SEJARAH INDONESIA SANGAT ERAT DENGAN ISLAM DAN KHILAFAH
Oleh: Wahyudi al Maroky
(Dir. PAMONG Institute)
Perjalanan sejarah bangsa Indonesia tak lepas dari sejarah raja-raja nusantara. Sementara raja-raja Nusantara memiliki hubungan yang sangat erat dengan islam dan khilafah.
Tak aneh jika banyak raja Nusantara yang masuk islam. Selanjutnya gelar mereka berubah dari raja menjadi Sultan. Sistem pemerintahan pun berubah dari kerajaannya menjadi kesultanan. Hukum yang berlaku pun berubah dengan hukum syariah islam.
Itulah sebabnya, sejarah Bangsa Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan syariat Islam dan kekhilafahan. Berdirinya kerajaan-kerajaan islam di Nusantara, seperti kerajaan Yogyakarta, Kesultanan Banten, Demak, Ternate, Tidore, Buton, Siak-Riau, dll., merupakan bukti hubungan yang amat erat antara bangsa Indonesia dengan syariat dan Khilafah.
Berikut ini beberapa jejak sejarah yang menunjukkan hubungan yang amat erat tersebut.
PERTAMA; Berdirinya kesultanan Islam di Nusantara.
Di Sumatera berdiri Kesultanan Peureulak, Samudera Pasai, Aceh Darussalam, dan Palembang. Kesultanan Peureulak berdiri pada tanggal 1 Muharram 225H atau 12 November tahun 839M. Sedangkan di Maluku berdiri kerajaan Islam Ternate sekitar tahun 1440, dan juga kerajaan Islam Tidore dan Bacan.
Di pulau Kalimantan berdirilah Kesultanan Sambas, Pontianak, Banjar, Pasir, Bulungan, Tanjungpura, Mempawah, Sintang dan Kutai. Kesultanan di Jawa antara lain: Kesultanan Demak yang dilanjutkan oleh Kesultanan Jipang, lalu dilanjutkan Kesultanan Pajang dan dilanjutkan oleh Kesultanan Mataram, Cirebon dan Banten.
Di Sulawesi, Islam diterapkan dalam Kerajaan Gowa dan Tallo, Bone, Wajo, Soppeng dan Luwu. Di Nusa Tenggara penerapan Islam di sana dilaksanakan dalam institusi Kesultanan Bima. (Ensiklopedia Tematis Dunia Islam: Khilafah dalam bagian "Dunia Islam Bagian Timur", PT. Ichtiar Baru Vab Hoeve, Jakarta. 2002).
KEDUA; Penerapan hukum islam di nusantara.
Menurut laporan A.C Milner, Aceh dan Banten adalah kerajaan Islam di Nusantara yang paling ketat melaksanakan hukum Islam sebagai hukum negara pada abad ke-17. Di Banten, sejak tahun 1651-1680 Masehi, hukuman potong tangan diterapkan pada kasus pencurian senilai 1 gram emas. Penguasa Banten saat itu adalah Sultan Ageng Tirtayasa.
Di Aceh, Sultan Iskandar Muda pernah menerapkan hukum rajam terhadap putranya sendiri yang bernama Meurah Pupok yang berzina dengan istri seorang perwira. Kerajaan Aceh Darussalam mempunyai UUD Islam bernama Kitab Adat Mahkota Alam. Sultan Alaudin dan Iskandar Muda memerintahkan pelaksanaan kewajiban shalat lima waktu dalam sehari semalam dan ibadah puasa secara ketat. Hukuman dijalankan kepada mereka yang melanggar ketentuan. (Musyrifah Sunanto, 2005).
Dalam bidang ekonomi Sultan Iskandar Muda mengeluarkan kebijakan pengharaman riba. Menurut Alfian, deureuham adalah mata uang Aceh pertama. Istilah deureuham dari bahasa Arab dirham. Selain itu Kesultanan Samudera Pasai pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir (1297/1326) telah mengeluarkan mata uang emas. (Ekonomi Masa Kesultanan; Ensiklopedia Tematis Dunia Islam: Khilafah dalam bagian "Dunia Islam Bagian Timur", PT. Ichtiar Baru Vab Hoeve, Jakarta. 2002).
Kerajaan Islam Demak di Jawa memiliki jabatan qadi di Kesultanan yang dijabat oleh Sunan Kalijaga. De Graff dan Th Pigeaud mengakui hal ini. Di Kerajaan Mataram, pertama kali dilakukan perubahan tata hukum di bawah pengaruh hukum Islam oleh Sultan Agung. Perkara kejahatan yang menjadi urusan peradilan dihukumi menurut kitab Kisas, yaitu kitab undang-undang hukum Islam pada masa Sultan Agung.
KETIGA; Hubungan nusantara dengan Khilafah.
Hubungan Nusantara dengan Khilafah Islam sudah terjalin cukup lama. Pada tahun 100 H (718 M) Raja Sriwijaya Jambi yang bernama Srindravarman mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Khilafah Bani Umayyah. Sang Raja meminta dikirimi da’i (pendakwah)yang bisa menjelaskan Islam kepadanya. Dua tahun kemudian, yakni tahun 720 M, Raja Srindravarman, yang semula Hindu, masuk Islam. Sriwijaya Jambi pun dikenal dengan nama Sribuza Islam. (Ayzumardi Azra, 2005).
Sebagian pengemban dakwah Islam –yang juga merangkap utusan negara Khilafah-- dikirim oleh Khalifah melalui amilnya. Tahun 808H/1404M, ulama utusan Khalifah Muhammad I dikirim ke Pulau Jawa (yang kelak dikenal dengan nama Walisongo). Setiap periode ada utusan yang tetap dan ada pula yang diganti. Pengiriman ini dilakukan selama lima periode. (Rahimsyah, Kisah Wali Songo, t.t., Karya Agung Surabaya, hlm. 6).
KEEMPAT; bantuan dari Khilafah kepada nusantara.
Bernard Lewis (2004) menyebutkan bahwa pada tahun 1563 penguasa Muslim di Aceh mengirim seorang utusan ke Istanbul untuk meminta bantuan melawan Portugis. Dikirimlah 19 kapal perang dan sejumlah kapal lainnya pengangkut persenjataan dan persediaan; sekalipun hanya satu atau dua kapal yang tiba di Aceh.
KELIMA; pemberian gelar khusus kepada penguasa Nusantara.
Hubungan Nusantara dengan Khilafah Islam juga tampak dalam penganugerahan gelar-gelar kehormatan. Abdul Qadir dari Kesultanan Banten, misalnya, tahun 1048 H (1638 M) dianugerahi gelar Sultan Abulmafakir Mahmud Abdul Kadir oleh Syarif Zaid, Syarif Makkah saat itu. Pangeran Rangsang dari Kesultanan Mataram memperoleh gelar sultan dari Syarif Makkah tahun 1051 H (1641 M) dengan gelar, Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarami. (Ensiklopedia Tematik Dunia Islam Asia Tenggara, 2002).
Menurut laporan Snouck Hurgrounye, sebagaimana yang dikutip oleh Deliar Noer, rakyat Indonesia saat itu memandang Stambol (Istanbul, ibukota Khalifah Usmaniyah) sebagai raja semua orang Mukmin dan tetap (dipandang) sebagai raja dari segala raja di dunia. (Deliar Noer, 1991).
KEENAM; Penjajah Belanda berupaya menggusur hukum islam di nusantara.
Belanda berupaya keras menanamkan sekulerisme dan anti syariat Islam di nusantara. Warisan penjajah Belanda yang jelas-jelas adalah musuh bangsa Indonesia saat itu.
KETUJUH; respon Nusantara saat Khilafah dibubarkan.
Ketika institusi Khilafah Islam Ustmaniyah dibubarkan pada 3 Maret 1924, ulama dan tokoh pergerakan Islam Indonesia meresponnya dengan membentuk Komite Khilafah. Komite ini didirikan di Surabaya pada 4 Oktober 1924, dengan ketua Wondosudirdjo (Sarikat Islam) dan wakilnya KH A. Wahab Hasbullah (lihat: Bendera Islam, 16 Oktober 1924).
Kongres ini memutuskan untuk mengirim delegasi ke Kongres Khilafah di Kairo yang terdiri dari Surjopranoto (Sarikat Islam), Haji Fachruddin (Muhammadiyah), dan KH. A. Wahab dari kalangan tradisi. (Hindia Baroe, 9 Januari 1925). KH A. Wahab kemudian dikenal sebagai salah satu pendiri ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdhatul Ulama.
Inilah bukti sejarah yang menunjukkan hubungan erat bangsa Indonesia dengan syariat islam dan Khilafah. Jadi semestinya perlu merasa asing apalagi membenci dan menolak ajaran islam dan khilafah. Semoga kita tak melupakan sejarah. Taabiiik.
NB; Penulis pernah belajar pemerintahan di STPDN angkatan ke-04 dan IIP Jakarta angkatan ke-29 serta MIP-IIP Jakarta angkatan ke-08.
Post a Comment