Teladan Ulama dan Luka Umat di Sudan
Oleh: Syahril Abu Khalid*)
IndonesiaNeo, OPINI - Dalam sejarah panjang umat Islam, Allah menampakkan kepada kita dua wajah keteguhan: keteguhan para ulama yang berdiri di atas kebenaran tanpa gentar, dan keteguhan mereka untuk menahan diri ketika kekuasaan dapat mengguncang keutuhan umat. Dua di antara teladan besar itu adalah Imam Ahmad bin Hanbal dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahumallah.
Imam Ahmad pernah digiring ke penjara karena menolak mengikuti pendapat sesat penguasa yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Beliau disiksa, dicambuk, dan dihina di hadapan manusia. Namun hatinya teguh seperti gunung, tidak tergoyahkan oleh ancaman, tidak terpancing oleh kemarahan. Ia tahu bahwa di balik ujian itu ada amanah menjaga agama.
Namun di balik keteguhan itu pula, tersimpan keluhuran akhlak yang langka. Beliau tidak pernah menyeru umat untuk melawan penguasa, tidak pula menggerakkan massa yang begitu mencintainya untuk memberontak. Ia berkata, "Jika aku menyeru kepada kekacauan, maka berapa banyak darah kaum Muslim yang akan tertumpah? Sungguh, aku tidak ingin satu tetes darah kaum Muslim menjadi sebab di tanganku."
Demikian pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Ia juga dipenjara berkali-kali oleh penguasa zamannya, bukan karena ia lemah, tetapi karena ia memilih bersabar atas kezaliman demi terjaganya stabilitas umat. Beliau pernah berkata, "Penjaraku adalah khalwatku bersama Allah, pengusiranku adalah safarku menuju Allah, dan kematianku adalah syahid di jalan-Nya." Sungguh, hanya orang yang jernih pandangan imannya yang mampu melihat hikmah di balik penderitaan seperti itu. Ia lebih takut kepada fitnah perpecahan di tubuh umat daripada kepada cambuk dan rantai besi.
Keduanya, Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyyah, bukan ulama kecil. Mereka memiliki murid ribuan, cinta dari umat, dan kekuatan moral yang bisa mengguncang istana. Namun keduanya memilih diam dalam kebenaran, bukan memberontak dalam kemarahan. Mereka tahu bahwa terkadang jihad yang paling berat adalah menahan diri agar darah kaum Muslimin tidak tertumpah sia-sia. Mereka memahami makna sabda Nabi ﷺ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ فِي أَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلانِيَةً، وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُ بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ
"Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa, maka janganlah ia lakukan di depan umum, tetapi hendaklah ia mengambil tangannya dan berbicara dengannya secara pribadi. Jika penguasa menerima, maka itulah yang diharapkan, dan jika tidak, maka ia telah menunaikan kewajibannya." (HR. Ahmad No. 15369, Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah, Hadis No. 1096).
Lihatlah bagaimana akhlak para ulama terdahulu: teguh di atas kebenaran, namun tawadhu dalam sikap. Mereka tidak menjadikan ego sebagai pendorong perjuangan, tapi menjadikan maslahat umat sebagai kompas tindakan.
Hari ini, umat Islam kembali diuji, seperti di bumi Sudan. Dua jenderal Muslim, keduanya lahir dari negeri yang pernah menjadi benteng Al-Qur’an dan ilmu, kini saling menghunus senjata. Mereka membawa nama pasukan, membawa bendera, membawa janji keadilan, namun di balik itu darah kaum Muslimin menetes, anak-anak yatim menangis, dan bumi yang pernah makmur menjadi puing dan abu.
Andai mereka meneladani Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyyah, niscaya mereka tahu bahwa kemenangan sejati bukanlah merebut kursi, tapi menundukkan ego di hadapan Allah. Andai mereka menyadari bahwa darah seorang Muslim lebih mulia di sisi Allah daripada runtuhnya Ka‘bah, niscaya tangan mereka gemetar sebelum menekan pelatuk senjata.
Betapa jauh jiwa para ulama salaf dan khalaf dari cinta dunia. Mereka menahan diri bukan karena lemah, tapi karena takut kepada Allah. Mereka rela dipenjara karena keyakinan bahwa sabar di jalan kebenaran lebih mulia daripada menang dengan nafsu. Maka sungguh, jika para pemimpin hari ini memiliki sepotong saja dari keteguhan Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyyah, niscaya tidak akan ada darah kaum Muslim yang tertumpah di Sudan atau di mana pun di bumi ini.
Sungguh, dunia tidak layak diperebutkan dengan darah. Sebab dunia hanyalah bayangan yang berlalu, sedangkan darah seorang mukmin lebih berat di sisi Allah daripada runtuhnya seluruh Ka‘bah.
Rasulullah ﷺ bersabda:
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ قَتْلِ مُؤْمِنٍ بِغَيْرِ حَقٍّ
"Lenyapnya dunia lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang Muslim tanpa hak." (HR. Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah).
Betapa besar tanggung jawab di hadapan Allah bagi siapa pun yang menumpahkan darah kaum Muslimin karena ambisi dan kedengkian.
Maka kita belajar dari dua zaman, zaman salaf dan zaman khalaf, bahwa kekuatan seorang mukmin bukan hanya dalam keberaniannya berkata benar di hadapan penguasa zalim, tetapi juga dalam kesabarannya menjaga keamanan umat agar tidak binasa oleh fitnah. Imam Ahmad mengajarkan makna kesabaran dalam tahanan. Ibnu Taimiyyah mengajarkan makna kebebasan dalam penjara. Keduanya mengajarkan kita bahwa keagungan seorang ulama atau pemimpin bukan diukur dari seberapa banyak pengikutnya, tapi dari seberapa jauh ia menjaga umat dari kehancuran.
Semoga Allah menanamkan dalam dada para pemimpin Muslim keteladanan dua ulama agung ini, agar mereka menundukkan ego, menahan amarah, dan melihat rakyat bukan sebagai angka kekuasaan, tapi sebagai amanah yang akan ditanya di hadapan Allah.
Ya Allah, satukan hati umat Muhammad ﷺ di atas kebenaran, dan lindungilah kaum Muslimin dari pertikaian yang sia-sia. Jadikan darah mereka suci di bumi sebagaimana Engkau muliakan ruh mereka di langit.
اللهم ألّف بين قلوبنا واهدنا سبل السلام، ونجّنا من الفتن ما ظهر منها وما بطن.
Aamiin ya Rabbal ‘alamin.[]
*) Mubaligh dan Pemerhati Dunia Islam


Post a Comment