Header Ads


Dinasti Politik: Tabiat Demokrasi

Oleh: Anairasyifa
(Relawan Media)

Indonesia saat ini sedang diwarnai fenomena oligarki dan dinasti politik yang menguat. Tak hanya di level nasional, dinasti politik ini juga terjadi pada politik di tingkat daerah.

 Mulai dari anak dan menantu presiden RI, anak Wapres, anak Mentan, hingga para anak bupati yang berlomba-lomba menduduki tampuk kekuasaan ditingkat daerah. Fenomena dinasti politik adalah hal lumrah di negeri demokrasi.

Fakta Politik Demokrasi

Dinasti politik meningkat pada pemilihan umum 2019. Setidaknya premis ini terkonfirmasi oleh riset lembaga studi Nagara Institute yang menyebut sekitar 17,22 persen anggota DPR RI 2019-2024 merupakan bagian dari dinasti, sebab memiliki hubungan dengan pejabat publik, baik hubungan darah, pernikahan, maupun kombinasi keduanya. Bukan hanya legislatif, di daerahpun virus dinasti politik tumbuh subur.

Meski begitu, Mahkamah Konstitusi (MK) telah melegalkan ketentuan pencalonan kepala daerah berasal dari keluarga petahana untuk maju sebagai kepala daerah. Aturan tersebut tertuang dalam Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Alhasil, banyak politikus melahirkan politik dinasti melalui keluarga hingga kerabat mereka. 

Dalam demokrasi, politik oligarki yang dibangun Parpol berkuasa dan politik dinasti yang dilakukan individu penguasa atau petahana adalah keniscayaan. Demokrasi meniscayakan pemenang mendapat suara terbanyak. Baik diraih dengan dana besar, ketenaran atau pun pengaruh jabatan yang sedang dimiliki. Karenanya politik dinasti adalah salah satu hasil mutlak dari sistem demokrasi. 

Bukan Anomali

Dari fakta di atas, kemungkinan penyalahgunaan wewenang bisa terjadi. Penyalahgunaan wewenang itu akan ada namun,  biasanya akan disiasati. Pengamat politik dari Universitas Al Azhar, Ujang Komarudin berpendapat bahwa Presiden Joko Widodo tengah berupaya membangun dinasti politik melihat anak dan menantunya ikut terjun mencalonkan diri menjadi kepala daerah. 

Direktur Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah berpendapat, dinasti politik memang dimungkinkan dalam tatanan politik Indonesia. Sebab, sistem keterpilihan bisa membuat dinasti politik langgeng. Keberadaan dinasti politik bisa berbahaya dari sisi etika politik karena akan menghambat kerja politik.

 Selain itu, kepentingan kelompok tertentu akan lebih diakomodir daripada kepentingan publik. Pemerintah seharusnya ikut terlibat dalam pemberantasan dinasti politik lewat penerbitan regulasi. Namun, melihat situasi politik nasional saat ini, mengharapkan komitmen pemerintah juga sulit karena presiden sendiri sedang menanam benih oligarki melalui Pilkada 2020, Apakah ini sebuah anomali dalam demokrasi?

Sayangnya, ini bukan sekedar anomali dari praktik demokrasi. Selama demokrasi dibiarkan yang notabenenya memiliki hak kebebasan dan kekuasaan semata-mata di tangan orang-orang berkepentingan, maka publik akan terus menerus berada di bawah kekuasaan elite. 

Penyelenggara negara pun akan berada di bawah kendali kepentingan kekuasaan elite dan para pendukung di belakangnya. Siapa yang tak sejalan, maka akan disikut. Karena demokrasi itu sendirilah yang melahirkan dinasti dan oligarki politik. Karenanya menolak politik dinasti hanya terjadi bila demokrasi disingkirkan. 

Politik dalam Islam

Kepemimpinan adalah konsep pemeliharaan urusan rakyat yang tidak hanya berdimensi dunia, tetapi juga akhirat. Islam menggariskan pemimpin diraih dengan syarat yang ditentukan syariat dan mendapat dukungan nyata dari umat karena dikenal ketakwaan dan kapasitasnya untuk menjalankan seluruh perintah syara.

 Pemimpin dalam Islam bukanlah dilihat dari dinasti (keturunan/keluarga) penguasa namun semata-mata dukungan umat dengan adanya bai'at dan kapasitas serta kepahamannya akan syariat. Sebagaimana menjelang Umar bin Khattab meninggal dan dalam keadaan sekarat, dia memberikan arahan kepada kaum muslimin soal pemilihan khalifah penggantinya. Namun salah satu arahan itu adalah dia melarang anak-anaknya menjadi pejabat dan khalifah.

Islam memandang pemimpin bukanlah orang yang sibuk menghitung dan menikmati berbagai fasilitas yang diterima dari uang rakyat lantaran kedudukannya. Bukan pula orang yang menjadikan jabatan sebagai sarana memperkaya diri dan keluarganya. Serta tidak menjadikan jabatan sebagai sarana untuk mengokohkan kekuasaan diri dan kelompoknya dan mengeksploitasi rakyat. Karena politik dalam Islam adalah mengurusi urusan umat. 

Kepemimpinan adalah amanat yang bakal dipertanggung jawabkan di hari pembalasan. Jika tidak dilaksanakan dengan baik sesuai petunjuk Al Quran dan Sunnah, bakal menjadi kehinaan dan penyesalan. Hal ini disadari oleh para khalifah sehingga mereka akan sangat amanah dengan kekuasaannya. Misal ketika masa Umar bin Khattab yang memikul gandum dengan pundaknya sendiri saat mengetahui seorang janda dan anaknya kelaparan memasak batu. Beliau sangat takut kelak dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.

Beginilah kekuasaan dalam Islam berpatokan kepada hukum syariat dalam melakukan penyelenggaraan dan pengawasan negara. Partai politik pun didalam pemerintahan Islam (baca: khilafah) hanya menjadi pengontrol berjalannya pemerintahan sesuai hukum syara. Maka jika ingin meniadakan politik dinasti dan oligarki haruslah meninggalkan demokrasi dan kembali kepada hukum Ilahi dengan menjadikan pemerintahan berpedoman Al Quran dan Assunnah.

Wallahualam bissawab.(*)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.