Header Ads


Giant Sea Wall: Mesin Komersialisasi Ala Kapitalis

Oleh: Ainun Kie*)


IndonesiaNeo, OPINI - Pesisir Pantai Utara (Pantura) Jawa Tengah menghadapi masalah banjir rob (banjir pesisir) akibat subsidensi tanah dan kenaikan permukaan laut. Elevasi pesisir yang relatif rendah menyebabkan subsidensi semakin parah. Dengan demikian, banjir rob akan terjadi (kompas.id). Ketika air laut mengalami kenaikan, banjir rob menjadi bencana yang sangat merugikan, terutama dari sisi materi. Sehingga harus ada upaya untuk menanganinya.

Presiden Prabowo Subianto, dalam merespons dan konon sebagai solusi masalah tersebut, merencanakan pembangunan Giant Sea Wall (GSW) atau tanggul laut raksasa di pesisir Pantai Utara Jawa (Pantura). Direncanakan dibangun sepanjang 500 km dari Banten hingga Gresik, Jawa Timur. Giant Sea Wall bukan sekadar proyek fisik, melainkan upaya menyelamatkan nyawa puluhan juta orang. Proyek ini menelan anggaran hingga US$ 80 miliar atau Rp 1.298 triliun (cnbcindonesia.com).

Tanggul laut raksasa (Giant Sea Wall) merupakan mega proyek yang telah direncanakan sejak tahun 1995 oleh Presiden ke-2 RI, Soeharto. Giant Sea Wall sudah masuk dalam Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Dimulai sejak tahun 2014 dan akan terwujud tahun 2027. Proyek pembangunan tersebut meliputi pembangunan tanggul laut raksasa di sepanjang pantai, pembangunan waduk air, dan reklamasi lahan. Pembangunan tanggul laut sepanjang 8 km di pantai secara resmi diluncurkan pada 9 Oktober 2014 (id.wikipedia.org).


Agenda Menjajakan Proyek Giant Sea Wall

Pembangunan tanggul laut raksasa jelas membutuhkan dana yang fantastis dan waktu yang relatif panjang. Diperkirakan untuk wilayah Teluk Jakarta membutuhkan 8–10 tahun, sedangkan di Jawa Timur 15–20 tahun untuk menyelesaikan mega proyek ini. Dari kesiapan dana, jelas pemerintah tidak memiliki kesiapan. APBN tidak memungkinkan untuk membiayai mega proyek tersebut, sebab telah terkuras pada utang luar negeri, program Makan Bergizi Gratis (MBG), kesehatan gratis, dan kelanjutan pembangunan IKN. Jalan lain yang akan ditempuh oleh pemerintah adalah dengan menggandeng para investor asing.

Hal ini disambut antusias oleh para korporat. Negara-negara besar seperti Negeri Tirai Bambu, Belanda, dan Korea Selatan menunjukkan ketertarikannya pada proyek GSW. Tampak saat Prabowo melakukan kunjungan ke Cina dan menyinggung terkait proyek Giant Sea Wall kepada Xi Jinping. Kunjungan tersebut diakhiri dengan kesepakatan untuk meningkatkan kerja sama bilateral antara Indonesia dan Cina. Respons baik investor Cina menjadi angin segar bagi Indonesia untuk meraup keuntungan investasi.

Presiden Prabowo bahkan menyatakan keterbukaannya terhadap kerja sama internasional. Agenda menjajakan proyek GSW ke investor global dilakukan dengan narasi “menyelamatkan Pulau Jawa”. Pada International Conference on Infrastructure (ICI) 2025, yang dihadiri lebih dari 7.000 peserta dari berbagai negara partisipan termasuk Indonesia, Amerika Serikat, Australia, Jepang, Tiongkok, Uni Eropa, Uni Emirat Arab, Inggris, Swiss, dan negara-negara investor lainnya, Presiden RI Prabowo Subianto dalam pidatonya menyampaikan program yang telah digagasnya, yakni tanggul laut raksasa untuk menarik perhatian investor asing maupun aseng. ICI 2025 akan menjadi panggung penting bagi kolaborasi internasional dengan kehadiran investor dan lembaga pembiayaan termuka secara global seperti Macquarie (Australia), GIC (Singapura), World Bank, International Finance Corporation (IFC), Asian Development Bank (ADB), dan The Asian Group.


Mesin Komersialisasi Negara

Direktur Indonesia Justice Monitor, Ustaz Agung Wisnuwardana, mengatakan infrastruktur adalah alat; tanpa visi, hanya akan menjadi mesin komersialisasi negara (10/06/2025). Giant Sea Wall bukan hanya tanggul raksasa. Di balik itu, timbul mega proyek properti, apartemen elit, kawasan bisnis, pelabuhan yang masuk uang asing, namun mengeluarkan ruang hidup rakyat kecil.

Jika konsep GSW yang dibangun oleh Prabowo seperti yang diungkapkan oleh Ahok (18/9/2024), bukankah proyek ini hanya akan menguntungkan para pengusaha properti dan para pengembang, serta melupakan hak warga pribumi terutama terkait dengan kebutuhan permukiman yang layak huni?

Jika merujuk pada konsep yang pernah diungkapkan oleh Ahok saat menjadi Wakil Gubernur Jakarta, konteks Giant Sea Wall tak sekadar penahan ombak, melainkan seperti Pantai Indah Kapuk (PIK), Pluit, dan Muara Karang. Maka akan bermunculan perumahan-perumahan mewah dengan dalih penahan ombak.

Dikuatkan dengan pernyataan bakal calon Gubernur Jakarta, Ridwan Kamil, terkait rencana pembangunan GSW yang akan menyulap wilayah Utara Jakarta menyerupai Dubai. Nelayan sejak generasi ke generasi menggantungkan hidup dari laut. Perlahan mereka bisa tergusur; pantai tempat mereka berlabuh disulap menjadi kawasan eksklusif, akses laut bisa ditutup, dan suara mereka tidak pernah dimintai, apalagi dihargai. Nelayan dianggap tidak punya nilai di mata kalkulasi investasi (21/09/2024).

Upaya mencegah banjir rob dari Pantai Utara Jawa sangat penting, termasuk menata kembali Jakarta dan wilayah aglomerasi Jabodetabek serta Pulau Jawa untuk mencegah risiko lingkungan. Akan tetapi, pendekatannya tidak seperti Pantai Indah Kapuk di Pantai Utara Jakarta sampai Gresik, sebab pola seperti ini hanya akan menguntungkan pengusaha properti, orang-orang kaya, dan menghilangkan hak hidup orang banyak.

Sejatinya, pembangunan tanggul laut raksasa tidak menyelesaikan akar masalah banjir dan ancaman tenggelamnya Pulau Jawa. Proyek GSW hanya menyelesaikan masalah di hilir saja, seharusnya pemerintah menyelesaikan perkara di hulu juga. Jika merujuk pada sejarah, Pulau Jawa telah dieksploitasi untuk kepentingan industri sejak masa kolonial sampai sekarang. Akibatnya, ekosistem laut rusak dan keseimbangan alam Pulau Jawa menjadi terganggu.

Beban bangunan, aktivitas tektonik, dan eksploitasi air tanah yang berlebihan menjadi penyebab penurunan permukaan tanah. Amrta Institut dan Tifa Foundation melakukan penelitian pada tahun 2011 yang hasilnya menunjukkan bahwa penggunaan air tanah ilegal oleh industri korporasi di Jakarta mencapai 92% (19/12/2024). Maka solusi yang dibutuhkan adalah membenahi regulasi air tanah, mencegah eksploitasi sumber daya alam, serta merapikan tata kota.


Khilafah Menjaga Alam dari Kerusakan

Islam memandang kehidupan berdasarkan pada keyakinan bahwa manusia, kehidupan, dan alam semesta diciptakan Allah SWT. Allah menurunkan syariat yang mengatur cara manusia memanfaatkan lingkungan semata-mata untuk kesejahteraan dan kebaikan manusia. Islam menetapkan bahwa hubungan manusia dengan alam adalah hubungan yang saling melengkapi. Allah Ta‘ala memberikan amanah kepada manusia sebagai khalifah di bumi yang salah satu tugasnya adalah memakmurkan dan menjaga bumi dari kerusakan.

Rasulullah saw. memerintahkan untuk memelihara lingkungan dan tidak boleh merusaknya: “Sesungguhnya Allah mewajibkan untuk berbuat baik terhadap segala sesuatu.” (HR Muslim). Juga sabda Rasulullah: “Apabila seorang muslim menanam tanaman, lalu dimakan burung, manusia, dan hewan, hal itu termasuk sedekah.” (Muttafaq ‘alaih).

Upaya menyelamatkan bumi dari kerusakan membutuhkan peran semua pihak, baik individu, masyarakat, maupun negara. Negara berperan paling penting karena khalifah atau kepala negara berfungsi sebagai raa‘in yang akan menerapkan aturan Islam secara kaffah. Untuk menjaga bumi dari kerusakan, khalifah akan menetapkan kebijakan, di antaranya:

Pertama, negara akan mengelola kekayaan alam yang menjadi kepemilikan umum untuk kemaslahatan umat. Air, sungai, danau, laut, serta hutan (termasuk mangrove) adalah milik rakyat secara keseluruhan. Sabda Rasulullah saw.: “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad). Ini adalah tindakan preventif agar tidak terjadi eksploitasi lingkungan yang berdampak pada kerusakan.

Kedua, negara akan mendukung fungsi ekologis dan hidrologis hutan, sungai, dan danau sesuai ketentuan syariat. Negara akan mengedukasi masyarakat agar menjaga lingkungan.

Ketiga, negara akan membuat Rencana Tata Ruang Wilayah yang memperhatikan kelestarian lingkungan.

Keempat, memperketat izin pembangunan dan alih fungsi lahan. Jika alih fungsi lahan terpaksa dilakukan, harus dilakukan secara tepat sasaran, bukan semata demi kepentingan para pemilik modal.

Kelima, pengawasan terhadap izin dan operasional industri-industri swasta. Negara harus tegas memberi sanksi, bahkan menutup industri swasta yang merusak lingkungan.

Keenam, negara akan mendorong penelitian, teknologi, dan pembangunan yang ramah lingkungan. Negara akan mendukung penuh dengan dana dan memberdayakan para pakar di bidangnya, sehingga lahir kemajuan sains dan teknologi ramah lingkungan yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia.

Ketujuh, Khilafah akan memberikan sanksi tegas bagi yang melakukan perusakan lingkungan. Dalam Islam, kejahatan ini termasuk kategori jarimah ta‘zir, jenis hukumannya diserahkan kepada penguasa atau qadhi. Hukumannya dapat berupa jilid (dera), penjara, pengasingan, denda, penyitaan/perampasan harta, dan penghancuran barang sesuai dengan kadar besar dampak dan kerusakan yang telah dilakukan oleh pelaku perusakan lingkungan.

Syekh Abdurrahman al-Maliki dalam kitab Nizham al-‘Uqubat (Sistem Sanksi dalam Islam), hlm. 242, menyebutkan: “Sanksi ta‘zir ditetapkan sesuai dengan tingkat kejahatannya. Kejahatan yang besar mesti dikenai sanksi berat sehingga tercapai tujuan sanksi, yakni pencegahan.”

Demikian, hanya sistem Islam yang peduli akan kelestarian lingkungan; tidak hanya mendukung kemajuan atau pembangunan, tetapi juga mendorong penjagaan lingkungan. Umat perlu menyadari bahwa pembangunan dalam peradaban kapitalisme hanya akan menyebabkan kesengsaraan manusia dan merusak lingkungan. Wallahu a‘lam.[]


*) Pemerhati Kebijakan Publik

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.