Header Ads


Konflik Agraria di Kendari Terjadi Lagi, Siapa yang Salah?

Oleh: Ummu Maryam*)


IndonesiaNeo, OPINI - Belum lama ini, warga Tapak Kuda menolak Pengadilan Negeri (PN) Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra), melakukan konstatering atau pencocokan lahan sengketa. Warga yang menolak pencocokan itu langsung memblokade ruas jalan protokol. Dilansir dari Sultranews.com pada hari Kamis (30/10/2025), tampak warga Tapak Kuda memblokade perempatan McDonald’s Jalan Made Sabara dan Jalan Buburanda, Kelurahan Korumba, Kecamatan Mandonga. Warga juga memblokade bundaran Tapak Kuda di Jalan Malik Raya dan Tapak Kuda.

Diketahui konflik lahan ini melibatkan Koperasi Perikanan/Perempangan Saonanto (KOPPERSON) di wilayah Tapak Kuda, Kecamatan Mandonga, Kota Kendari, sebagai pihak yang meminta penggusuran di wilayah sekitar Tapak Kuda. Sementara pihak yang “kontra” atau pihak yang menolak klaim koperasi adalah warga lokal yang mengklaim memiliki tanah di lahan tersebut. Padahal, Pemkot Kendari melalui pernyataan Wali Kota Kendari, Siska Karina Imran, dalam sebuah wawancara menyebut bahwa dirinya belum tahu-menahu adanya penggusuran. Namun, dirinya menegaskan bahwa wilayah Tapak Kuda merupakan zona RTH. Artinya, izin bangunan permukiman maupun bisnis dilarang. Pihaknya juga masih berusaha menyiapkan masterplan untuk wilayah tersebut.

Konflik berawal saat KOPPERSON mengklaim memiliki hak atas lahan tersebut. Ini didasarkan pada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) yang memenangkan mereka. Mereka menuntut pelaksanaan eksekusi atau konstatering (pencocokan objek sengketa) atas lahan tersebut. Di sisi lain, warga yang sudah puluhan tahun tinggal di wilayah tersebut menolaknya. Mereka beralasan bahwa SHM yang diterbitkan oleh pemerintah setelah Hak Guna Usaha (HGU) yang sebelumnya dimiliki oleh pihak lain (diduga terkait KOPPERSON) berakhir dan tanah kembali menjadi milik negara pada tahun 1999. Warga bersikeras bahwa kepemilikan mereka sah dan tidak dapat diganggu gugat. Padahal, wilayah Tapak Kuda di Kendari telah ditetapkan sebagai Zona Hijau atau Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik sejak tahun 2010 dan diperkuat oleh Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2012 tentang RTRW Kota Kendari. Inilah yang membuat konflik tanah ini semakin rumit.

Secara hukum, tanah yang sedang dalam status sengketa (status quo) seharusnya tidak dapat diterbitkan Sertifikat Hak Milik (SHM) yang baru. Namun, dalam praktiknya hal ini bisa terjadi, dan sertifikat yang diterbitkan tersebut berpotensi untuk dibatalkan. Sehingga, rentan kemudian terjadi konflik. Konflik agraria banyak dan beragam jenis kasus tanah di Kota Kendari maupun regional Sultra. Dari konflik besar lahan transmigrasi, perusahaan, hingga lahan perkotaan yang diklaim di kemudian hari. Setidaknya ada puluhan kasus besar soal agraria yang melibatkan masyarakat biasa dengan perusahaan swasta bahkan pemerintah dalam kurun lima tahun terakhir.

Lalu, mengapa kejadian semacam ini terus berulang? Dan hampir di semua wilayah di Indonesia. Bayangkan, kita hidup puluhan tahun di atas tanah yang sudah menjadi milik kita bahkan mengantongi bukti kepemilikan tanah berupa sertifikat. Tapi tetap saja, secara tiba-tiba muncul pihak lain yang hendak merampas hak milik kita. Mimpi buruk itu semakin parah apabila lawan kita merupakan pihak yang memiliki kuasa, baik swasta atau bahkan pemerintah. Dalam kasus ini misalnya, BPN selaku instansi yang berkaitan secara langsung justru lalai. Mengapa tanah yang masih dalam status sengketa (status quo) diterbitkan kepemilikan sertifikat? Pun halnya dengan Pemkot Kendari yang menerbitkan aturan zona RTH pada 2010 di wilayah tersebut, padahal warga sudah tinggal di sana lebih dari 10 tahun.

Kejadian tumpang tindih sertifikat atau konflik tanah lainnya bukan yang pertama kali. Ada beberapa alasan mengapa ini biasa terjadi, di antaranya: lemahnya validasi data di BPN, kesalahan administrasi dan pengukuran, maupun konflik tanah negara dan masyarakat. Kelalaian itu sering kali disengaja karena justru dijadikan lahan basah bagi oknum pejabat “nakal” BPN. Ketika ada pihak-pihak kemudian saling klaim lahan, maka di situlah oknum tersebut bermain. Terbukti, banyak kasus agraria terutama di wilayah Sultra, pelaku tindak korupsi menjadikan modus suap semacam itu dalam kasus mereka.

Lain halnya dalam Islam, di mana menerapkan prinsip keadilan adalah sebuah keharusan. Bukan hanya adil untuk kaum lemah, namun juga adil bagi si kaya sekalipun, sehingga tidak ada yang terzalimi. Bilamana lahan tersebut memang hak bagi masyarakat biasa, maka harus diberikan dan dijaga keamanan mereka. Sebaliknya, bilamana perusahaan atau orang kaya yang terbukti secara hukum sebagai pemilik, maka juga harus diberikan. Persoalannya, dari awal memang status lahan tidak jelas. Dan ketika konflik itu muncul juga tidak segera diselesaikan. Bahkan seperti ada kesan konflik horizontal itu sengaja dipelihara.

Selain itu, ada komunikasi yang kurang efektif antar lembaga. Putusan inkracht yang dimiliki oleh Koperasi Perikanan/Perempangan Saonanto (KOPPERSON) tercatat dalam perkara Nomor 48/Pdt.G/1993/PN KDI pada tahun 1995. Namun, gagal dilakukan eksekusi karena pihak yang menolak klaim putusan (masyarakat) menilai putusan tersebut tidaklah kuat. Kurang lebih 20 tahun lahan tersebut menjadi sengketa, tetapi baik pihak pengadilan maupun BPN tidak segera menyelesaikan. Sudah maklum bagi kita bahwa kerja birokrasi kita seperti itu. Entah karena ada ego sektoral atau mungkin hanya oknum semata. Tapi pada akhirnya rakyat jugalah yang menjadi korban.

Tanah menjadi sumber penghidupan utama, terutama bagi sektor pertanian, peternakan, dan industri. Tanah menjadi ruang dasar kehidupan dan fondasi kehidupan fisik manusia di bumi. Di atasnya manusia membangun rumah, jalan, maupun infrastruktur lainnya, sekaligus menjalankan aktivitas sosial dan budaya juga. Karenanya, Islam mengatur bagaimana memenuhi kebutuhan manusia akan tanah. Manusia diberi hak untuk memanfaatkan tanah:

“Dialah yang menjadikan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya...” (QS. Hud [11]: 61).

Dalam sistem Islam, bila ada konflik terkait tanah/lahan, setidaknya ada dua pihak yang harus diperhatikan. Pertama, masyarakat yang sedang bersengketa. Kedua, pemerintah selaku pihak yang menjalankan regulasi.

Pertama, bagi pihak yang bersengketa, masing-masing orang akan memiliki ketakwaan individu. Mereka memiliki kesadaran bahwa mengambil tanah yang bukan haknya merupakan dosa besar sebagaimana hadis Rasulullah:

“Barang siapa mengambil sejengkal saja dari tanah orang lain secara zalim, maka Allah akan kalungkan kepadanya tanah itu dari tujuh lapis bumi.” (HR. Bukhari No. 2452 dan Muslim No. 1610)

Kedua, pemerintah sebagai pihak yang menjalankan regulasi juga menjalankan perannya. Pemerintah akan menyiapkan sistem birokrasi yang terbaik. Sebagaimana dikutip dari kitab Ajhizatu Daulah Khilafah (Struktur Negara Islam) disebutkan bahwa sistem administrasi Khilafah memegang prinsip Ihsan (kesempurnaan) yang berarti mengandung tiga hal: kesederhanaan aturan (praktis), kecepatan dalam pelayanan transaksi, dan ditangani oleh profesional. Yang sudah tentu ini tidak kita dapati hari ini.

Sementara, bila terjadi pelanggaran, negara dengan segala perangkat hukumnya akan menindak hal itu. Negara menyiapkan sistem peradilan yang tidak hanya melayani perkara antarsesama rakyat, melainkan juga perkara antara rakyat dengan penguasa. Dan sekali lagi, ini juga belum kita dapati dalam sistem hari ini. Jangankan menjadi pemutus perkara terbaik di antara persengketaan sesama rakyat, bahkan hari ini negara sering kali terlibat menjadi pihak yang bersengketa dengan rakyatnya sendiri. Maka benar firman Allah dalam surah Thaha ayat 124:

“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku (Al-Qur’an), maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.”

Sesungguhnya harus disadari bahwa inilah konsekuensi dari hidup yang menolak menerapkan hukum Allah. Tapi semoga keadaan kita hari ini akan segera berubah, dan keberkahan negeri yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur segera tiba.

Wallahu a‘lam.[]


*) Pegiat Literasi

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.