Fenomena “Fatherless” Kian Populer dalam Atmosfer Kapitalis Sekuler
Oleh: Tyas Ummu Amira*)
IndonesiaNeo, OPINI - Ayah merupakan sosok yang memiliki pengaruh besar dalam kehidupan keluarga. Pengorbanannya untuk bekerja keras demi memberikan nafkah layak menjadikannya pantas disebut pahlawan keluarga. Namun, tidak semua anak berkesempatan merasakan kasih sayang seorang ayah, meskipun sesungguhnya sosok itu masih ada di tengah-tengah mereka.
Menurut analisis Tim Jurnalisme Data Harian Kompas (Kompas.id, 8 Oktober 2025), sebanyak 20,1 persen anak Indonesia berpotensi tumbuh tanpa pengasuhan ayah atau fatherless. Artinya, sekitar 15,9 juta anak di negeri ini hidup tanpa figur ayah yang hadir secara aktif. Dari jumlah tersebut, 4,4 juta anak tinggal di keluarga tanpa ayah sama sekali, sedangkan 11,5 juta anak lainnya hidup bersama ayah yang bekerja lebih dari 60 jam per minggu atau sekitar 12 jam per hari.
Padahal, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengatur bahwa jam kerja formal maksimal hanya tujuh jam per hari atau 40 jam per minggu. Fakta ini menunjukkan bahwa sebagian besar waktu ayah dihabiskan di luar rumah, sementara interaksi hangat dengan keluarga menjadi semakin langka.
Sekuler Kapitalis Mengikis Peran Ayah
Fenomena fatherless menggambarkan kondisi ketika seorang anak tumbuh tanpa kehadiran ayah yang aktif, stabil, dan berperan dalam kehidupannya. Tema ini kini ramai diperbincangkan di berbagai media dan kanal podcast karena menyentuh aspek mendasar dari ketahanan keluarga.
Beban ekonomi yang terus meningkat memaksa banyak kepala keluarga bekerja tanpa henti. Harga kebutuhan pokok naik, biaya pendidikan dan kesehatan mahal, serta tagihan rumah tangga menumpuk. Kondisi ini membuat para ayah pulang dengan tenaga yang telah habis, hanya ingin beristirahat, tanpa sempat berbincang atau bercanda dengan anak-anaknya. Momen kehangatan keluarga pun semakin jarang terjadi.
Situasi ini lahir dari atmosfer kehidupan dalam sistem kapitalis sekuler yang menuntut produktivitas tanpa batas. Sistem tersebut telah menyita waktu ayah untuk bekerja seharian demi mempertahankan roda ekonomi keluarga. Akibatnya, peran ayah sebagai qawwam—pemimpin dan pelindung keluarga—kian tergerus. Nilai-nilai spiritual, penanaman akidah, dan pendidikan moral kepada anak menjadi terabaikan.
Ketika anak kehilangan sosok panutan, mereka mudah merasa tidak percaya diri (insecure), haus perhatian, bahkan mencari validasi dari luar, terutama ketika memasuki usia remaja. Kondisi ini membuat mereka rentan terhadap pergaulan bebas dan menjadi korban perundungan (bullying).
Jelaslah bahwa sistem sekuler kapitalis telah menimbulkan persoalan serius di lingkup terkecil masyarakat, yakni keluarga. Karena itu, dibutuhkan solusi mendasar untuk mengembalikan peran ayah bukan hanya sebagai “mesin ATM berjalan”, melainkan sebagai pendidik akidah, penanam akhlak, dan teladan utama bagi anak-anaknya.
Islam Menjamin Peran Ayah dan Ibu
Dalam pandangan Islam, ayah dan ibu memiliki peran yang sama pentingnya dalam keluarga. Ayah berfungsi sebagai qawwam—pemimpin, pendidik, pencari nafkah, sekaligus teladan moral bagi anak-anaknya. Hal ini tergambar dalam kisah Luqman yang memberi nasihat penuh hikmah kepada anaknya, sebagaimana difirmankan Allah Swt. dalam Al-Qur’an:
وَلَقَدْ آتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلّٰهِ ۗ وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu: ‘Bersyukurlah kepada Allah.’ Barang siapa bersyukur (kepada Allah), sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barang siapa kufur, maka sesungguhnya Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji” (QS. Luqman [31]: 12).
Ayat ini menggambarkan betapa pentingnya peran ayah dalam menanamkan nilai-nilai keimanan, ketauhidan, dan akhlak mulia kepada anak-anaknya. Dengan fondasi akidah yang kuat, anak akan tumbuh menjadi pribadi yang kokoh dan berkarakter Islam. Sementara itu, ibu berperan penting dalam mengasuh, mendidik, dan mengatur urusan rumah tangga.
Dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah), kesejahteraan ayah dijamin oleh negara. Negara memastikan tersedianya lapangan kerja, upah yang layak, dan jam kerja yang manusiawi agar ayah dapat meluangkan waktu bersama keluarganya.
Selain itu, sistem perwalian dalam Islam juga menjamin setiap anak memiliki figur ayah yang bertanggung jawab. Dalam Kitab Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dijelaskan:
“Karena ayah adalah kepala rumah tangga, pemimpin sekaligus pengurusnya, maka sudah seharusnya ia memiliki perwalian (wilayah) atas rumah tangga. Ayah adalah wali bagi anak-anaknya, baik yang masih kecil maupun yang belum baligh, laki-laki maupun perempuan, terkait dengan urusan jiwa dan harta, meskipun anak yang masih kecil berada dalam pengasuhan ibunya atau kerabatnya” (An-Nabhani, Sistem Pergaulan dalam Islam, hal. 297).
Demikianlah Islam menjaga keseimbangan peran ayah dan ibu agar keduanya mampu membentuk generasi berakidah kuat, berakhlak mulia, serta menjadi agen perubahan di tengah masyarakat.
Wallāhu a‘lam biṣ-ṣawāb.
*) Pemerhati Remaja


Post a Comment