Header Ads


Polemik TKA dan Inkonsistennya Wakil Rakyat

Oleh: Ira yanti
(Pemerhati Sosial Politik)

Dirilis dari ZonaSultra.com, (20/06/2020) Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) Abdurrahman Saleh tiba-tiba melunak menyikapi rencana kedatangan 500 Tenaga Kerja Asing (TKA) asal China di Bumi Anoa, melalui Bandara Halu Oleo Kendari. Bagai api yang padam tersiram air. Pernyataan keras menolak dengan tegas dan akan memimpin demontrasi tiba-tiba berubah menjadi hanya melakukan sidak (inspeksi mendadak). 

Alur Sikap Inkonsisten

Satu hari sebelum berita di atas dirilis, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) menggelar rapat dengan PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI), Kantor Wilayah Kanwil Kementerian Hukum dan HAM, Imigrasi Kendari dan Dinas Ketenegakerjaan Sultra, Jumat (19/6/2020).

Rapat tersebut membahas soal rencana kedatangan 500 tenaga kerja asing (TKA) asal Tiongkok pada gelombang pertama 23 Juni 2020. Rapat ini sendiri diinisiasi oleh Komisi IV DPRD. Namun, dari total sembilan anggota komisi IV hanya empat orang yang hadir. Wakil Ketua DPRD Sultra Muhammad Endang SA mengaku informasi soal agenda rapat koordinasi itu mendadak. Pasalnya, ia baru tahu informasi tersebut pada pagi harinya melalui Whatsapp. Sedangkan wakil ketua DPRD tersebut, saat itu masih berada di luar kota. 

Rapat ini terkesan mendadak lalu muncullah suara para wakil rakyat yang melunak untuk menerima kedatangan para TKA Cina. Sikap mereka berbanding terbalik dengan sikap rakyat yang diwakili. Rakyat bahkan melakukan pemboikotan jalan sebagai bentuk penolakan kedatangan para TKA Cina. 

Suara Kapitalis Nomor Satu

Kedatangan TKA Cina di Bumi Anoa bukanlah pertamakali dan penolakan masyarakatpun bukan hanya sekali. Terlebih di masa pandemi yang sebagian rakyat kehilangan pekerjaan di tanah sendiri, dan harus menyaksikan TKA Cina bebas masuk dengan visa yang belum dipastikan apakah mereka ahli ataukah tidak. 

Kepala Kanwil Kemenkum-HAM Sultra, Sofyan memastikan, 500 TKA asal Cina yang akan datang di Sultra, menggunakan visa 312 sebagai tenaga ahli. Sayangnya mereka sendiripun belum menerima dan melihat langsung visa para TKA tersebut. Belajar dari pengalaman, 49 TKA yang pernah membuat geger Bumi Anoa di tengah pandemi berdatangan, mereka sebelumnya masih menggunakan visa 211, tapi dalam waktu 10 hari sudah beralih menjadi visa 312. Perlu diketahui visa 211 adalah visa untuk kunjungan sedangkan visa 312 adalah visa kerja. Lalu bagaimana bisa nereka memastikan sebanyak 500 orang itu ahli? Alangkah lebih baiknya harus terlebih dahulu dipastikan mereka semua ahli baru menerima dan mendatangkannya.

Kedatangan TKA Cina di Kota Kendari semakin membuka mata masyarakat bahwa pemerintah tidak memperhatikan psikologis dan suara rakyat ditengah pandemi. Dalih kedatangan TKA Cina yang lumayan besar berdatangan di Indonesia terkhusus di Kendari sebagai bagian dari skema mempercepat pertumbuhan ekonomi, lalu masyarakat hendaknya membantu pemerintah untuk memaklumi adalah bentuk arogan pemerintah. Selalu ingin dimengerti namun suara rakyat hanya dibutuhkan saat dibilik suara. 
  
Tambang yang merupakan kekayaan alam di negeri sendiripun tidak lagi dikuasai oleh negara, bahkan hasil dari tambang tersebut dikuasai para kapitalis. Pajak yang dibayarkan oleh kapitalis dan sikap welcome kepada TKA Cina tidak akan pernah bisa mengosongkan utang negara yang selalu gali lubang tutup lubang. Inilah rusaknya kapitalisme. Kekayaan alam yang seharusnya dikuasai negara dan digunakan untuk kesejahteraan rakyat malah dikuasai kapitalis. Miris.

Solusi Terbaik

Berdaya di negeri sendiri seolah mustahil jika kita masih mengadopsi kapitalisme dalam kehidupan. Yang ada, pribumi hanya sekedar penonton yang berteriak namun tak berarti, karena pemainnya adalah para kapitalis dan rezim yang tunduk pada kapitalis. Lagi dan lagi rakyat hanya kecewa karena dinomorduakan oleh rezim. Maka sekiranya kita butuh solusi sistemik bukan sekedar riak dan teriak pergantian rezim. Toh, negeri kita sudah tua dan telah bergonta ganti rezim, namun tidak solutif membawa perubahan dan menyejahterakan rakyat yamg berjuta-juta jiwa di negeri khatulistiwa.

Maka Islam sebagai agama dan juga ideologi yang bukan hanya mengatur tentang membangun rumah tangga tetapi juga mengatur membangun negara agar berdaya dengan kekayaan alam yang ada. 

Di dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah) kekayaan alam seperti tambang adalah kepemilikan umum yang artinya tidak boleh dikuasai sekelompok orang tetapi milik bersama yang akan dikelola oleh negara untuk kesejahteraan rakyat. Dan untuk pekerja di dalam negara Islam, rakyat disediakan lapangan pekerjaan oleh negara. Negara akan menyejahterakan rakyatnya terlebih dahulu. Karena pemimpin dalam negara Islam (seorang khalifah) tahu betul bahwa kepemimpinannya akan dimintai pertanggungjawaban. Maka dalam melakukan kepemimpinan seorang pemimpin yang notabenenya adalah manusia biasa yang bisa saja salah butuh sumber hukum atau pedoman agar ia tak salah dalam berbuat yakni tentunya adalah hukum syara atau aturan Pencipta manusia. Sungguh, aturannya adalah sebaik-baik aturan bagi manusia dalam segala perkara. 

Tunduk kepada hukum Allah, ridha dengan syari’at-Nya, dan kembali kepada al-Kitab dan as-Sunnah dalam segala perkara dan aspek kehidupan manusia merupakan konsekuensi keimanan dan penghambaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Bagi seorang muslim, Allah adalah ahkamul hakimin alias sebaik-baik pemberi ketetapan hukum. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Bukankah Allah adalah sebaik-baik pemberi ketetapan hukum?” (QS. At-Tiin: 8).

Wallahualam bissawab.(*)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.