Ekonomi Syariah Dalam Sistem Kapitalisme, Mungkinkah?
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih*)
IndonesiaNeo, OPINI - Mantan Wakil Presiden ke-13, Ma’ruf Amin menyebutkan pangsa pasar ekonomi syariah di Indonesia masih terbatas, penyebabnya, masyarakat terutama muslim belum beralih dari perbankan konvensional ke perbankan syariah. Ia menggunakan analog “ masih tayamum” (republika.co.id, 14-8-2025).
Ma’ruf mengatakan perbankan konvensional tumbuh karena masyarakat tidak memiliki pilihan lembaga jasa keuangan lain, dimana karena perkembangan sistem ekonomi di Indonesialah lahir perbankan dan asuransi yang menerapkan bunga untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.
Kini, perbankan syariah mulai hadir dan berkembang untuk menumbuhkan ekosistem syariah di Indonesia, negara dengan mayoritas penduduk Muslim. Persoalannya, masih banyak masyarakat yang sudah lama menggunakan layanan perbankan konvensional belum beralih ke perbankan syariah.
Layaknya kita shalat dan tidak ada air, kita boleh tayamum. Tapi kalau sudah ada air tidak boleh tayamum, kalau sudah ada air batal tayamum. Nah, institusi syariah ini kan sudah ada, tapi ini masih tayamum terus. Keenakan tayamum terus sindir Ma’ruf di hadapan peserta Sarasehan Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah Refleksi Kemerdekaan RI ke-80 Tahun 2025.
Ma’ruf menekankan bahwa kehadiran ekonomi dan keuangan syariah merupakan jalan untuk membangun bangsa dengan cara yang dirahmati Allah. Menurutnya, syariah dibangun atas prinsip keadilan, kemaslahatan, dan hikmah.
Ma’ruf juga menjelaskan, sejak 10 tahun lalu kita sedang bangun institusinya, karena sebenarnya syariah itu menghidupkan kembali fikih muamalah yang dulu sudah ada di masyarakat. Ada istilahnya “maro bati” atau bagi hasil dalam masyarakat Jawa.
Pangsa pasar ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia sangat besar, baik dari kalangan yang menghindari perbankan karena alasan riba maupun mereka yang sudah terlibat dalam perbankan tetapi belum beralih ke syariah. Dan ini menjadi masalah besar, mendorong ekonomi syariah menjadi arus utama perekonomian Indonesia, dengan memberi “sibghah” atau warna syariah pada semua lembaga. Untuk itu perlu adanya edukasi kepada masyarakat
Samakan Tayamum dengan Riba , Sangat Naif
Seringkali pejabat di negeri ini jika sudah kepepet akan mencatut istilah dalam syariat Islam. Mungkin tujuannya agar lebih soft ketika mepaparkan kebijakannya. Sayangnya hal ini semakin memperjelas mereka sekadar lips servis.
Menyamakan tayamum dengan praktik riba sungguh sangat keterlaluan. Bagaimana pun debu untuk tayamum disyaratkan suci, sedangkan riba, jangankan pokoknya ( pengambil riba) debunya saja ( yang mengantar, memberi tahu, saksi dan lainnya) juga dosa. Mengapa tidak mencari perumpaan lain yang lebih umum?
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Nabi saw. bersabda, “Rasulullah saw. melaknat pemakan riba (rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris) dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau, “Semuanya sama dalam dosa.” (HR. Muslim, no. 1598).
Namun benar, menjadi masalah besar bagaimana kemudian memindahkan nasabah bank konvensional ke bank syariah. Sama susahnya dengan mengaku muslim tapi enggan menerapkan syariat Islam secara keseluruhan. Sebab, perbankan konvensional dalam Sistem Ekonomi Kapitalisme sebagaimana yang hari ini diterapkan adalah jantung.
Bagaimana mematikan jantung, karena itu artinya mematikan semua aktifitas ekonomi yang ada. Bank konvensional bukan sekadar tempat menyimpan uang, tapi juga komoditas, dimana para korporasi menyimpan uang mereka untuk berbagai manfaat, salah satunya keuntungan bisnis, baik berupa pinjaman maupun investasi.
Di dunia global pun berlaku demikian, utang adalah alat penjajahan. Bagaimana IMF dan Bank dunia dibentuk AS untuk menjadi kepanjangan tangan mereka, menawarkan bisnis, pendampingan hingga permodalan. Tentu dengan sistem ribawi. Ya, pinjaman untuk negara-negara berkembang yang kemudian berubah menjadi alat penjajahan bahkan pelenyapan sebuah negara karena gagal bayar, seperti Yunani yang gagal bayar kepada Cina.
Bank konvensional pula yang mampu memberikan modal setelah sebelumnya menyerap “ darah segar” dari rakyat, berkelindan dengan Sistem Ekonomi Kapitalisme menjadikan para korporat makin kaya, tak hanya mampu eksploitasi kekayaan alam yang jadi milik umum atu negara, tapi milik pribadi pun diambil. Seperti misalnya Proyek Strategis Nasional ( PSN) Pulau Rempang atau PIK 1 dan PIK 2.
Bank Konvensional yang kemudian mencetak uang ketika terjadi inflasi. Padahal setiap lembar uang yang dicetak tanpa adanya jaminan emas atau yang biasa disebut Fiat money ( uang mengambang). Inilah yang kemudian menjadi cikal bakal perekonomian tidak pernah stabil. Demikian pula, bank konvensional menjadi lembaga guna menarik dana dari masyarakat yang kemudian diputar menjadi modal atau pinjaman dengan berbasis riba.
Jika Terapkan Sistem Islam Kâfah, Berkah Hakiki Akan Teraih
Secara alami, tak akan berkumpul antara haq (kebenaran) dan batil ( kerusakan). Artinya syariat Islam telah sangat jelas memberikan tuntunan hidup kepada kaum muslimin. Namun karena junnah (perisai) kaum muslim yaitu Daulah Khilafah telah runtuh, 3 Maret 1942 maka sejak saat itulah kaum muslim jauh dari agamanya bahkan jauh dari gambaran betapa nyata kaum muslim sepanjang 1300 tahun dipimpin oleh Khalifah dan berdasarkan syariat Allah SWT.
Bank syariah yang kini dikembangkan, selama masih dalam sistem ekonomi kapitalisme tak akan membawa dampak apapun, apalagi diharapkan menjadi sibgah ( mewarnai) yang ada justru sebaliknya sebab, akar dari sistem keuangan kita masih sekuler.
Kaum muslim seharusnya merindukan kepemimpinan dalam syariat Islam, sebab hal itu adalah tuntutan akidah mereka. Mana mungkin meyakini membaca Al-Qur”an saja berpahala sedangkan menerapkan seluruh ayat yang termaktub dalam Al-Qur’an malah dianggap makar, radikal, intoleran, kontra moderat dan lain sebagainya?
Syariat Islam menjamin seluruh aktifitas masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya. Negara berfungsi sebagai pelayan bagi umat sebagaimana sabda Rasulullah Saw. “Imam adalah raa’in (penggembala) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Bukhari). Artinya, tak hanya sisi ekonomi yang menjadi perhatian penguasa, melainkan semua aspek wajib menerapkan syariat agar keadilan dan kesejahteraan bisa terwujud.
Maka negara hadir dalam rangka memastikan setiap rakyat bisa mengakses kebutuhan hidupnya secara mudah, murah dan berkualitas. Negara Khilafah memiliki Baitulmal yang pendapatannya dari hasil pengelolaan kepemilikan umum, kepemilikan negara dan zakat. Kebutuhan pokok rakyat terpenuhi, jika ada yang memiliki rezeki lebih maka negara akan mendorong infaq, sadaqah, dan waqaf. Fungsi bank akhirnya hanya menjadi lembaga pertukaran uang, transfer dan simpanan. Wallahualam bishowab.[]
*) Institut Literasi dan Peradaban


Post a Comment