Kado Pahit Hari Santri 2025
Oleh: Windih Silanggiri*)
IndonesiaNeo, OPINI - Peringatan Hari Santri dari tahun ke tahun tidak membawa perubahan yang signifikan. Hanya sebatas serangkaian seremonial semata, dari upacara, kirab, baca kitab, hingga festival sinema.
Bertepatan dengan Hari Santri pada Rabu, 22 Oktober 2025, Presiden Prabowo Subianto melalui Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menyampaikan ucapan selamat Hari Santri kepada seluruh santri, santriwati, kiai, nyai, hingga keluarga besar pondok pesantren di seluruh tanah air (setneg.go.id, 24-10-2025).
Kali ini, peringatan Hari Santri mengusung tema “Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia.” Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa santri memiliki peran penting, yaitu sebagai agen penjaga moral dan pelopor kemajuan global yang menguasai ilmu agama dan ilmu dunia, yang berakhlak dan berdaya saing (kompas.com, 25-10-2025).
Dalam pidatonya, Presiden Prabowo mengajak untuk mengenang semangat Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang digelorakan oleh KH. Hasyim Asy’ari. Resolusi ini menjadi tonggak penting dalam sejarah bangsa, sebuah perjalanan menuju Indonesia merdeka yang berdaulat dan bermartabat.
Peringatan Hari Santri tahun ini, para santri mendapatkan kado istimewa dari Presiden Prabowo, yaitu akan dibentuk Direktorat Jenderal Pesantren di lingkungan Kementerian Agama. Pernyataan ini tertuang pada Surat Nomor B-617/M/D-1/HK.03.00/10/2025 tentang Persetujuan Izin Prakarsa Penyusunan Rancangan Peraturan Presiden tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 152 Tahun 2024 tentang Kementerian Agama, yang telah ditandatangani Presiden Prabowo pada 21 Oktober 2025. Hal ini merupakan janji politik saat kunjungan presiden ke Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, pada 2 Desember 2023 lalu (kemenag.go.id, 22-10-2025).
Wakil Menteri Agama Romo Muhammad Syafi’i menyampaikan bahwa pembentukan Ditjen Pesantren telah memenuhi tiga kriteria penataan organisasi yang efektif, yaitu tepat fungsi, tepat proses, dan tepat ukur. Terkait “tepat fungsi”, Pasal 4 UU Nomor 18 Tahun 2019 menegaskan tiga peran utama pesantren, yaitu dalam hal pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat (kemenag.go.id, 22-10-2025).
Untuk fungsi pendidikan, pesantren terus berkembang dari tingkat dasar hingga ma’had aly (setara perguruan tinggi), menjadi pusat pembelajaran Islam rahmatan lil ‘alamin yang melahirkan generasi berilmu dan berakhlak mulia. Sedangkan fungsi dakwah, pesantren membangun kehidupan sosial yang moderat dan harmonis, menanamkan nilai tawassuth (moderat), tawazun (seimbang), i’tidal (adil), dan tasamuh (toleran) sebagai karakter khas Islam Indonesia.
Sementara fungsi pemberdayaan masyarakat, pesantren dijadikan sebagai pusat ekonomi umat, berperan nyata dalam pengentasan kemiskinan, pemerataan kesejahteraan, dan penguatan kemandirian di tingkat lokal. Inilah janji politik yang pernah presiden sampaikan.
Janji politik ini telah disampaikan saat berkunjung ke Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, pada 2 Desember 2023 lalu. Di hadapan para kiai dan santri, Presiden Prabowo berjanji akan melaksanakan amanah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren secara sungguh-sungguh (kompas.com, 22-10-2025).
Madu Berbalut Racun Kapitalisme-Sekulerisme
Fakta menunjukkan bahwa peringatan Hari Santri lebih banyak bersifat seremonial semata. Peringatan ini tidak begitu banyak menggambarkan peran santri yang sesungguhnya, yaitu sebagai sosok yang fakih fiddin dan agen perubahan. Tentu saja perubahan di sini bukanlah perubahan berdasarkan Islam, karena sistem yang berkuasa saat ini bukanlah sistem Islam.
Saat ini, sistem yang bercokol adalah sistem Kapitalisme-Sekulerisme, sebuah sistem kehidupan yang menjadikan para pemilik modal besar (kapitalis) sebagai pemegang kekuasaan. Sistem aturan yang dilahirkan menjauhkan agama dari kehidupan individu, bermasyarakat, dan bernegara.
Hal ini terbukti dengan berbagai program dan kebijakan yang menyangkut santri dan pesantren masa kini. Program dan kebijakan yang disampaikan bertentangan dengan pujian terkait peran santri dalam jihad melawan penjajah di masa lalu. Para santri justru dimanfaatkan untuk menjadi agen moderasi beragama dan agen pemberdayaan ekonomi.
Padahal, moderasi beragama adalah salah satu racun yang membahayakan umat. Racun ini digunakan Barat untuk membendung kebangkitan Islam. Barat menginginkan agar muncul generasi yang mau menerima pemikiran sekuler seperti Hak Asasi Manusia (HAM), liberalisme, demokrasi, hedonisme, pluralisme, dan lain-lain.
Dengan menanamkan pemikiran tersebut di dunia pesantren, akan muncul para santri yang menjadikan agama hanya sebatas ibadah ritual saja. Ajaran agama akan dijauhkan dari kehidupan individu, bermasyarakat, dan bernegara.
Padahal, tugas santri yang seharusnya berjihad melawan penjajah seperti saat Resolusi Jihad dulu dikumandangkan, kini sudah usang—hanya tinggal teori belaka.
Memang bentuk penjajahan hari ini tidak seperti masa lalu. Penjajahan saat ini tidak lagi menyerang fisik dengan senjata, tetapi menyerang pemikiran umat. Inilah bentuk penjajahan gaya baru. Peran strategis santri dan pesantren justru dibajak untuk kepentingan mengokohkan sistem sekuler-kapitalisme.
Para santri dan pesantren dijadikan alat untuk merusak pemikiran umat. Padahal, fungsi adanya pesantren adalah sebagai agen penjaga nilai-nilai Islam dan pemikiran umat. Inilah racun di balik “kado istimewa” yang diberikan oleh presiden.
Santri dan Pesantren, Penjaga Pemikiran Umat
Santri dan pesantren memiliki peran strategis dalam menjaga umat dari pemikiran yang bertentangan dengan Islam. Semangat Resolusi Jihad di masa lalu untuk mengusir penjajah harus dijadikan sebagai tonggak perubahan menuju Islam kaffah dalam segala aspek kehidupan. Fungsi pesantren harus dikembalikan sebagaimana mestinya, yaitu sebagai mesin pencetak generasi fakih fiddin yang siap menjadi garda terdepan dalam membela Islam dan menegakkan syariat Islam.
Pesantren harus menentang segala bentuk pemikiran yang bersumber dari sekulerisme dan kapitalisme yang saat ini meracuni pemikiran umat. Santri bersama-sama dengan umat harus bersatu untuk melawan segala bentuk moderasi beragama dan memperjuangkan tegaknya syariat Islam. Karena sejatinya, umat Islam adalah umat terbaik.
Agar bisa mewujudkan kembali fungsi strategis pesantren, di sinilah peran negara. Dalam Islam, negara berfungsi sebagai ra‘in, yaitu pengurus urusan umat. Pendidikan adalah salah satu kebutuhan individu secara umum, sehingga pendidikan harus bisa dirasakan oleh setiap individu rakyat secara gratis dan berkualitas.
Negara wajib membangun sarana dan prasarana untuk menunjang kegiatan belajar di pesantren. Negara juga harus memberikan gaji yang layak kepada guru dan pengurus pesantren, sehingga pesantren tidak perlu bersusah payah mencari dana sendiri untuk memenuhi kebutuhannya.
Agar bisa memenuhi semua biaya pendidikan, sistem pendidikan harus ditopang oleh sistem ekonomi Islam. Biaya pendirian akan diambil dari dua pos pemasukan, yaitu:
- Kepemilikan negara, meliputi fai dan kharaj, serta ganimah, khumus (seperlima harta rampasan perang), jizyah, dharibah (pajak), dan hima (milik negara yang penggunaannya telah dikhususkan).
- Kepemilikan umum, seperti tambang minyak dan gas, hutan, dan laut.
Selain itu, negara akan melakukan pengawasan terhadap kurikulum pendidikan dan tenaga pendidik agar terbebas dari pemikiran sekulerisme. Segala informasi dari luar yang terdapat indikasi merusak pemikiran umat akan dihilangkan.
Demikianlah pengaturan Islam dalam membentuk generasi fakih fiddin yang siap menjadi pejuang garda terdepan untuk melindungi umat dari serangan pemikiran sekulerisme. Tentu saja, untuk mewujudkan semua itu dibutuhkan sistem Islam pula, yaitu Khilafah.
Wallahu a‘lam bishshawab.[]
*) Pemerhati Remaja


Post a Comment