Header Ads


Cengkeraman Kapitalis Kembali Ancam Negeri Muslim

Oleh: Yuli Mariyam*)


IndonesiaNeo, OPINI - Amerika Serikat sebagai negara pengusung ideologi kapitalisme tak henti-hentinya mencengkeramkan cakarnya di negeri-negeri kaum muslimin di seluruh penjuru dunia. Kali ini, Sudan menjadi tujuannya — negeri muslim dengan kondisi krisis bertahun-tahun akibat berseterunya dua faksi yang dulunya bersekutu untuk menggulingkan diktator Omar Al-Bashir pada tahun 2019. Dua faksi tersebut adalah militer pemerintah Sudan atau disebut Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) di bawah pimpinan Jenderal Abdul Fatah al-Burhan, dan paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF) di bawah pimpinan Muhammed Hamdan Dagalo. Kini, Sudan mengalami kondisi yang sangat memprihatinkan.

Pada akhir Oktober 2025, Kota El Fasher yang telah dikepung selama 18 bulan oleh RSF didapati sebanyak 1,2 juta penduduk hidup dari pakan ternak tanpa adanya makanan dan obat-obatan. Sedikitnya ada 2.000 orang tewas dan lebih dari 26.000 orang melarikan diri ke Kota Tawilah. Banyak perempuan diperkosa dan ditemukan gundukan-gundukan besar yang disinyalir sebagai kuburan massal atas kekejaman perang saudara ini (detikjogja.com, 31/10/2025).


Sudan, Negeri Kaya SDA

Konflik di Sudan sejatinya sudah berlangsung sejak lama. Hal ini terjadi bukan hanya karena konflik antaretnis Arab maupun Afrika, melainkan ada tunggangan politik dari negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat dan Inggris yang melirik sumber daya alam melimpah di wilayah Sudan.

Kita ketahui bersama bahwa pertanian di Sudan banyak menghasilkan kapas, kacang tanah, wijen, gom arab, dan tebu. Sedangkan dari sumber daya alam mineralnya, Sudan kaya akan tambang emas, krom, besi, mangan, uranium, tembaga, kaolin, dan gipsum. Di sisi lain, dari sumber daya alam berbentuk energi, Sudan juga memiliki minyak bumi dan gas alam yang melimpah. Selain itu, sumber daya alam yang dapat diperbarui seperti angin juga terdapat di Sudan sebagai pembangkit listrik dan irigasi (kumparan.com, 4/11/2025).

Sudan sebagai negeri bekas jajahan Inggris dalam Kondominium Mesir (1899–1956) dibagi menjadi dua wilayah, yakni Sudan Utara dan Sudan Selatan. Tidak hanya itu, Inggris juga menabur benih ketegangan politik dan etnis. Politik divide et impera yang menjadi ciri khas Inggris memecah belah kaum muslimin dari kesatuannya menjadi bangsa-bangsa nasional. Hal ini dilakukan untuk mempermudah penjajahan dan penguasaan terhadap kekayaan yang ada di negeri tersebut.

Selain itu, Amerika Serikat dengan geopolitiknya bekerja sama dengan Uni Emirat Arab (UEA) dan juga Israel dalam mendukung RSF, yang semakin memperpanjang konflik tersebut. Campur tangan asing ini diberitakan dengan adanya bantuan dana dan peralatan oleh UEA, sementara Israel dan AS memberi bantuan intelijen serta taktis dengan dalih menjaga stabilitas regional terhadap kelompok kekerasan (hidayatullah.com, 3/11/2025).


Umat Butuh Naungan

Konflik yang terjadi di negeri-negeri kaum muslim seluruh dunia — seperti Palestina, Rohingya, Suriah, Uyghur, dan kini Sudan — sejatinya tidak akan pernah berhenti sampai kaum muslimin memahami bahwa satu-satunya cara untuk membebaskan seluruh negeri muslim dari penjajahan, baik fisik maupun nonfisik, adalah dengan bersatu dalam satu naungan Khilafah, sebuah sistem yang menerapkan syariat Islam secara kaffah atau menyeluruh.

Sebagaimana kapitalis dan sosialis yang mempunyai cara untuk menyebarkan mabda’ atau ideologinya, Islam juga memiliki cara yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk menjalankan hukum-hukum Islam secara menyeluruh dalam sebuah sistem kenegaraan, yaitu Daulah Islam.

Hal itu dimulai dari kesadaran individu muslim terhadap asas akidahnya. Tiga pertanyaan besar yang harus dijawab oleh setiap individu adalah: dari mana ia berasal, untuk apa ia hidup di dunia ini, dan akan ke mana setelah mati nanti. Tiga pertanyaan inilah yang akan membuat pola pikir seorang muslim selaras dengan pola sikapnya, yakni senantiasa terikat dengan hukum syara’.

Ketika memahami satu ayat di dalam Al-Qur’an, seperti firman Allah Subhanahu Wa Ta‘ala dalam Surah Al-Hujurat ayat 10:

اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَ اَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ

“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara. Karena itu, damaikanlah antara kedua saudaramu (yang bertikai) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu dirahmati.”

Maka kaum muslim tidak perlu mencari penengah dari orang kafir terhadap konflik yang terjadi di antara mereka. Seorang muslim tidak akan menyakiti muslim lainnya karena sesama muslim bagaikan satu tubuh; ketika ada yang terluka, maka yang lain akan membantu.

Muslim hanya perlu mengembalikan semua urusan kepada hukum syariat yang diberikan Allah dan dicontohkan Rasulullah. Dari individu-individu muslim yang menginginkan dirinya diatur oleh syariat, akan lahir sekelompok orang yang mengemban ideologi ini untuk disebarkan ke seluruh dunia — bukan dengan kekerasan, kudeta, atau penjajahan seperti yang dilakukan oleh kapitalis dan sosialis, tetapi dengan dakwah li isti’naf al-hayatil Islam atau ajakan untuk melanjutkan kehidupan Islam.

Ajakan ini merupakan salah satu wujud ketaatan kepada Allah atas seruan amar ma’ruf nahi munkar dan juga berjamaah dalam dakwah sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah bersama para sahabat 1.400 tahun yang lalu.

Kesadaran umum inilah yang akan menumbuhkan kesepakatan di tengah-tengah masyarakat dan umat seluruh dunia untuk kembali kepada Islam dan berada dalam satu naungan, yakni Khilafah Islamiyah ‘ala minhajin nubuwwah. Dari satu komando khalifah sebagai pemimpin negara, kaum muslim akan bersatu, menjadi adidaya dari segi pangan hingga militer. Inilah yang akan menjemput rahmat atas pembebasan kaum muslim di negeri-negeri tertindas.

Wallahu a‘lam bishshawab.[]


*) Pendidik Generasi Tangguh

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.