Header Ads


DDT-19 vs Covid-19

Oleh: Sunarwan Asuhadi
(Alumni PSL Institut Pertanian Bogor)

Pada 22.28 Wita, 23 April 2020, saya tertegun menyimak postingan Pak Nadar, Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Disparekraf) Kabupaten Wakatobi yang diakhiri tagar #backtonatureaftercovid19, di salah satu grup WhatsApp Wakatobi.

Saya pun memastikan beberapa gambar yang dikirim beliau.

Gambar-gambar tersebut laksana pajangan, seiring suasana Hari Bumi ke-50, yang lebih banyak dirayakan secara virtual pada 22 April  lalu.

Tema global untuk Hari Bumi kali ini adalah Protecting the Species. Lalu menginspirasi Google membuat doodle dalam bentuk permainan interaktif pada halaman utama pencarian.

Tema doodle tersebut dibuat bersama Honeybee Conservancy yang berbasis di New York City, untuk menunjukkan peran penting spesies yang hampir punah, yakni lebah. Lebah menjadi simbol dalam mempertahankan produksi ekologis bumi.

Gambar pertama menampilkan penyu belimbing yang bertelur bebas di Thailand dan Pantai Juno di Florida. Penyu seakan merdeka tanpa tekanan manusia di masa pandemi Covid-19 ini.

Di negara-negara seperti Jepang, Italia, Thailand, bahkan China, orang-orang menyadari kehadiran binatang liar yang berkeliaran di jalan karena tak ada manusia. Di Jepang misalnya, di Taman Nara, rusa-rusa setempat turun ke jalanan untuk mencari makanan.

Ada juga hasil tangkap layar artikel yang dikirim beliau, dengan judul: Gambar Rusa-Rusa Mencari Makanan di Jalanan kota, Monyet-Monyet yang Kelaparan Turun ke Jalan, Binatang Buas Berkeliaran Saat Pembatasan Sosial di Israel, Foto Hewan Liar ‘Kuasai’ Jalanan Saat Pandemi, Fenomena Menarik Saat Lockdown: Polusi Berkurang Hingga Binatang Buas Rajai Jalanan, Polusi Udara Menurun, Warga India Bisa Lihat Gunung Himalaya, Gunung Tampak dari DKI Saat Pandemic Covic-19, Walhi: Udara Bersih, Lockdown Covid-19 Udara di Kota-Kota Eropa Lebih Bersih, serta Heboh Gunung Gede dan Salak Terlihat dari Jakarta, Ini Kata Walhi.   

Menyaksikan aneka artikel di atas, sebagai pemerhati lingkungan, langsung mengingatkan saya dengan buku yang ditulis oleh biolog kelautan, Rachel Carson. Buku tersebut berjudul Silent Spring.

Karyanya diterbitkan pada 1962. Isinya mengulas tentang efek pestisida DDT terhadap kehidupan liar dan pengaruh jangka panjang pada rantai makanan.

Di Indonesia, buku tersebut telah diterjemahkan dengan judul Musim Bunga yang Bisu. Dalam perkembangannya telah menginspirasi berbagai gerakan lingkungan di negeri ini. Termasuk model bercocok tanam organik.

Apa menariknya buku Silent Spring?

Mumpung saat ini di AS adalah musim semi (21 Maret – 20 Juni).

Buku Silent Spring mencolek ingatan kolektif masyarakat dunia, khususnya Amerika Serikat (AS). Yakni lingkungan yang sebelumnya nyaman untuk ditinggali, terdengar suara alam dengan sangat jernih setiap harinya.

Awalnya terdengar suara ternak yang mengembik, ayam-ayam yang berkokok, hingga nyanyian burung-burung yang beterbangan rendah di antara pohon-pohon. Terdapat juga ikan-ikan kecil di kolam yang aktif bergerak waktu melahap makanannya.

Suasana alam yang demikian syahdu, mendadak hilang di hadapan mata. Ada sesuatu “sihir” yang menghilangkan burung-burung di pepohonan. Ternak-ternak tak mengeluarkan suara. Pun ikan-ikan menghilang misterius dari kolam.

Ternyata “Sihirnya” adalah temuan baru manusia abad 19 yang bernama DDT (Dichloro Diphenyl Trichloroethane). DDT merupakan suatu pestisida yang sangat massal digunakan di Amerika kala itu. Izinkan saya menyebutnya DDT-19.

Mayoritas petani AS percaya bahwa DDT-19 merupakan solusi terbaik dalam menghadapi berbagai hama, yang mengganggu panen mereka. Kenyataannya, mengandung kerugian yang sangat dahsyat.

Produksi DDT-19 telah berdampak menghilangkan sejumlah satwa. Menghasilkan musim semi tanpa irama suara alam yang indah.

Ringkasnya buku Silent Spring telah mempengaruhi banyak kebijakan lingkungan di AS. Termasuk pemberlakuan Environmental Impact Assesment (EIA) pada Januari 1970. EIA di Indonesia disebut Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), berlaku sejak 1986.

Bahkan karya wanita tersebut (Rachel Carson) telah melatari dibentuknya EPA (Environmental Protection Agency) yang dibentuk tahun 1970 di AS.

Oh, iya. Termasuk lahirnya Hari Bumi merupakan pengaruh buku Silent Spring ini.

Adalah Senator Gaylord Nelson, yang terpilih di Senat AS tahun 1962, berhasil meyakinkan pemerintah bahwa planet bumi berada dalam bahaya. Pada 1969, Nelson kemudian menjadi salah satu orang yang menggagas Hari Bumi.

Demikianlah kontras antara suasana kota pada masa silent spring yang disinggung oleh Rachel Carson akibat DDT-19 dan pandemi Covid-19 yang disebutkan Pak Nadar.

Kota menjadi ramai sebagai lokasi wisata untuk satwa.

Kok, disebut lokasi wisata untuk satwa?

Iya. Karena ekosistem kota, dengan gedung pencakar langitnya, bukanlah lokasi ideal untuk satwa.

Menyikapi fenomena perubahan lingkungan perkotaan, seismolog observatorium Kerajaan Belgia di Brussel, Thomas Lecoq mengatakan pembatasan gerak manusia membuat derau seismik di kota itu turun sepertiga dibanding sebelumnya. "Ini seolah-olah bumi di 'reset' atau diputar kembali", katanya.

Covid-19 telah me-reset bumi secara fisik.

Lalu, bagaimana agar hasil dari proses instalasi bumi ini bisa dipertahankan?

Bumi membutuhkan tatanan global yang “compatible” dengan sifat-sifat bumi. Tatanan yang sesuai dengan watak bumi.

Selama ini bumi mengalami kegagalan, kecacatan,  maupun kelalaian akibat instalasi software (tata kelola) yang keliru.

Bumi sebagai hardware (ekosistem fisik) dikelola dengan tata kelola sistem kapitalisme yang serakah. Hasilnya sangat mengkhawatirkan kehidupan bumi.

Sifat-sifat kehidupan bumi yang memiliki daya pulih yang terbatas dipaksakan dikendalikan dengan kebijakan pembangunan kapitalisme yang “rakus”. Akhirnya sumber daya alam dan biodiversitas terancam berat keberlanjutannya.

Pada akhirnya, tema Hari Bumi kali ini “Protecting the Species” akan menjadi formalitas. Sebagaimana nasib buku The Limit to Growth. Karya para ahli dengan berbagai latar belakang keahlian dan profesi yang terwadahi dalam forum bernama The Club of Rome.

Harusnya sifat-sifat lebah yang dipasang sebagai doodle pada halaman utama pencarian google dapat diteladani. Lebah memberikan manfaat dengan kualitas terbaik kepada lingkungannya.

Buku The Limit to Growth telah mendesak dunia agar pertumbuhan ekonomi dibatasi atau dikendalikan secara sadar. Namun, tatanan global dengan sistem kapitalisme tidak mempedulikannya.

Saatnya bumi ini di-reset ulang dengan sistem yang selaras dengan karakteristik bumi.

Sistem apa?

Satu-satunya sistem yang menggabungkan tatanan langit (agama) dan tatanan bumi (ideologi) adalah Islam. Tak ditemukan pada agama manapun. Juga tidak ditemukan pada sistem (ideologi) manapun.

Agama non Islam mengajarkah spiritualitas, tapi tak mengajarkan metode ideologis (ekonomi, politik, sosial, dlsb). Ahistoris sebagai tatanan negara.

Sebaliknya ideologi non Islam mengajarkan tatanan negara, tapi tak memiliki spiritualitas.

Memangnya sistem Islam dapat diterapkan?

Secara empiris, historis, dan normatif memenuhi syarat untuk diterapkan. Nabi Muhammad SAW telah mencontohkannya, dilanjutkan oleh khulafaurrasyidin, Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyyah, dan Bani Utsmaniyyah (± 13 abad).

Back to nature maknanya tidak hanya mengalamiahkan ekosistem, termasuk menghijaukan wilayah kota atau memakan makanan yang bukan dari industri olahan. Maknanya adalah kembali kepada esensi pemahaman kehidupan alamiah: alam semesta, kehidupan, dan manusia adalah ciptaan Allah SWT.

Oleh karena itu, maka pengelolaan bumi harus dikembalikan pada tatanan yang diperintahkan oleh Allah SWT, yakni menerapkan Islam sebagai Rahmatan lil ‘Alamiyn.(*)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.