Duit Rakyat Dibekukan, Perlindungan atau Kezaliman?
Oleh: Aisyah Abdullah (Pegiat Literasi)
Baru-baru ini masyarakat di bumi pertiwi tengah digemparkan dengan munculnya isu pemblokiran rekening pasif jika tidak digunakan selama 2 bulan oleh PPATK. Isu ini pun diperkuat oleh pernyataan dari Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengatakan bahwa kebijakan blokir rekening pasif (dormant) yang dilakukan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) justru untuk melindungi terhadap rekening-rekening nasabah yang tidak melakukan transaksi dalam jangka waktu tertentu. (Republika.co.id, 31/07/25).
Tak ayal kebijakan ini memicu sentimen publik yang khawatir mengenai keamanan keuangannya. Akan tetapi, tak berselang lama mencuat kabar pencabutan kebijakan tersebut setelah ramai-ramai rakyat melayangkan aksi protes.
Pun pada dasarnya kebijakan ini bermasalah sejak awal. Sebab dinilai sebagai tindakan "sabotase pemerintah". Pihak PPATK sebagai bagian dari lembaga pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan tidak berhak melakukan pembekuan uang nasabah begitu saja. Pun semestinya alasan untuk melindungi keuangan nasabah dari transaksi online yang disalah gunakan oleh oknum tertentu, mereka mestinya telah memiliki pertimbangan dan kemampuan menetapkan mana rekening bermasalah, mana rekening tidak bermasalah serta mampu membedakannya. Tidak kemudian dipukul rata semua. Karena itu wajar saja jika ada masyarakat menilai lembaga PPATK terkesan lalai sebab tidak memiliki yang pertimbangan matang.
Imbasnya niat yang baik untuk menyelesaikan persoalan malah mencipatakan masalah baru. Tak sedikit masyarakat yang membutuhkan dana yang sifatnya darurat, malah harus direpotkan lagi dengan urusan administrasi yang bikin ribet nasabah. Apalagi harus bolak-balik ke bank yang menyita waktu, pun demikian uang yang telah dibekukan tidak langsung dapat dimanfaatkan oleh nasabah. Melainkan haru menunggu waktu yang cukup lama. Inilah yang menimbulkan persoalan baru. Hingga kesannya malah menyusahkan rakyat. Karenanya wajar jika masyarakat merasa ada bentuk kezaliman bukan perlindungan.
Maka jelas kebijakan-kebijakan hari ini yang ditetapkan memang kerap kali lebih banyak merugikan rakyat dan menguntungkan pihak-pihak tertentu. Ini semua terjadi disebabkan oleh penerapan sistem ekonomi kapitalistik yang tidak menjamin dan melindungi keamanan nasabah tiap individu.
Ekonomi kapitalis telah melegalkan pelanggaran terhadap kepemilikan pribadi seperti halnya tindakan pemblokiran rekening tanpa bukti hukum yang sah. Sekaligus kebijakan ini telah menunjukkan bagaimana wajah asli negara yang mengadopsi sistem kapitalisme. Dimana perkara mengendalikan aset individu atas nama "perlindungan atau keamanan finansial" menjadi lumrah dilakukan. Meskipun tanpa hukum yang jelas. Padahal hak kepemilikan atas harta pribadi adalah hak utama yang harusnya tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun kecuali ada bukti pelanggaran hukum yang sah dan jelas.
Disisi lain sistem ini menempatkan negara bukan sebagai tempat untuk rakyat berlindung dan mengadukan nasib mereka. Penguasa tak jarang malah menjadikan kekuasaan sebagai kaki tangan untuk memeras dan merampas harta rakyat tanpa hak. Negara tidak hadir sebagai pemelihara dan penjaga hak milik individu. Kebijakan pemblokiran rekening pasif hanyalah salah satu contoh nyata dari sekian banyak kasus serupa.
Kebijakan pemblokiran rekening tanpa hak, jelas bertentangan dengan Islam. Sebab Islam memandang hak kepemilikan individu sebagai sesuatu yang sakral dan harus dijaga. Karena itu agar tidak terjadi kesalahan tata kelola ekonomi, mesti mencari alternatif pengganti. Yakni dengan penggunaan sistem ekonomi Islam. Sebab Islam telah memiliki mekanisme untuk menyelesaikan semua persoalan termasuk persoalan ekonomi.
Dimana Islam telah menetapkan prinsip al-bara'ah al-asliyah atau asas praduga tak bersalah yakni setiap individu pada dasarnya terbebas dari tanggung jawab hukum sampai ada bukti yang sah dan jelas yang menetapkan kesalahannya. Karena itu pada prakteknya untuk pengaturan perekonomian, Islam telah membagi kepemilikan harta menjadi tiga bagian yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara.
Maka rekening bank milik perorangan masuk bagian dari kepemilikan individu yang hal pengolahannya secara penuh dan utuh ada di tangan pemiliknya. Negara tidak memiliki hak untuk merampas, membekukan atau pun mengendalikan harta rakyat sesuka hati kecuali ada alasan syariat yang jelas dan melalui proses hukum Islam yang adil.
Negara dalam sistem Islam yakni Khilafah hadir sebagai raa'in (pelindung) yang menjaga dan menyalurkan kekayaan secara adil dan menyeluruh. Karena kekuasaan dalam Islam adalah sebuah amanah besar yang harus dijalankan dengan keadilan bukan untuk merampas harta rakyat dengan dalih apapun. Para penguasa dalam Islam dalam menjalankan tampuk kekuasaannya memiliki keterikatan pada hukum syara dan kesadaran mereka akan dimintai pertanggungjawaban dihadapan Allah SWT atas setiap kebijakannya.
Dengan penerapan syariat Islam secara kaffah maka batas antara yang benar dan salah menjadi jelas. Tidak akan ada celah bagi kedzaliman dan penyalahgunaan kekuasaan atau tindakan semena-mena atas nama "kepentingan negara" sebagaimana yang sering terjadi dalam sistem kapitalisme.
Dalam negara Khilafah hukum Allah menjadi standar utama dalam perbuatan bukan hukum buatan yang lahir dari pemikiran akal manusia yang penuh dengan kepentingan dan bias kekuasaan.
Waalahu a'lam
Post a Comment