menikmatinya?
Apakah aspalnya yang hilang, atau nurani para pemegang amanah yang telah lama terkelupas oleh kerak tamak dan ketidakpedulian?
Menahan getir melewati jalanan rusak, saya menghibur diri singgah di Teluk Buton bersama beberapa kawan. Elok sekali pemandangan nya. Keindahan Teluk Buton seakan menenangkan batin yang sempat gundah oleh sikap penguasa yang tamak dan serakah. Tapi sayang, ketenangan itu hanya sebentar, sebab di kepala masih berputar satu pertanyaan besar: Bagaimana mungkin negeri yang kaya raya, yang punya aspal alam sekelas dunia, justru import aspalnya?
Bukankah ini cermin betapa jauhnya kita dari makna istikhlaf—menjadi khalifah yang mengelola bumi dengan cerdas dan amanah ?
Sumber daya alam yang seharusnya menyejahterakan umat, justru menjadi lahan empuk bagi korporasi asing dan pejabat yang sangat bernafsu untuk menjarah.
Lapar juga rupanya memikirkan carut marut negeri ini. Siang itu, kami pun mendatangi rumah makan yang berada persis di sisi Teluk Buton. Alhamdulillah berkesempatan mencicipi Parende, kuliner khas Buton—sup ikan berkuah kuning, berpadu rasa asam, pedas, dan gurih. Ikan kakap merah yang saya santap terasa begitu segar dan nikmat, seolah mewakili kesederhanaan dan kejujuran lidah orang Buton. Dalam tiap sendoknya, saya temukan rasa sedap dan nikmat, rasa yang tidak saya dapatkan di jalan-jalan Buton, sebab banyak lubang menganga, aspal kasar dan terkelupas yang menimbulkan sensasi goncangan pada mobil yang kami kendarai.
Andai saja para pengelola negeri ini bisa sejujur Parende, mungkin aspal Buton sudah lama mengalir di seluruh jalanan di nusantara. Tapi sayang, yang kerap mengalir justru proyek-proyek siluman, laporan fiktif yang diada-adakan, dan tender yang sarat kebohongan.
Aspal Buton, nasibmu tak seindah Teluk Buton dan tak senikmat Parende kakap merah yang saya santap.
Aspal Buton memang tak saya temukan di jalan-jalan, tapi mungkin memang bukan di situ tempatnya.
Ia tersimpan dalam dada anak-anak muda Buton yang masih mencintai negerinya, yang masih percaya bahwa suatu hari, negeri ini akan dikelola dengan akal sehat dan hati nurani. Bukan oleh penguasa yang rakus dan hobbi korupsi.
Sampai saat itu tiba, biarlah kami terus mencari aspal yang hilang itu dengan perjuangan dakwah membumikan Syariah Kaffah dalam bingkai daulah Khilafah. Sebab hanya dengan sistem Islam seluruh kekayaan alam ini dapat dikelola dengan benar untuk kesejahteraan seluruh umat.
Maka mari kita ubah cara pandang kita terhadap amanah, kekayaan alam, dan rasa keadilan.
Sebab aspal Buton yang hilang sesungguhnya hanyalah simbol dari hilangnya integritas di tengah negeri yang sangat kaya raya, tapi salah kelola. Di sinilah kita sadar, seruan HTI sejak dulu masih relevan hingga saat ini. Selamatkan Indonesia dengan Syariah dan Khilafah. Allahu Akbar !! [AM]
*) Pemerhati Kebijakan Publik


Post a Comment