Kapitalisasi Air
Oleh: Nurma*)
IndonesiaNeo, OPINI - Faktanya, air yang semestinya menjadi hak publik kini semakin dikuasai oleh korporasi besar atas nama industri. Danone baru-baru ini menjelaskan bahwa air yang selama ini mereka gunakan berasal dari akuifer dalam di kawasan pegunungan, bukan air permukaan atau air tanah dangkal. Air akuifer dalam adalah air tanah yang tersimpan di dalam lapisan batuan atau sedimen bawah tanah yang berpori dan jenuh air. Danone menyatakan bahwa akuifer dalam yang mereka gunakan berasal dari kedalaman 60–140 meter. Air ini disebut terlindungi secara alami oleh lapisan kedap air, sehingga bebas dari kontaminasi aktivitas manusia (Tempo.co, 24/10/2025).
Namun, di balik penjelasan ilmiah tersebut muncul persoalan besar, yaitu: siapa yang berhak atas air itu? Air adalah sumber kehidupan. Namun kini, di tangan korporasi kapitalis, air telah berubah menjadi komoditas ekonomi yang diperjualbelikan. Ironisnya, di banyak daerah sekitar pabrik air kemasan, masyarakat justru kesulitan mendapatkan air bersih. Sumur-sumur warga mengering, aliran sungai menyusut, sementara perusahaan multinasional mengekstraksi jutaan liter air per hari untuk dikemas dan dijual dengan harga tinggi.
Sejatinya, air bukanlah sekadar sumber daya alam biasa, sebab ia adalah hak dasar manusia yang seharusnya dijamin oleh negara. Namun, dalam sistem kapitalisme, negara justru memberi karpet merah bagi perusahaan-perusahaan besar untuk mengeksploitasi sumber air tanpa memedulikan keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan rakyat.
Kapitalisme Menjadikan Air sebagai Barang Dagangan
Kapitalisme mengajarkan bahwa semua hal bisa menjadi komoditas, termasuk air, udara, bahkan manusia sekalipun. Prinsip dasarnya adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya, bukan memenuhi kebutuhan rakyat. Karena itu, air yang semestinya dikelola untuk kepentingan publik justru dijadikan ladang bisnis.
Dalam logika kapitalis, perusahaan yang memiliki modal besar dianggap paling berhak mengelola sumber daya alam. Negara pun hanya berperan sebagai “regulator”, bukan sebagai pengelola atau pelindung. Akibatnya, hak rakyat terpinggirkan.
Kita bisa melihat dampaknya: masyarakat kecil harus membeli air galon setiap hari karena sumur mereka kering, sementara air diambil secara besar-besaran oleh korporasi. Alam rusak karena eksploitasi berlebihan, dan negara kehilangan kendali atas sumber daya vitalnya sendiri.
Lebih ironis lagi, perusahaan air kemasan sering bersembunyi di balik jargon “ramah lingkungan” atau “sumber air berkelanjutan”, padahal mereka mengambil air dari sumber alam yang seharusnya tidak boleh dimonopoli. Inilah wajah buruk kapitalisme—menguasai hajat hidup orang banyak demi keuntungan segelintir elite ekonomi global.
Padahal, Rasulullah SAW bersabda:
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Hadis ini dengan tegas menolak privatisasi atas air. Dalam pandangan Islam, air termasuk kepemilikan umum (milkiyyah ‘ammah) yang tidak boleh dimiliki individu atau korporasi. Siapa pun yang memonopoli air berarti telah merampas hak umat. Karena itu, sistem ekonomi kapitalis adalah akar dari krisis air dan ketimpangan pengelolaannya. Sistem ini menempatkan keuntungan sebagai tujuan tertinggi, bukan keberkahan atau kesejahteraan.
Maka, selama kapitalisme masih menjadi dasar kebijakan ekonomi, rakyat akan terus menjadi korban eksploitasi sumber daya alam, termasuk air.
Solusi Islam dalam Naungan Khilafah Islamiyyah
Dalam mengatur kepemilikan sumber daya alam, Islam memiliki sistem yang sempurna. Dalam sistem Khilafah Islamiyyah, air dikategorikan sebagai milik umum, sehingga negara wajib memastikan distribusinya adil dan tidak boleh dikuasai oleh pihak tertentu. Pengelolaannya dilakukan oleh negara melalui lembaga yang ditunjuk oleh khalifah, dengan tujuan memenuhi kebutuhan umat, bukan untuk mencari keuntungan ekonomi.
Air dari sumber-sumber besar seperti sungai, pegunungan, atau akuifer dalam harus diatur penggunaannya agar tidak menimbulkan kerusakan alam dan tetap menjamin ketersediaan air bagi generasi mendatang. Negara Khilafah juga akan melarang segala bentuk monopoli dan privatisasi karena hal itu bertentangan dengan prinsip keadilan Islam.
Selain aspek ekonomi, Islam juga membangun kesadaran spiritual bahwa manusia hanyalah khalifah (pengelola), bukan pemilik mutlak bumi dan segala isinya. Maka, segala bentuk keserakahan dan eksploitasi tanpa batas merupakan pengkhianatan terhadap amanah Allah SWT.
Dalam sistem Khilafah, para pemimpin akan takut berbuat zalim karena sadar bahwa mereka akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Inilah pengawasan spiritual yang tidak dimiliki oleh sistem sekuler.
Kapitalisasi air hanyalah satu contoh nyata bagaimana kapitalisme telah mengubah sumber kehidupan menjadi komoditas bisnis. Ketika air—simbol kehidupan—saja bisa dijadikan ladang keuntungan, maka jelas sistem ini telah kehilangan moral dan arah. Islam menawarkan sistem pengelolaan yang adil, transparan, dan berpihak kepada umat. Melalui Khilafah Islamiyyah, air akan kembali menjadi hak bersama yang dijaga keberkahannya, bukan dijual untuk memperkaya korporasi global.
Sudah saatnya umat sadar bahwa solusi bagi krisis sumber daya alam bukanlah dengan regulasi tambal sulam, melainkan dengan mengganti sistem kapitalis dengan sistem Islam kaffah. Hanya dengan cara inilah keseimbangan alam, keadilan sosial, dan kesejahteraan umat dapat benar-benar terwujud—bukan sekadar janji di atas kertas, tetapi nyata dalam kehidupan.
Wallahu a‘lam bish-shawab.[]
*) Pegiat Literasi


Post a Comment